Kebusukan Pakde Yanto

7 0 0
                                    

Malam di temani beberapa suara jangkrik, terlihat kunang-kunang beterbangan, kelap-kelip seperti bintang di langit, Rukminj hanya tertunduk diam di taman belakang rumahnya. Walau sedikit ngantuk, Rukmini tetap menahan diri, alhasil pagi buta Rukmini baru bisa tertidur. Darso hanya terdiam, tidak berkata apa-apa dia terlalu takut untuk memulai pembicaraan. Akhirnya Pakde Yanto meminta semua orang di rumah itu berkumpul saat sarapan, lelah dan capek mungkin sudah tidak Rukmini rasakan matanya terlihat sembab karena menangis.

“Meneer Wilhelm sudah datang Den ayu,” kata Mbok.
“Ya sudah ajak sekalian sarapan,” ucap Pakde Yanto.

Meneer Wilhelm yang baru tiba langsung menuju ruang makan dari rumah Rukmini, berjalan dengan tatapan duka, Meneer Wilhelm melepaskan topi sinder berwarna senada dengan pakaian yang dikenakannya dan di ikuti seorang pria tinggi memakai kacamata berjalan ke arah yang sama.

“Pagi semuanya,” ucap Meneer Wilhelm yang duduk di kursi kosong di meja makan rumah Rukmini.
“Ada apa Meneer Wilhelm?” Tanya Rukmini.

Tidak banyak bicara pria yang mengikuti Meneer Wilhelm memberikan sebuah surat perjanjian kepada Rukmini, surat perjanjian peralihan perkebunan dan pabrik setelah Ratri meninggal. Kepala Rukmini terasa berat, dirinya begitu terkejut setelah dia membaca surat perjanjian tersebut.

“Tidak mungkin Mbak Ratri melakukan ini!” sentak Rukmini di depan semua orang.
Darso hanya melihat ke arah Pakde Yanto, karena dia tahu apa yang Pakde Yanto lakukan terhadap keluarga Ratri. “Ini pasti ulah Pakde Yanto,” gumam Darso dalam hatinya.

“Rukmini namun bukan siapa-siapa tanpa Ratri, saya hanya menagih janji almarhum kakakmu jadi silakan kamu pergi juga dari rumah ini,” jelas Meneer Wilhelm. “Tidak, aku tidak akan tinggal diam ini pasti sebuah kesalahan.” Rukmini yang terus kekeh akan pendiriannya.

“Saya kasih waktu kalian pergi sampai besok pagi,” ucap Meneer Wilhelm yang menyalakan pipa rokok.

Lelaki itu berjalan keluar dan menaiki kereta kudanya hendak kembali ke kantor pemerintahan, di susul Pakde Yanto yang tampak sumringah, isak tangis Rukmini tidak terbendung, peluk Rukmini kepada Mbok yang berdiri di sampingnya.

“Ada apa ini Pakde?” Tanya Darso yang menghampiri Pakde Yanto.

“Kamu tidak udah ikut campur, ini bukan urusan keluarga mu!” sentak Pakde Yanto yang menunjukkan sifat aslinya.

Selama ini Pakde Yanto selalu iri akan pencapaian dari keluarga Ratri, dia selalu berusaha untuk menjatuhkan keluarga itu tapi, selalu gagal sampai Ratri di usianya 17tahun tidak mengerti rencana jahat Pakde tentang perkebunan saat itu. Pakde mau minta tolong kepada Ratri untuk membantunya menandatangani sebuah surat perjanjian yang pakdenya lakukan kepada Meneer Wilhelm namun, surat itu dimanipulasi yang bertuliskan bahwa perkebunan dan pabrik akan jatuh ke tangan Pakde untuk ketika Ratri telah meninggal.

Beberapa kali juga Pakde Yanto selalu meminta bawahannya untuk menghabisi Ratri tapi, selalu gagal dan gagal mereka yang hendak membunuh Ratri saat itu tidak berani karena Ratri adalah orang yang baik dan bijak oleh karena itu, pakde Selalu menanti momen-momen ketika Ratri hancur perlahan. Dengan kejadian ini dia merasa ini adalah kesempatannya untuk mengambil alih semua apa yang keluarga Ratri miliki.
Rukmini memilih istirahat di kamarnya tidak keluar seharian, bahkan dia sengaja tidak ingin bertemu dengan siapa pun termasuk Darso. Sedikit khawatir Darso tahu betul apa yang Rukmini rasakan, sementara bayi Ratri terus di asuh Mbok. Beliau paling rajin memberikan susu dan kasih sayang kepada Satrio, Darso merasa bingung dan bimbang harus berbuat apa. Tanpa berpamitan Darso pergi untuk melakukan suatu hal, “mungkin saja ini akan bisa memberikan solusi kepada Rukmini,” ujarnya dalam hati, dengan mengendarai kereta kuda Darso pergi menuju kota.

**

Sementara di pabrik Pakde Yanto tengah mengumpulkan beberapa karyawan yang sedang bekerja, senyum sumringah terus terpampang jelas di wajahnya, pegawai lainnya hanya merasa heran sepertinya ada hal besar yang terjadi sehingga pada Yanto mengumpulkan semua orang.

“Ene opo to iki?” Tanya seorang karyawan pabrik bernama Ogel.
“Mbuh! Kayaknya Pak Yanto ada berita heboh.” Jelas Rano pegawai lainnya.
“Masalah Nyi Ratri yang telah meninggal!” Ogel masih bingung.
“Sampai Pak Yanto yang mengambil alih pabrik dan perkebunan, modar wong serakah, kita bakal sengsara,” ucap pegawai lainnya yang tidak mengenakan baju.

“Seperti yang kita ketahui bahwa Nyi Ratri telah meninggal dan dia telah menandatangani surat kepemilikan perkebunan serta pabrik ini kepada saya, melalui Meneer Wilhelm semua kendali dipegang oleh saya. Semua sistem di perkebunan dan pabrik ini harus diperbaiki, ada yang tidak setuju saya pecat dan kalian akan menjadi budak Meneer Wilhelm jika membangkang, mengerti!” penjelasan dari Pakde Yanto membuat semua orang kecewa.

“Bener toh, kacau kalau begini,” ucap Rano.

Mereka pun kembali bekerja walau berat hati karena Pakde Yanto hanyalah orang yang bisa menyuruh-nyuruh, memberi upah dengan seenaknya apalagi dia bekerja sama dengan Belanda, Pakde Yanto tentu tidak akan sebijak Ratri ketika memimpin perkebunan dan pabrik, walau banyak yang kecewa para pegawai tidak bisa berbuat banyak, mereka tetap membutuhkan dana untuk kebutuhan sehari-hari keluarga mereka sehingga mereka tetap bekerja di perkebunan dan pabrik walau upah mereka nantinya akan dipotong oleh Pakde Yanto.

**

Malam ini Suasana tampak sedikit sunyi Simbok yang terus menggendong anaknya Ratri tidak dapat tidur, hatinya terus merasakan gelisah dan tidak tenang, seperti sesuatu akan terjadi pada mereka tapi, dia berusaha untuk tidak menunjukkannya kepada Rukmini. Simbok sangat mengerti akan perasaan Rukmini saat ini, dia masih belum terima kakaknya telah pergi meninggalkannya, sambil bernyanyi pelan Mbok menimang Satrio agar tertidur malam itu, sementara Rukmini yang berada di kamarnya hanya terus dia memandang ke langit-langit kamarnya dia terus mengingat akan kenangan dirinya dan sang kakak, sesekali air mata jatuh dari pelipis mata sambil berucap, “apa yang harus Rukmini lakukan Mbak? Kenapa semuanya seperti ini Mbak? Kenapa? Tidak cukup kah orang tua kita saja meninggalkan kita, kenapa sekarang Mbak malah pergi meninggalkanku juga, aku belum siap akan semuanya Mbak,” Rukmini terus terisak dengan suara yang bergetar.

Tiba-tiba terdengar suara lemparan benda di atap rumah merek, Rukmini tidak berpikir hal itu aneh dia hanya terus merebahkan badannya di atas kasur memeluk bantal dan menangis, sementara Mbok yang tertidur di samping Satrio terkejut akan suara itu, Mbok Winarsih terbangun dia duduk di kasur miliknya sambil menyelimuti Satrio yang tertidur lelap. Sesekali membenarkan rambutnya yang terurai, dia pun berjalan menuju pintu untuk keluar kamar namun, betapa terkejutnya ketika dia membuka pintu kamarnya, bagian ruang makan yang sekaligus menyatu dengan dapur tengah habis terlelap api.

Api itu terus berkobar seakan semua benda yang di rumah itu sangat mudah terbakar oleh api, melihat itu Mbok Winarsih langsung mengambil Satrio dan menggendongnya berlari keluar kamar sambil berteriak, “Den ayu, Den ayu, kebakaran Den ayu,” Mbok yang terus teriak namun, pintu kamar Rukmini terkunci dari dalam dia tertidur lelap setelah menangis sehingga dia tidak mendengar suara gaduh di luar di kamarnya. Tidak berpikir panjang Mbok langsung berlari keluar rumah dengan menggendong Satrio, dalam sekejap rumah Ratri dan Rukmini itu habis terlelap oleh api begitu dengan Rukmini yang ikut terbakar di dalam rumah itu.

Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang