Condolences

53 6 0
                                    

“May the Goddess close her eyes three times...
Keep your blood eternally pulsing...
Let your journey be forever peaceful...
... and your schemes forever concealed.”

***

Tiga kali. Tiga kali Veritas menghitung bagaimana kehidupannya bisa berputar di sekitar laki-laki yang lain. Hasilnya tetap sama, selalu berakhir di angka ketiga. Veritas percaya akan sebuah perhitungan, bukan kebetulan. Namun, ia sangat yakin semenjak dirinya mengenal Aventurine—lelaki dengan pemikiran licik serta gaya fashion yang terlalu berlebihan di matanya—rasanya Veritas semakin yakin kalau semuanya tak bisa berjalan sesuai perhitungan, layaknya bagaimana lelaki berambut terang tersebut pandai mengacaukan segalanya—untuknya.

Dalam tiap pejaman mata, Veritas ingat, saat di mana Aventurine pertama kali menarik perhatiannya; waktu menginjak sekolah menengah. Saat itu, lanskap ungu berpendar di langit. Lelaki berambut gelap tersebut memandang netral ke arah rak demi rak yang tertata apik dalam perpustakaan sekolah. Hari yang sial—dia tak bisa menemukan buku terkait pelajarannya di sini. Matanya menelusuri rak buku dengan seksama, hanya untuk hasil yang nihil.

“Aha, kamu pasti mencari buku tebal sampul biru tua itu, ‘kan?”

Veritas ingat, kala itu Aventurine dengan senyum miringnya berhasil menebak apa yang ia cari. Dengan senyum terpampang, ia berkata, “sepertinya buku itu banyak yang pinjam akhir-akhir ini. Coba kita lihat, apakah sudah ada yang mengembalikan atau belum.”

Dalam memorinya, Veritas dibawa menuju ke penjaga perpustakaan. Seakan keberuntungan memihak mereka, siswa lain baru saja mengembalikan buku tebal tersebut. Veritas masih ingat senyum aneh milik Aventurine. Ia mengingat hari-hari di mana mereka terus bertemu di perpustakaan, seakan doa seseorang sedang diwujudkan. Veritas tak pernah ambil pusing—Aventurine bukan orang bodoh, tidak seperti yang lain; Veritas juga bukan orang tak berperasaan. Terkadang berbicara dengannya bisa sedikit menyenangkan. Aneh kala kegiatan tersebut tumbuh menjadi hari-hari yang ia tunggu. Ia akan membaca buku dengan tenang dan Aventurine dengan apapun yang dia lakukan. Hubungan mereka bisa berkembang menjadi apa yang kalian sebut sebagai teman.

Tetap saja, aneh jika apa yang ada di pikiran Veritas kala itu adalah bagaimana cara senyum aneh Aventurine selalu mekar dalam wajahnya. Garis mulut yang seakan enggan menyentuh mata. Tiap kali Veritas mencuri pandang ke arah Aventurine—yang entah sejak kapan ia lakukan—terlebih saat di kelas, lelaki itu seperti tak benar-benar seriang apa yang dikatakan orang-orang. Rasanya mereka tetap menjadi asing, ia tak mengenal Aventurine, sebagaimana Aventurine tidak mengenal dirinya.

“Kamu terlalu banyak berpikir,” ucap Aventurine saat pandangannya tak lagi fokus pada kotak penuh boneka di hadapannya.

Lelaki yang lebih pendek tersenyum geli, luar biasa bagaimana senyumnya akan berubah menjadi lebih ... cerah. “Aku heran kau belum menumbuhkan sehelai rambut putih di sana.”

Saat itu, ia hanya mendengus sebagai jawaban. Kali ini dirinya bertekad untuk membuktikan bahwa perhitungannya benar; seorang Veritas pasti bisa mendapatkan setidaknya satu boneka dari mesin capit sialan ini. Namun bahkan saat percobaan ketiga, capit di dalam terus-menerus menjatuhkan bonekanya. Ini konyol, dia berkata seperti itu ke temannya—Aventurine. Yang Aventurine balas dengan tawa kencang.

Oh.

Oh.

Hal pertama yang terlintas, bagaimana Veritas hampir berdecak kagum melihat bagaimana Aventurine bisa tertawa lepas seperti itu. Seakan-akan kala itu Veritas baru bisa melihat langsung senyum tulus Aventurine. Bagaimana dia mengejek Veritas karena ketidakberuntungannya, bagaimana Aventurine bisa tersenyum bangga karena berhasil membawa pulang lima boneka aneh berbentuk kucing tersebut. Veritas sendiri hanya berhasil membawa satu boneka, yang ia langsung berikan kepada lelaki yang lain.

Memorial | RatioRine AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang