1

3 1 0
                                    

Dua cangkir kopi menjadi santapan pagi dua pasangan yang baru saja memadu kasih. Cahaya mentari menjadi penerang ruangan karena gorden yang telah disingkap. Suasana fisik yang tampak hangat nyatanya tidak mengubah jiwa dua sosok yang ada di sana. Tidak ada percakapan, tidak ada tawa ria. Yang ada hanyalah suara cicit burung dari luar serta suara dentingan cangkir yang baru diletakkan meja karena baru disesap cairannya.

"Kak... ", Luna akhirnya bersuara pelan setelah mengumpulkan keberaniannya. Apa yang akan ia ucapkan nantinya membuat nyalinya ciut.

Kaivan menoleh.

Luna awalnya tampak ragu, namun akhirnya, "Aku mau putus."

Rahang Kaivan mengeras, emosinya tiba-tiba memuncak. Kaivan mendekatkan kursinya ke arah Luna.

"Coba ngomong sekali lagi. Aku ngga dengar."

Luna memejamkan mata. Air matanya perlahan turun. Ia sudah tidak tahan lagi.

"Aa.. ku mau kita putus!" Ujar Luna dengan suara bergetar.

PLAK!

Luna memegang pipinya yang panas. Tamparannya membuat tangis Luna pecah. Kaivan selalu menggunakan kekerasan jika Luna membangkang.

"Kamu ngga berhak!"

"Sampai kapan?" Luna tetap kekeuh pada keinginannya. Walaupun Luna selalu takut menghadapi Kaivan sejak sikap kasarnya mulai terlihat.

"Sampai aku bosan."

"Kak...," Luna memohon.

Kaivan beranjak dari kursi menuju ke kamar. Meninggalkan Luna bersama tangisannya. Selalu begitu.

...

"Jangan keluar. Jangan jadi murahan. Tunggu aku pulang!"

Luna hanya diam. Tidak terpengaruh dengan perintah yang Kaivan berikan. Sudah biasa.

Ia juga tidak ada tenaga untuk melawan, apalagi dengan konsekuensi hukuman yang dia dapat jika melanggar, rasanya Luna ingin mengakhiri hidupnya.

Kaivan pemaksa, dalam hal apapun. Permohonan Luna selalu diacuhkan.
Kaivan tidak memiliki empati. Selalu menyakiti Luna saat Luna melakukan kesalahan.

Luna dilecehkan.
Luna dipukul.
Luna ditampar.
Luna diseret dan dimandikan di kamar mandi sampai kedinginan.

Tangisan Luna tidak pernah membuat Kaivan iba.

Luna berada di tepi jurang.
Tidak memiliki arah hidup.
Tidak dibiarkan ia memiliki kesibukan.
Tidak dibolehkan bermain dengan temannya.
Luna hanya boleh di rumah. Duduk diam dan hanya melayaninya.

Tatapan Luna kosong. Padahal ia dulunya adalah Gadis yang penuh ambisi dan memiliki banyak impian.
Namun, Kaivan meruntuhkan harapannya.
Keperawanannya direnggut.
Cita-citanya dihambat.
Sosialnya dibatasi.
Bahkan...
Berita kehamilannya dulu membuat Kaivan murka. Padahal ia pelakunya.

Ya, Luna pernah hamil.
Namun, belum sampai dua bulan ia keguguran akibat stress DNA kelelahan fisik. Mungkin berita itu melegakan Kaivan.
Mungkin jika Luna tetap hamil, Kaivan bisa saja membunuhnya.

Tapi...
Jika itu terjadi...
Luna juga tidak mengapa
Ia juga ingin mati

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Take Me OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang