Aku terkesiap, napasku tersengal-sengal dalam keheningan kamar. Aku terjatuh ke lantai, menangis tanpa kendali, menghantamkan tangan ke lantai kayu yang dingin. Semua yang ada di sekitarku hancur. Cermin di dinding retak, vas bunga terlempar ke sudut, dan lemari baju terbalik setelah kuhantam dengan tinjuku. Aku merasakan perih di telapak tanganku, tapi rasa sakit itu tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa hancur yang bergolak di dalam dada.
Teriakkanku terdengar menggema. Kenapa aku?
Tanganku menggenggam keras pinggiran ranjang, lalu kulepaskan lagi. Tangisku semakin keras, meraung-raung seolah ingin seluruh dunia tahu betapa aku membenci nasibku. Ini semua salah ayah. Ayah bodoh, tamak, dan egois! Apa yang dipikirkan pria tua itu? Mengadakan sayembara bodoh ini, membuat hidupku jadi permainan. Sekarang lihat apa yang terjadi!
Ayahku, yang selalu berdiri gagah di depan orang-orang, kini terkapar bagai mayat, pingsan setelah semua tamu pulang. Semua pesta yang ia banggakan, berakhir menjadi kekacauan. Ia sama sekali tidak siap menghadapi konsekuensinya. Aku bisa membayangkan dia terbaring di ruang utama, wajahnya pucat, tangannya terkulai, sementara pelayan-pelayan bergegas merapikan sisa-sisa pesta yang kacau balau.
Sementara itu, di luar pintu ini, ibu masih menunggu. Suaranya pelan, hampir putus asa, memohon dari balik pintu.
"Sayang, bicaralah dengan Ibu. Hanya sebentar. Ibu tahu kau marah..."
Tapi aku tidak menjawab. Aku tidak peduli. Tidak ada gunanya bicara, tidak ada gunanya menjelaskan apa pun. Mereka tidak mengerti. Aku masih seorang anak—seorang gadis yang tidak pernah diminta untuk memilih. Mengapa mereka berpikir aku pantas menjadi hadiah, seolah hidupku hanya sekadar permainan bagi pemenang?
Ibu terus memanggilku, namun suaranya semakin sayu. Aku tahu dia sudah lelah, mungkin hampir menyerah. Mungkin dia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Dia sudah mencoba segalanya, namun aku tetap di sini, menangis tak henti-hentinya.
"Aku tidak bisa hidup begini," bisikku di sela-sela tangisanku yang sesenggukan. "Aku tidak bisa..."
Aku merasa begitu kecil, begitu tidak berdaya. Hatiku memberontak, tapi pada saat yang sama, aku terperangkap oleh kenyataan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya keluar dari ini semua. Aku hanya ingin semuanya hilang. Semua!
Aku meraih selembar kain, yang kuselipkan dengan kasar di sekitar kepala. Menyembunyikan wajahku, seolah itu bisa melindungiku dari semua hal mengerikan di luar sana. Tanganku gemetar saat mengikatnya, kepalaku terasa berat, mataku bengkak karena terlalu banyak menangis. Di luar pintu ini, aku tahu pria itu masih menunggu. Pria raksasa, pria yang tidak pernah kukenal dan tidak pernah kupilih.
Aku merinding memikirkan tubuh besarnya yang menanti di luar. Dia duduk di sana, tenang dan sabar. Aku bisa merasakan auranya bahkan tanpa melihat wajahnya. Aku menolak untuk keluar. Tidak akan. Aku lebih baik mati di kamar ini daripada menghadapi kenyataan bahwa sekarang aku adalah miliknya.
Ibu akhirnya berhenti bicara. Dia menyerah, aku tahu itu. Langkah kakinya terdengar perlahan, menjauh dari pintu. Tapi dia tidak meninggalkan aku sendirian. Dia meninggalkan pria itu—pria yang tidak pernah kutemui, tapi sekarang menjadi bagian dari hidupku.
Pria itu. Menunggu. Membayangi pintu kamarku.
Aku masih berdiri di atas kursi, tanganku gemetar, kain yang melilit leherku terasa semakin ketat. Kepalaku penuh dengan pikiran tentang bagaimana ini akan berakhir. Tapi sebelum aku sempat menyelesaikan aksiku, sesuatu yang besar dan menakutkan menghentikanku—bayangan.
Bayangan itu bergerak perlahan di bawah celah pintu. Terlalu besar, terlalu gelap. Aku tahu itu dia. Tubuhku bergetar hebat, bukan hanya karena ketakutan.
Dan kemudian, aku mendengar suaranya. Suara yang sangat berlawanan dengan apa yang kubayangkan dari seorang pria seukuran gunung. Suara itu lembut, hampir tak terdengar. "Jangan lakukan itu," katanya dari balik pintu, dengan nada yang seakan bisa menembus jiwaku.
Aku terpaku. Ada sesuatu yang tidak cocok. Suaranya lembut, seolah-olah dia bisa menjadi penghibur yang bijak, tapi bayangannya di lantai tetap menyeramkan, membekukan hatiku. Tubuhku bergetar lebih keras, tak hanya karena ketakutan, tapi juga kebingungan. Pria sebesar itu, dengan suara yang menenangkan, terasa... salah. Dan kemudian, kata-katanya berikutnya membuatku terkejut.
"Aku tidak bisa masuk ke kamarmu," katanya lagi, suaranya tetap rendah. "Ini adalah dosa, bagi seorang pria untuk memasuki kamar seorang wanita yang belum menikah."
Aku tertegun, hampir tersedak oleh ironi dalam ucapannya. Pria ini, pria yang membunuh dengan bola besi, yang datang untuk mengklaimku seperti piala perang, berbicara tentang dosa? Suaranya penuh kehati-hatian, seakan dia tahu aku akan berbuat buruk, seakan dia peduli pada nasibku. Tapi itu... munafik. Bukankah dia baru saja menghancurkan nyawa seseorang di luar sana?
Namun, tanganku mulai kehilangan kekuatan. Tubuhku terlalu lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
God Gift's Treasure
Historical FictionPria itu tinggi, sangat tinggi. Tubuhnya besar, mungkin empat kali lipat dari tubuhku. Otot-ototnya tampak kokoh seperti pahatan batu, dan kalung besar yang menggantung di lehernya terbuat dari butiran segel suci yang berat-bukan perhiasan, tapi sim...