"P-pak?” Panggilan dengan nada tergagap ditambah raut panik yang sangat kentara jelas tentu membuat Alisha hendak memekik ketika wajah pria di depannya maju dan tersembunyi di ceruk lehernya. Alisha menahan napas, sejenak memproses segala sesuatu yang terjadi saat ini. Begitu menyadari bahwa kini dirinya mulai tinggal di apartemen sang dosen sukses yang bisa Alisha lakukan adalah bergeming. Bahkan … saat bibir pria itu menyesap cuping telinganya pun Alisha pasrah. Sangat tahu fungsi dirinya diungsikan ke sini untuk apa.
Pemuas nafsu biadab dosen yang dikenal gay seantero kampus, mungkin jika Alisha speak up maka nama baik Liam bisa buruk dan bisa baik. Buruknya karena menjadikan Alisha pemuas dan baiknya lepas dari tudingan penyuka sesama jenis.
“Sudah bertemu dengan bibi?” tanya pria itu akhirnya mengangkat kepalanya menjauh dari leher Alisha, sejenak gadis yang terkungkung di bawahnya menghela napas dan menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Sudah makan malam?” Pria itu kembali bertanya dengan penuh perhatian.
“Belum,” jawab Alisha lirih. Dia masih bingung dengan perubahan yang terjadi pada diri Liam, maksudnya apa yang sedang direncanakan oleh pria itu? Apakah benar dugaan Alisha yang mengarah bahwa sang dosen yang terkenal kejam, killer, dan pelit ilmu mengidap gangguan mental? Membayangkan saja sudah takut, belum lagi jika memang benar Liam menjadikan dirinya sebagai tawanan karena ternyata pria itu terobsesi dengannya.
“Hey, kenapa? Kepala kamu sakit?” tanya Liam khawatir ketika mahasiswinya menggelengkan kepala ribut. Punggung tangannya menempel di kening gadis itu lalu mengernyit. “Normal,” katanya dengan wajah datar. Sepersekian detik ketika khawatir berubah menjadi datar.
“Pak Liam dari mana?” cicit Alisha memberanikan bertanya, mumpung Liam sedang jinak. Tak ingatkah pria itu ketika membentak Alisha dan menyuruhnya minum teh rasa garam. Sepertinya pria itu pandai melupakan sesuatu sampai sikapnya ini tidak tahu diri.
“Kamu mulai penasaran dengan aktivitas saja.” Bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan yang benar adanya tak bisa Alisha tangkis. Bukan hanya itu saja karena rupanya Liam kembali ke setelan pabrik dengan perangai kasar dan suka memerintahnya itu ketika tiga kancing kemeja yang dikenakan Alisha terbuka karena tangan-tangan nakal sang dosen. Tak berhenti sampai di sana saja karena entah mendapatkan dasi dari mana pria itu mengangkat kedua tangan sang gadis ke atas kepala lalu mengikatnya kencang.
Alisha tak memberontak karena dia sudah sangat tahu akan ke mana arahnya, bukan hanya itu saja karena Alisha sangat paham dengan perangai sang dosen apabila dia memberontak dan memohon justru akan semakin disiksa. Kuncinya adalah pasrah di bawah kendali Liam.
“Saya lelah, Alisha. Saya menginginkan penyambutan kamu ketika pulang, tapi kamu enak-enakan tidur di kasur. Cih. Saya tidak mau kejadian ini terulang kembali, ingat kamu bekerja untuk saya, Alisha.”
“Maaf, Pak.”
Liam menggeram mendengar suara lirih Alisha. Tanpa melakukan apa pun di mata Liam sosok Alisha memang sangat menawan, tidak heran kenapa mendiang ayahnya sangat tergila-gila dengan wanita sialan itu karena produk yang dihasilkan memang tidak kaleng-kaleng. Dan kini Liam mendapatkan produk itu tanpa kerja keras, tanpa pemaksaan karena Alisha datang sendiri padanya.
… hanya sedikit ancaman beasiswa mampu menjungkirbalikkan kehidupan seorang Alisha Gumara mahasiswi beasiswa berpretasi.
“Pelan-pelan, Pak Liam,” tegur Alisha ketika pakaian atasnya dirobek oleh sang dosen, terlihat terburu-buru dan Alisha tak bisa mencegah akan hal itu karena ketika kemeja yang dipakai sudah robek dengan kancing terpencar ke kasur yang bisa dilakukan Alisha hanya pasrah. Lagi dan lagi dia pasrah di bawah kendali Liam.
“Kamu berangkat ke kampus bareng saya. Ada yang perlu kamu kerjakan untuk persiapan kuis,” ujar Liam menyuap nasi goreng dengan lahap seperti tidak makan selama berhari-hari.
Alisha yang sedang meneguk air pun tersedak karena tak biasanya sang dosen mengajaknya berangkat bersama. “Pak, tapi apa tidak masalah kalau orang-orang tahu?” tanya Alisha hati-hati.
“Peduli setan,” umpat Liam. “Nggak mau nurut sama saya?”
“Maaf, Pak,” cicit Alisha. “Saya siap-siap dulu kalau begitu.” Dan dibalas dehaman oleh Liam tanpa repot-repot menatap lawan bicaranya sebagai bentuk kesopanan. Pria itu makan pun masih sibuk dengan iPad di depannya karena semalam mereka tidak sempat mandi, tidak sempat makan. Apalagi makanan perdana bibi yang belum sempat Alisha cicipi berakhir di tempat sampah.
“Non, nanti siang mau dimasakin apa?” tanya seseorang ketika Alisha masuk ke ruang laundry hendak mengambil kaos kaki justru tertahan dengan kehadiran bibi.
“Bibi di sini sampai kapan? Maksudnya kalau nggak sempat biar aku masak aja, Bi. Bibi cukup kasih bahan-bahan jadi,” jawab Alisha.
“Oh nggak masalah, Non. Tapi, den Liam sudah memberi tugas ke Bibi, jadi selama apartemen kosong Bibi yang jagain, sekalian beberes dan masak. Makanya Bibi nanyain mau dimasakin apa karena kalau siang den Liam seringnya langsung ke kantor setelah ngajar di kampus.”
“Kantor?” gumam Alisha lirih, tetapi didengar juga oleh bibi.
“Iya, Non. Aden sudah lama gabung di kantor peninggalan pak Tigor. Jadi Non Alisha mau dimasakin apa buat makan siang?” Kembali lagi si bibi bertanya, cukup heran sebenarnya karena bibi saksi mata anak majikannya terlibat perjodohan keluarga yang dirancang oma Lesma lalu kini justru membawa gadis asing ke apartemennya. Ditambah kecurigaan karena Liam sengaja menyembunyikan dari sang oma.
Tersentak saat bahunya diremas gadis itu menoleh ke samping dan mendapati wajah teduh asisten rumah tangga. Wajah penuh kerutan yang tenaganya masih dipakai Liam ini terlihat sangat baik, bahkan terlihat mengenal begitu sosok dosennya. “Apa aja yang Bibi masak pasti aku makan. Maaf semalam—”
“Bibi ngerti, Non. Tidak apa-apa, jangan merasa bersalah begitu. Hadapi aden dengan sabar, aden sebenarnya baik, bukan orang jahat. Percaya sama Bibi.”
“Alisha, buruan!” Teriakan Liam menahan Alisha yang tadinya hendak membalas perkataan bibi yang terkesan sangat paham. Alhasil wajah tak enak Alisha pun terpampang nyata yang justru dibalas kekehan kecil oleh wanita itu.
“Susul, Non. Jangan sampai pagi-pagi sudah marahan. Serem, Bibi pun nggak berani kalau aden sudah mulai teriak-teriak.”
Alhasil Alisha meninggalkan ruang laundry sembari memakai kaos kaki dengan jalan. Dia tidak akan membuang waktu lebih lama dan membuat dosennya itu semakin teriak-teriak.
"Lama sekali! Ngapain, sih? Ngerumpi sama bibi? Kamu tuh nggak bisa banget diajak ngejar waktu!"
"Maaf, Pak." Alisha melirik takut-takut dan tersentak saat pergelangan tangannya dicekal oleh Liam dan ditarik dalam sekali sentak sehingga tubuh keduanya merekat.
"Nanti malam ikut saya, dandan yang cantik," bisiknya mengulum daun telinga gadis itu.TO BE CONTINUED
Hai! Bukankah sangat lama buku ini berlanjut? Sorry teman-teman karena membuat kalian lama menunggu. Aku baru punya ide untuk melanjutkan buku ini, tapi sementara waktu baca di aplikasi Innovel atau Dreame bila kalian mau. Di sana masih gratis, kalaupun nggak mau top up kalian bisa tetap baca dari kupon harian. Tenang, tetap bisa baca.
Aku butuh dukungan kalian sebagai pembacaku kelak akan tetap di sini atau di sana. Namun, untuk itu coba ikuti bukunya di aplikasi Innovel atau Dreame, ya. Sudah update 8 bab. Selama tiga hari ini aku rutin update. Terima kasih.🖤Utarakan pendapatmu berdasarkan isi hati;
Suka di Wattpad
Pindah di Innovel/Dreame
Salam sayang author SasaLay1402
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISHA: Gadis Panggilan sang Dosen
RomanceBagi Alisha tak pernah terbayangkan menjadi gadis panggilan di kampus tempat dia mencari ilmu. Status mahasiswi dengan gelar beasiswa nyatanya membuat lingkar pergaulan gadis itu sebatas buku dan perpustakaan. Namun, apa jadinya pekerjaan yang ruti...