Disappointed

2 1 0
                                    

Pagi itu, Aluna duduk di beranda kecil rumahnya. Matahari baru saja muncul dari ufuk timur, menghangatkan permukaan bumi yang sebelumnya dingin. Namun, hangatnya sinar matahari tidak mampu mencairkan dinginnya perasaan di hati Aluna. Sejak semalam, pikirannya tak henti-henti membayangkan sesuatu yang membuat dadanya sesak.

Ia memandangi ponselnya, menatap layar yang seakan-akan bisa memberinya jawaban. Sebuah notifikasi pesan yang datang semalam masih belum dibuka. Itu dari temannya, Safa, yang mengirimkan sesuatu yang membuat perasaan Aluna bercampur aduk. Tangannya gemetar saat mencoba untuk membuka pesan itu, tetapi ia tak sanggup melakukannya. Ia tahu isinya, dan ia tahu juga apa artinya bagi dirinya.

"Ferro...," gumamnya pelan.

Hubungan Aluna dan Ferro sudah tak sehangat dulu. Meski mereka tak pernah mengikatkan status resmi, kedekatan mereka sudah lama terjalin. Banyak teman yang mengira mereka akan segera bersama sebagai pasangan. Namun, beberapa minggu terakhir, jarak di antara mereka semakin terasa. Ferro tak lagi sering menghubungi, obrolan mereka yang dulu hangat sekarang terasa dingin, dan tawa yang dulu mudah terdengar kini telah hilang.

Ponselnya bergetar lagi, notifikasi baru masuk. Kali ini dari Dinda lagi.

"Lun, kamu udah lihat belum? Di Insta Story-nya, Ferro bareng sama cewek itu lagi. Katanya deket."

Jantung Aluna berdetak kencang. Ini bukan kali pertama ia mendengar tentang wanita lain yang dekat dengan Ferro. Kabar itu sempat terhembus beberapa kali dari teman-teman yang lain, tapi Aluna selalu memilih untuk tidak percaya. Ia lebih suka berpikir bahwa Ferro hanya sibuk dengan pekerjaannya, bahwa ia hanya butuh waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin hari semakin sulit untuk memungkiri kenyataan yang ada di depan mata.

Dengan berat hati, Aluna membuka aplikasi Instagram di ponselnya. Tangan yang biasanya cepat bergerak, kini terasa berat seakan-akan setiap gerakan membutuhkan kekuatan ekstra. Ia menemukan akun Ferro dan langsung membuka Stories-nya.

Di sana, terlihat Ferro sedang duduk di sebuah kafe. Di depannya, seorang wanita tersenyum manis, wajahnya dihiasi tawa yang Aluna kenal sangat baik. Tawa itu adalah tawa yang dulu sering diberikan Ferro untuk dirinya. Kini, tawa itu dialamatkan kepada orang lain. Namanya Neysa. Wanita yang kini menjadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Ferro.

Kekecewaan yang selama ini terpendam mulai membuncah. Aluna menutup ponselnya dengan cepat, seolah-olah gambar itu bisa terhapus dari pikirannya jika ia tidak melihatnya lagi. Namun, semuanya sudah terlanjur terukir di benaknya. Setiap detail dari wajah Neysa, setiap senyum yang terukir di bibirnya, dan yang paling menyakitkan adalah tatapan Ferro yang begitu lembut dan perhatian. Tatapan yang seharusnya menjadi miliknya.

"Kenapa? Kenapa harus dia?" bisik Aluna, tak kuasa menahan rasa pedih di hatinya.

Aluna tahu bahwa ia tidak punya hak untuk menuntut apapun dari Ferro. Mereka tidak pernah berkomitmen secara resmi. Namun, perasaannya berkata lain. Ia terlanjur jatuh, dan ia sudah terlalu jauh untuk kembali tanpa luka.

***

Hari itu terasa panjang. Aluna mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan, dengan hal-hal kecil yang biasanya bisa mengalihkan pikirannya. Namun, setiap kali ia mencoba fokus, bayangan Ferro dan Neysa kembali muncul. Ia bahkan tak bisa menahan diri untuk memeriksa akun Instagram Ferro lagi, berharap ada sesuatu yang bisa menjelaskan semuanya. Namun, setiap kali ia melihat, yang ada hanya rasa sakit yang semakin mendalam.

Sore hari, Aluna memutuskan untuk bertemu dengan Safa. Mereka biasanya selalu punya waktu untuk berbagi cerita, dan Aluna tahu bahwa Safa selalu punya cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Namun kali ini, entah mengapa, ia merasa enggan. Seolah-olah apa yang akan dibicarakan nanti justru akan membuat luka di hatinya semakin terbuka.

Di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi, Safa sudah menunggu. Ketika Aluna duduk di depannya, Safa langsung bisa membaca suasana hati sahabatnya itu.

"Kamu udah lihat ya, Lun?" tanya Safa dengan lembut, seolah tak ingin menambah beban di pundak Aluna.

Aluna hanya mengangguk. Ia berusaha tersenyum, tetapi senyum itu tak sampai ke matanya.

Safaa menarik napas dalam-dalam, menatap Aluna dengan penuh simpati. "Aku nggak tau gimana perasaan kamu sekarang. Tapi, yang jelas, kalau memang Ferro sekarang deket sama Neysa, kamu harus siap buat hadapi itu."

"Kamu tahu, Fa? Aku nggak pernah nyangka dia bisa deket sama orang lain," ucap Aluna akhirnya, suaranya pelan dan penuh getir. "Aku selalu berpikir... kita berdua akan punya kesempatan lebih dari ini."

Safa mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Aluna. "Aku ngerti. Tapi, mungkin ini saatnya kamu mulai berpikir tentang dirimu sendiri, Lun. Jangan terlalu berharap sama sesuatu yang nggak pasti. Kamu tahu gimana Ferro-dia baik, tapi dia nggak pernah benar-benar kasih kejelasan."

Aluna terdiam, membiarkan kata-kata Safa meresap ke dalam pikirannya. Ia tahu apa yang dikatakan Safa itu benar adanya. Ferro memang tak pernah memberikan kejelasan tentang hubungan mereka. Selalu ada ambiguitas di antara mereka, dan sekarang semua itu mulai menjadi beban yang tak lagi bisa ia tahan.

"Mungkin kamu benar," jawab Aluna dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Tapi, aku nggak tahu gimana caranya menghapus perasaan ini begitu saja."

Safa tersenyum tipis. "Nggak ada yang bisa ngapus perasaan dengan cepat, Lun. Itu butuh waktu. Tapi yang pasti, kamu berhak untuk bahagia. Kamu nggak bisa terus-terusan terjebak dalam hubungan yang nggak jelas kayak gini."

Aluna menunduk, memandangi cangkir kopinya yang kini dingin. Ada kebenaran di balik kata-kata Safa, dan Aluna tahu bahwa ia harus mulai berpikir lebih jernih. Namun, kekecewaan dan kecemburuan yang ia rasakan begitu dalam. Ia belum siap untuk benar-benar melepaskan perasaannya pada Ferro. Setidaknya, belum sekarang.

***

Malam itu, Aluna berbaring di tempat tidurnya. Pikirannya masih melayang-layang antara kenyataan dan harapan. Ia membuka ponselnya lagi, menatap foto-foto lama bersama Ferro. Mereka terlihat bahagia di setiap foto, tertawa dan menikmati waktu bersama. Tapi sekarang, kenangan itu terasa pahit.

"Kamu bahagia dengan dia, Fer?" Aluna bertanya dalam hati, meskipun ia tahu tak ada jawaban yang akan datang.

Ia menutup matanya, berusaha tidur. Namun, bayangan tentang Ferro dan Neysa terus menghantui pikirannya. Kekecewaan dan kecemburuan mulai mengemuka, semakin sulit untuk diabaikan. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, dan mungkin akan ada lebih banyak malam seperti ini di masa depan.

Namun, di balik semua itu, Aluna tahu bahwa perlahan-lahan, ia harus belajar menerima kenyataan. Karena pada akhirnya, meski sulit, ia harus melepaskan seseorang yang tak pernah benar-benar menggenggamnya.

Aluna Adrienne Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang