38. Kakek

260 39 4
                                    

Habib mengingat perasaan ini. Dulu waktu kelas 3 SD, dia pakai seragam merah putih padahal hari itu jadwalnya adalah seragam batik. Permasalahannya sebenarnya bukan karena Habib lupa, tapi karena dia belum beli seragam batik itu karena nggak punya uang. Alhasil dia tetap pergi sekolah walaupun dengan pakaian seadanya. Seharian itu, perasaan aneh banget karena dia terlihat sangat berbeda dan mencolok jika dibandingkan dengan teman-temannya. Setiap kali dia lewat, semua mata memandanginya seolah Habib ini tontonan. Yah, itulah yang Habib rasakan sekarang. Dia salah kostum. Dia datang dengan baju formal kayak mau ngelamar kerja ke acara keluarga yang temanya pantai. Jangankan pakai baju dan aksesoris mahal seperti dia bayangkan. Bapak-bapak yang ada di sini hampir semuanya hanya pakai kolor saja. Tentu saja dia jadi pusat perhatian. Apalagi salah seorang pria yang ganteng banget tiba-tiba mencegatnya dan memintanya membawakan es jeruk.

"Mas, tolong es jeruknya satu pitcher lagi."

Aina langsung menendang kaki lelaki tamvan yang menggendong bayi itu.

"Ini pacarku! Bukan waiter!" amuk Aina.

"Hah, pacar?" Lelaki ganteng itu seketika ternganga lalu mengamati Habib dari atas sampai bawah.

"Kamu si Habib itu? Tukang ojek itu?"

Habib melongo. Apa dia sudah seterkenal itu di keluarga Aina? Bahkan babang tamvan yang dia nggak tahu namanya ini saja mengenalinya dan tahu profesinya apa. Seketika genap nyali yang dikumpulkan Habib menguap. Apa lebih baik dia kabur saja?

"Pak Habib!" Untunglah di tengah-tengah keramaian itu muncul satu orang yang dikenali Habib. Itulah Dokter Agmi yang menyapanya dengan senyuman lembut.

"Aku nggak nyangka Pak Habib sudah diajak ke sini. Berarti hubungan kalian sudah sangat serius ya?" tanya Agmi kepo.

Sesungguhnya Habib masih tidak yakin dengan semua ini. Benarkah dia dan Aina akan membina hubungan yang seserius itu sampai ke jenjang pernikahan? Dalam pertemuan mereka yang masih sesingkat ini. Apakah ini semua memang benar adanya atau hanya emosi sesaat saja. Namun ketika Habib memandang wajah Aina yang tersenyum cantik padanya, rasanya Habib bisa mendaki gunung dan melintasi samudra sekarang juga. Ya, dia memang serius dengan Aina.

"Inikah yang namanya Habib?"

Kaki Habib rasanya tidak berpijak di tanah lagi ketika dia mendengar suara bariton yang halus dan penuh kasih sayang itu. Dia menoleh ke belakang dan melihat seorang lelaki tua dengan baju pantai yang berjalan pelan dengan berpegangan pada tongkat.

"Iya Kek, Mas Habib, ini Kakekku."

Habib agak terperangah juga tiba-tiba dia dipanggil Mas sama Aina. Kayaknya ini nggak ada dalam briefing mereka tadi.

"Wah, aku sudah menunggu kedatanganmu Nak Habib. Ayo ikut Kakek sebentar. Aina kamu di sini saja, bantu momong Shifa."

Prof Sumarto sepertinya sudah tahu kalau Aina mau ikut. Aina jelas kaget. Ini tidak ada dalam skenario mereka. Harusnya Aina ikut dan turut menjawab. Apa Habib bisa kalau dia sendirian saja? Tapi apa mau dikata, sang kakek sudah memberikan titah demikian.

Habib mengikuti Prof Sumarto yang berjalan ke tepian kolam dengan langkah pelan. Dia berkomat-kamit membaca ayat kursi agar hati dan pikirannya tenang. Rasanya dialog yang sudah dipersiapkan dengan Aina di mobil tadi semuanya menguap.

"Aku langsung ke intinya saja, Nak Habib. Apa kamu serius dengan cucuku?"

Pertanyaan Prof Sumarto itu membuat dada Habib gemetar. Apakah dia memang serius dengan Aina?

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terpaksa Menikahi Dokter 2 (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang