Chapter 7

714 58 1
                                    

Rembulan malam kini menggantikan posisi Bagaskara, sejenak. Pada malam hari, semua orang akan beristirahat. Bergelut dengan mimpi, dan bangun ketika pagi. Namun, berbeda dengan Marven. Tampak, pria itu kesulitan tuk tertidur. Ia sedari tadi gelisah, mengingat peristiwa tadi sore.

Saat dimana, dirinya bertengkar dengan kekasihnya sendiri. Kejadian itu selalu terulang di benak Marven. Membuat si empu merasa tak nyaman. Entah untuk ke berapa kalinya Marven menghela nafas, membuang rasa lelahnya, semakin hari kian bertambah.

Ia yang tadinya terbaring, terlentang. Kini mengubah posisinya menjadi duduk. Kaki terselonjor, dengan punggung yang menyandar ke headboard.

Marven meraih ponsel, di atas nakas. Melihat jam yang telah menunjukkan pukul 10:00. Marven tak bisa diam saja. Ia segera menelepon sang kekasih, atau mungkin mantan?

"Kenapa?"

"Hai....udah tidur?" Tanyanya, basa basi. Meskipun terlebih basi. Marven menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Berusaha menghilangkan rasa gugupnya.

Kenapa rasanya jadi canggung seperti ini?

"Hmmm, gua mau tidur. Kenapa? Lo mau marahin gua lagi?"

"Ngga, bukan gitu maksudnya. Gua mau minta maaf soal tadi. Maaf, Lo mau maafin?"

"Mau. Tapi kita putus. Berhenti ngejar ngejar gua lagi. Kita nggak ada hubungan apapun."

"Tap-Hallo? Jay?"

Sialan.

Mengapa jadi seperti ini?
Padahal Marven ingin mendapatkan Jay dengan susah payah. Ia rela di cap siswa nakal dan bermasalah, demi bisa bertemu dengan Jay. Yang kebetulan sekali, Jay adalah anggota osis.

Tentu, tugas anak osis itu menertibkan murid-murid yang melanggar aturan. Marven kerap kali melanggar aturan yang ada, sehingga membuat Jay harus menegur pria itu sampai berkali-kali. Mungkin, Jay berpikir memang karakter Marven yang sulit di atur, alias bebal. Nyatanya, itu hanya pengalihan.

Jadi, sekarang ia tak punya kekasih?

Marven tak mau berbohong. Ia merasa amat sedih, malam ini. Mungkin.... Seterusnya.

Memang, ya. Sesuatu yang dipaksakan, tidak akan pernah berakhir baik.

°°°°

"Dam, gua minta maaf buat kemarin. Lo kalau mau kasih gua sp, ga masalah."

Damian menepuk-nepuk bahu Jay, ia mengulas senyuman. "Setelah gua pikir pikir. Yang brengsek itu si Marven. Gua gak bakalan kasih Lo surat peringatan. Tapi, untuk ke depan nya jangan di ulangin." Tutur Damian, memperingati.

Jay mengangguk. Ia merasa lebih tenang, mungkin? Ah, Jay masih merasa ada yang mengganjal di hati. Seperti, ada batu.

"Perasaan gua doang kayanya." Jay menggelengkan kepalanya, menepis pikiran nya yang semakin liar, dan merambat layaknya akar pepohonan. Jay lebih baik ke kantin, ia kebetulan ada janji buat makan bareng sama Karin.

°°°°

Didimensi lain, Marven dari pagi masang wajah lusuh. Udah kaya pengemis. Ketika di tongkrongan sekali pun, Marven nggak ngomong apa apa. Mendadak bisu. Otomatis menimbulkan pertanyaan bagi anak anak lain, yang memang satu tongkrongan dengan nya.

Mereka menghampiri Marven, duduk di samping pria itu.

"Kenapa? Lo dari tadi diem aja?" Javian.

"Yoi, kaya punya beban masalah. Cerita sini sama kita kita." Arlan menimpali.

Favorite Rival Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang