Bab 1: Di Balik Kehidupan Sehari-Hari

1 0 0
                                    

Pagi itu, seperti biasa, matahari bersinar cerah di atas kota. Sekolah SMA Negeri 45 tampak penuh dengan keriuhan para siswa yang sibuk bergegas menuju kelas. Suara obrolan, tawa, dan derap langkah memenuhi halaman sekolah, tapi di antara semuanya, Arka dan Raka terlihat berbeda.

Mereka berjalan di koridor dengan langkah berat, tubuh sedikit bungkuk, dan mata setengah terpejam. Arka bahkan sempat beberapa kali menguap lebar tanpa berusaha menutupinya. Kedua pemuda itu jelas kelelahan, tapi ini bukan pertama kali mereka terlihat seperti itu.

"Ya ampun, aku bisa tidur di mana saja sekarang," gumam Arka dengan suara parau, matanya hampir menutup lagi.

Raka, yang berjalan di sebelahnya, hanya mengangguk setuju, meskipun kelopak matanya terlihat lebih berat dari biasanya. “Jangan bicara soal tidur. Rasanya bahkan kantin sekolah ini bisa jadi kasur empuk buatku sekarang.”

Arka terkekeh lemah, meski dalam hatinya dia benar-benar setuju. Semalam mereka baru saja menyelesaikan misi berat—melawan dan menyelamatkan Garuda Hitam, siluman raksasa yang dikendalikan oleh kekuatan jahat. Misi itu membuat mereka begadang hampir sampai fajar, tapi kini mereka di sini, mencoba menjalani rutinitas biasa sebagai siswa SMA yang normal.

Tentu saja, kata "normal" bukanlah deskripsi yang tepat untuk mereka bertiga.

Ketika mereka sampai di kelas, mereka langsung menuju bangku mereka yang berada di bagian belakang. Raka nyaris jatuh ke bangkunya sebelum sempat menyesuaikan kursinya. Arka mengikuti tak lama kemudian, duduk dengan posisi menyender ke dinding, mencoba menahan rasa kantuk yang mulai tak tertahankan.

“Aku nggak ngerti gimana Sinta bisa tahan begini,” bisik Arka sambil memijat pelipisnya. “Dia sepertinya selalu segar, padahal kita sama-sama begadang setiap malam.”

Raka menengok ke depan, tempat di mana Sinta duduk dengan tenang, matanya yang cerah memperhatikan buku pelajarannya. Seolah semalam tidak terjadi apa-apa. Gadis itu duduk dengan postur sempurna, rambutnya yang panjang dan hitam tergerai rapi, wajahnya tampak segar dan ceria seperti biasanya.

"Kalau aku nggak tahu lebih baik, aku bakal bilang dia bukan manusia," gumam Raka sambil menggelengkan kepala, separuh iri. "Dia kayak... robot atau semacamnya. Mana mungkin manusia bisa nggak tidur dan tetap kelihatan kayak gitu?"

Arka hanya bisa tertawa kecil mendengarnya, meskipun tawa itu lebih terdengar seperti keluhan. "Bahkan kalau robot pun, dia pasti yang model terbaru."

Di depan, Sinta tanpa sadar menoleh ke arah mereka dan tersenyum kecil. "Kalian ngomongin apa sih?" tanyanya sambil mengangkat alis. Tatapannya lembut, tapi jelas dia tahu persis apa yang mereka bicarakan.

Arka dan Raka saling berpandangan, lalu mengangkat bahu hampir bersamaan. Mereka sudah terlalu lelah untuk berbohong atau memberikan alasan yang rumit. Sinta memang selalu seperti itu—segar, bersemangat, dan penuh energi, meski semalam sebelumnya mereka bertarung habis-habisan melawan makhluk gaib yang bisa menghancurkan separuh kota jika tak dihentikan.

"Bagaimana bisa kamu nggak kelihatan capek sama sekali?" tanya Arka akhirnya, matanya menatap Sinta dengan penasaran. "Aku ngerti kalau kamu lebih kuat dalam hal energi, tapi tetap aja, kita semua begadang."

Sinta tersenyum lebih lebar, kali ini sambil menutup buku pelajarannya. "Rahasia," jawabnya singkat sambil mengedipkan mata, sebelum kembali fokus pada papan tulis di depan. Guru baru saja memasuki kelas, dan suasana langsung berubah tenang.

Mata Arka dan Raka mengikuti pergerakan guru mereka dengan lesu. Meski demikian, pikiran mereka masih terpusat pada percakapan dengan Sinta. Sudah bertahun-tahun mereka bertiga menjalani kehidupan ganda ini, menjadi pemburu hantu di malam hari dan siswa SMA di siang hari, tapi Sinta selalu menjadi anomali. Tak pernah sekalipun dia tampak lelah, meski misi mereka semakin berbahaya dari waktu ke waktu.

Saat pelajaran dimulai, Arka dan Raka berusaha keras untuk tetap terjaga. Namun, seperti yang sudah bisa ditebak, mata mereka mulai berat tak lama setelah guru mulai menjelaskan materi matematika yang membosankan. Arka berusaha mencatat, tapi setiap kali tangannya bergerak, kepalanya tertunduk lebih dalam. Sesekali dia tersentak bangun, melihat Raka yang juga sudah setengah tidur di sebelahnya.

Di depan, Sinta tampak menikmati pelajaran dengan penuh perhatian, seperti biasa.

Ketika bel istirahat berbunyi, Arka dan Raka hampir melompat dari kursi mereka. Raka menekan kepalanya dengan kedua tangan, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. "Kopi," katanya singkat. "Aku butuh kopi."

Arka mengangguk setuju. "Aku ikut. Kalau nggak, aku bakal tidur di kelas berikutnya."

Mereka bertiga akhirnya beranjak keluar kelas, bergabung dengan arus siswa lain yang menuju kantin. Di antara kerumunan siswa yang sibuk berbicara soal tugas, film, atau gosip terbaru, Arka dan Raka hanya fokus pada satu hal: secangkir kopi panas yang mungkin bisa membantu mereka bertahan sampai akhir hari sekolah.

Namun, sebelum mereka sampai di kantin, Sinta tiba-tiba berhenti. Tangannya terangkat ke udara, menghentikan langkah Arka dan Raka yang kebingungan.

"Ada apa?" tanya Arka.

Sinta menoleh ke kiri, matanya sedikit menyipit seolah merasakan sesuatu. "Ada... sesuatu."

Raka mengangkat alis. "Apa? Di sekolah?"

Sinta tidak menjawab, hanya melangkah lebih dekat ke dinding yang bersebelahan dengan koridor kosong di samping kelas olahraga. Dia berdiri diam beberapa detik, lalu mengangguk kecil. "Aku rasa ada roh tersesat di sini."

Arka dan Raka langsung tegang. Ini bukan pertama kali mereka mendapati aktivitas gaib di sekolah mereka, tapi setiap kali itu terjadi, selalu muncul masalah baru. Arka melirik ke arah kantin yang tak jauh lagi. "Mungkin ini bisa ditunda? Aku benar-benar butuh kopi dulu."

Sinta tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Kalau dia tersesat, kita harus membantu. Sebelum ada yang menyadarinya."

Raka mendesah panjang. "Ya ampun, Sinta... kenapa semua selalu terjadi di jam sekolah?"

Sinta mengangkat bahu. "Hantu tidak punya jadwal."

Arka dan Raka saling bertukar pandang dengan lelah, tapi pada akhirnya mereka mengikuti Sinta menuju lorong yang sepi. Mereka tahu bahwa hidup sebagai Phantom Hunter tidak mengenal waktu—siang atau malam, mereka selalu harus siap kapan pun ada makhluk gaib yang membutuhkan pertolongan atau harus dihadapi. Bahkan ketika seharusnya mereka sedang menikmati jam istirahat sekolah, takdir tetap memanggil.

The Phantom HuntersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang