hormat kepada angin

32 19 54
                                    

Hormat Kepada Angin
Written by Green Tea
Playlist, Amin Paling Serius, Nadin Amizah & Sal Priadi

Aku ingat hari itu-hari ketika untuk pertama kalinya aku belajar menghormati angin. Mungkin terdengar aneh, tetapi bagiku, angin bukan sekadar embusan. Ia berbicara dalam bahasa yang tak terdengar oleh telinga, tetapi terasa oleh setiap pori kulitku. Hari itu, aku berdiri di ambang dunia yang tak lagi terasa selayak tempat yang kukenal. Aku memandang ke arah angin yang meliuk di antara pepohonan, bagai memintaku untuk memahami pesannya.

Angin datang tanpa undangan, tetapi selalu tiba tepat waktu. Menggoyang dahan-dahan hingga mereka tunduk patuh, membuatku pun tak berdaya. Kulitku merasakan kehadirannya lebih dulu. Menyelinap di sela-sela pakaian, berbisik tentang waktu yang berlalu; tentang kenangan yang tersapu pergi. Hari itu, aku merasa seperti debu yang dihempas ke udara, terombang-ambing tanpa arah. Hanya mengikuti ke mana angin membawa.

Apa kalian pernah merasa begitu? Seperti hanya serpihan yang dibawa oleh sesuatu yang jauh lebih besar darimu? Tidak bisa melawan, hanya bisa pasrah. Hari itu, angin adalah tuan yang kurespek, meski tak terucap.

**

Aku masih mengingat wajah Nisa dengan jelas-senyumnya yang selalu berseri, matanya yang tampak tahu banyak hal meski jarang berbicara. Ia adalah teman dalam sunyi, hadir saat kehampaan menyelimuti. Kami berbagi kebisuan yang nyaman, kebisuan yang hanya angin mampu ceritakan. Karena setiap kali kami duduk di taman, di tengah wangi tanah dan dedaunan yang basah, anginlah yang menjadi pembicara utama.

"Kadang, aku merasa angin tahu lebih banyak dari yang kita pahami," katanya suatu hari, matanya tertuju ke batas cakrawala. "Seperti ia membawa pesan dari sesuatu yang lebih besar dari kita."

Aku hanya mengangguk, membiarkan kata-katanya larut dalam pikiranku. Aku tidak benar-benar mengerti saat itu, tapi sekarang, di senja yang penuh kelembutan hembusan angin, kata-kata Nisa kembali seperti mantra. Waktu telah memisahkan kami, tapi angin selalu menjadi pengingat. Setiap kali ia berdesir melewati rambutku, aku bisa merasakan kehadiran Nisa-seakan dia tak pernah benar-benar pergi.

**

Saat melangkah di jalan setapak yang dinaungi bayang-bayang pohon, aku tahu sesuatu akan terjadi. Langit perlahan berubah dari biru muda menjadi abu-abu tua, tetapi tak ada rasa takut. Sebaliknya, ada ketenangan yang tak terjelaskan. Angin mulai berembus lebih kuat, seakan mempersiapkan sesuatu yang besar. Aku merasa seperti tamu dalam suatu pertemuan agung yang tak terelakkan.

Di ujung jalan, aku melihat Nisa. Berdiri di lapangan terbuka, rambut panjangnya berkibar bagai bendera yang diterpa angin. Ia tidak melihat ke arahku, matanya menatap langit yang bergulung bagai dunia sedang menarik napas panjang.

"Nisa," panggilku, 'kan tetapi suaraku tertelan oleh angin.

Ia menoleh perlahan, dan senyum itu muncul lagi-senyum yang membuatku merasa ia tahu sesuatu yang tak kumengerti. Langkahku terhenti beberapa meter darinya. Kami berdiri di sana, di tengah angin yang semakin liar, seolah alam sedang memainkan simfoninya sendiri.

"Kau pernah berpikir tentang apa yang angin bawa?" tanyanya, suaranya tenang di tengah gemuruh. "Apa yang ia sembunyikan dari kita?"

Aku terdiam. Pertanyaan itu merambat dalam pikiranku. Apa yang disembunyikan angin? Kenangan, rahasia, atau rindu yang tak pernah tersampaikan?

"Kita sering lupa menghormati yang tak terlihat," lanjutnya. "Kita terlalu sibuk menghormati hal-hal yang bisa kita lihat, yang bisa kita sentuh. Tapi bagaimana dengan angin? Ia mengelilingi kita, membelai pipi kita, menyejukkan hati kita, tapi kita jarang memberinya perhatian."

Aku menatapnya dalam diam, mencoba memahami kata-katanya. Angin-apakah ia lebih dari sekadar udara yang bergerak? Hari itu, bagiku, angin adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, yang menghubungkan yang hidup dan yang telah pergi.

Saat angin semakin liar, aku merasakan tubuhku seolah menjadi bagian dari tanah, tertambat pada akar-akar tak terlihat yang menahan dengan kuat. Angin, yang tadinya hanya hembusan lembut, kini mengamuk bagai badai yang tak terkendali. Setiap tarikan napas terasa berat, udara berputar-putar di tenggorokanku, membekap aliran kehidupan. Jantungku berpacu, seakan berusaha melawan kekuatan yang ingin menarikku ke dalam kehampaan.

Kakiku tertahan, seakan terpasung. Di dalam angin, aku mendengar suara-suara-bisikan, tawa, jeritan. Sulit membedakannya. Aku hanya tahu satu hal: aku sedang dihakimi oleh sesuatu yang lebih besar dari diriku, sesuatu yang berada di luar nalar manusia.

Angin menggali jauh ke dalam tubuhku, menyibak rahasia-rahasia, kenangan yang terpendam, rasa takut yang tak pernah kutunjukkan. Tubuhku bergetar hebat, bukan oleh dingin, tapi oleh intensitas yang mengoyak setiap serat emosi.

Nisa, di mana kau? Dalam pusaran angin ini, bayanganmu terbang menjauh. Mungkin aku selalu tahu bahwa kau bukanlah nyata. Atau mungkin, kau adalah bagian dari angin itu sendiri, yang terus membimbingku untuk memahami sesuatu yang selama ini kulewatkan.

Dunia di sekelilingku berputar lebih cepat dari yang bisa kuikuti. Waktu mencair, menetes di sela-sela setiap hembusan. Lantas pada saat itu, di tengah keheningan mendadak, aku menyadari sebuah kebenaran.

Angin adalah hidup, dan aku hanyalah pengelana yang tersesat dalam alirannya.

**

Kini aku berdiri lagi di lapangan yang tenang. Angin berhembus lembut, seolah badai tadi hanya mimpi. Keringat masih menetes di dahiku, napasku tersengal-sengal, meski udara terasa lebih ringan.

Pertanyaan itu kembali menggangguku. Apa yang angin coba katakan? Apa yang selama ini kucari? Apakah aku hanya debu yang terbang tanpa arah, ataukah aku memiliki kendali?

Jika angin adalah waktu, apakah aku sudah menghormati setiap detik yang berlalu, atau hanya membiarkannya lewat tanpa arti?

Selesai.

evermore Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang