14. Tragedi Kolor Ijo

148 47 4
                                    

Malam, Dears!
Telat banget Hara update mau tengah malam begini. Lupa. Baru kelar aerobik, mandi, mau bobok. Lah, kok inget belon update yang kedua. Maap, ya! T.T

Enjoy this story~
Happy reading!

***

“Yailah, Mi, masih marah aja soal kejadian kemarin. Udah lewat dua hari juga.”

Aku melewati Bara yang baru turun dari tangga, bersikap seolah-olah dia makhluk tak kasatmata. Bodoh amat pokoknya! Mau dia mengajakku mengobrol sampai berbusa pun aku tidak peduli. Aku sudah kepalang kesal setengah mati.

Bisa-bisanya ya, dua hari lalu dia tega mengumpankanku kepada Bu Wati. Padahal dia yang membawa Blue Lagoon itu ke kosan. Seharusnya dia mengaku dong, bukan malah menumpukan kesalahannya padaku.

Masih untung kami bisa mengibuli Bu Wati. Coba kalau tidak, aku pasti sudah diusir dari kosan ini. Dia sih, mana paham perasaan orang yang lagi bertahan hidup dengan budget minim sepertiku begini. Dia saja waktu lahir sudah disuapi pakai sendok emas, bukan stainless steel.

Lewat ujung mata, aku tahu Bara membuntutiku berjalan ke dapur. Saat aku membuka pintu kulkas, dia bersandar sembari mengamatimu mengeluarkan daging ayam dan beberapa sayuran untuk membuat salad. Namun, aku mengernyit melihat stok ayamku cuma tinggal sepotong.

“Ini ayam gue siapa yang ngambil, sih? Perasaan setengah kilo dapat dua potong dada, deh. Dan semalam masih utuh pas gue masukin freezer.” Aku membuka food storage yang sudah aku beri label nama.

Bara menahan tawa sembari menyeletuk, “Kayak lo nggak tahu aja sih, Mi, pelakunya siapa. Harus banget nih, gue kasih tahu?”

“Siapa emangnya?”

“Siapa lagi kalau bukan si curut Miko. Lagian udah mabuk sampai semaput juga, ternyata nggak bikin dia kapok nyolong makanan orang.” Bara menggeleng-geleng tak habis pikir.

Aku mengecimus, “Jangan sembarangan nuduh lo! Nggak ada bukti, jatuhnya fitnah. Dosa tahu! Lagian lo masih utang maaf sama dia karena udah bikin dia semaput gara-gara minuman lo.”

“Dih, kenapa jadi gue yang minta maaf? Salah dia sendiri minum minuman gue. Lagian ya, Mi, gue nggak asal nuduh. Insting gue nggak pernah meleset. Percaya sama gue! Pasti dia yang ngambil ayam lo.”

“Gue lebih percaya lo yang nyolong ayam gue sih, Bar.”

“Ngapain gue nyolong ayam sepotong kalau bisa beli peternakannya, Mi?”

Aku memutar bola mata. Memang sudah benar, tadi aku tidak menanggapinya. Giliran aku tanggapi, respons Bara sesuai dugaan, malah tambah bikin aku kesal.

Kembali ke setelan awal, aku fokus memotong wortel dan kubis ungu yang sudah kucuci, sedangkan dada ayam kupanggang di atas teflon. Mengetahui Bara tak kunjung pergi dan malah melihatku menyiapkan sarapan, aku merasa risih.

“Daripada lo berdiri aja di situ, gue masih nungguin lho, Bar.”

“Nungguin apaan?”

Aku meletakkan pisau dan menatap Bara tepat di mata sipitnya. “Nungguin lo minta maaf sama gue-lah. Gara-gara lo nyelundupin Blue—”

Bara membekap mulutku. “Iya, Mi, nanti gue kuras lautnya. Udah lo jangan berisik. Nanti ada yang dengar.”

Aku menggeplak tangannya hingga bungkamannya di mulutku terlepas. “Apaan, sih? Nggak jelas banget.”

“Lah, kan lo sendiri yang mau gue minta maaf. Gue mending nguras laut daripada minta maaf sama lo. Lagian coba lo pikir deh, Mi. Salah gue di mana coba? Gue cuma nitip itu minuman, yang bawa masuk kosan kan lo, Mi, bukan gue. Gue tuh, nitip, ya! Tolong dicatat. NITIP!”

“Iya, iya, nitip! Udah minggir sana lo! Badan lo ngehalangin gue yang mau ambil piring buat sarapan. Ngeladenin lo mulu nggak bakal kenyang gue. Sana, hush!” usirku sembari mendorong bahunya yang tak seberapa kekar, tetapi terasa liat.

Sampai aku selesai memindahkan salad ke piring, Bara masih belum juga beranjak dari dapur. Dia tetap berdiri di samping kulkas dekat rak piring. Matanya mengarah pada piringku yang penuh.

“Mau?” tawarku. “Kalau lo mau, gue bikinin satu lagi.”

“Gue nggak biasa sarapan sebenarnya. Tapi karena lo maksa, boleh deh.”

Sembari membuat salad untuk Bara, aku menggerundel, “Gaya lo nggak biasa sarapan. Lo lupa waktu pertama kali kita ketemu, lo bilang mau cari sarapan? Tinggal bilang nggak ada duit buat beli sarapan aja apa susahnya sih, Bar.”

“Nggak gitu ya, Mi. Waktu itu gue belum cutting badan. Nah, beberapa hari ini gue udah mulai cutting, makanya gue diet.”

“Iya, iya, mau lo cutting, mau lo bulking, terserah lo udah. Nih!” Aku menyodorkan sepiring salad dengan dressing wijen sangrai kepadanya. “Jangan lupa habis makan, piringnya cuci sendiri.”

Aku meraih piring sarapanku untuk kubawa ke kamar. Baru tiga langkah, Arum memanggilku.

“Mbak, Almira!”

“Iya, Rum. Kenapa?” tanyaku balik.

“Aku boleh minta bawang gorengnya ndak? Mau bikin mie buat sarapan.”

“Oh, ambil aja.”

“Mbak Almira mau aku sekalian bikinin juga nggak?”

Menggeleng, aku menunjukkan sepiring salad di tanganku. “Gue udah buat sarapan. Kalau lo mau nawarin orang, mungkin Bara—” Aku celingukan mencari Bara yang mendadak hilang. “Minimal bilang makasih kek,” decakku lirih.

“Mbak Almira cari Mas Bara? Tadi Mas Bara buru-buru naik sih, Mbak.”

“Nggak kok. Ya udah, gue ke kamar, ya? Mau siap-siap berangkat kerja. Lo ambil aja udah. Asal nggak lo habisin sih, itu bawang.”

Arum tergelak. Kupikir urusan bawang sudah kelar, tetapi Arum malah menggamit lenganku saat aku hendak beranjak. Sebelah alisku bergerak naik, menanyakan lewat isyarat alasan dia menahanku kali ini.

“Anu, Mbak. Kalau aku ikut Mbak Almira ke i-Net TV, boleh ndak? Siapa tahu ada lowongan jadi CS gitu di sana.”

Aku tidak segera menjawab. Kalau sekadar main sih, silakan saja asal ada yang mendampingi. Masalahnya, hari ini aku pasti sibuk mengurusi program yang lagi syuting buat tayangan live. Mana bisa aku mengajak Arum berkeliling.

“Lo lagi butuh kerjaan?” Arum mengiyakan dengan anggukan cepat. Bergumam sebentar, aku pun membuat jalan tengah. “Ntar gue tanyain deh, ada lowongan apa nggak. Misalnya ada, baru nanti lo ke i-Net. Gimana?”

“Gitu ya, Mbak? Yo wis, aku manut aja asal dapat kerja. Kerjaan opo ae aku mau kok, Mbak. Makasih ya, Mbak.”

Setelah itu, aku bergegas ke kamar. Kunikmati sarapan sembari duduk di teras dengan tenang. Sayangnya, tak beberapa lama, dari lantai atas aku mendengar suara ribut-ribut dan barang dibanting-banting hingga pecah. Berjalan ke pinggir pagar, aku melongok ke lantai dua, mencoba mencari tahu, apa yang sedang dilakukan penghuni kamar atas.

“Ya, tenang saja, Bunda. Itu cangkir saya yang kesenggol. Mangkoknya aman, kok, Bunda. Tenang saja, Mangkok Sayur Macook-nya nggak pecah, kok! Bentar, saya ambil dulu.” Suara seorang pria yang begitu fasih mempromosikan produknya terdengar.

Di atas kamar gue, kamar si Dayat, kan? Sebenarnya dia lagi ngapain, sih? batinku penasaran.

Allahuakbar, la illaha illallah!” teriak Dayat, membuatku ikut terlonjak.

Aku hendak melongok kembali, tetapi sesuatu dari atas tiba-tiba jatuh tepat menutupi seluruh wajahku. Saat mengeceknya, spontan aku melemparkan barang tersebut. Badanku bergidik. Bukan karena ngeri sih, tetapi lebih ke jijik.

“Kolor ijo siapa ini yang terbang sampai ke kamar gue?”

TBC

Hari ini LUNAS, ya!
Pas tengah malem banget ini.

Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears

Thanks for your support~

Big hug,
Vanilla Hara
21/9/24

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang