15. Jalur Orang Dalam

139 47 8
                                    

Malam, Dears!
Sehat-sehat terus ya, biar bisa nimbrung di lapak Ami sampai kelar. Komentarnya, sebentar lagi Hara balas, yang belum dibalas. Makasih sudah ngeramein. ❤️

Enjoy this story~
Happy reading!

***

Para Penghuni Arsha Kos

Dayat Sudrajat
Punten, Mbak @Almira Bestari
Itu teh kolor saya.
Kok bisa sampai ke kamar Mbak?
Jangan-jangan Mbak Almira mau melet saya, ya?

“Najis banget gue melet dia. Daripada gue melet dia, mending Dokter Akhtar ke mana-mana,” gumamku.

Sebuah helaan panjang lantas keluar dari bibirku setelah membaca grup, membiarkan pesan Dayat tanpa balasan. Dengan ujung jari, aku mengambil kolor hijau yang tadi kulempar sembarangan untuk kumasukkan ke dalam kresek hitam.

Berkat sebuah ide yang terlintas begitu saja, aku langsung memotret, lalu membagikan foto tersebut ke grup. Aku pun kemudian tahu siapa pemilik kolor hijau yang merusak pagiku itu.

Siapa lagi kalau bukan Dayat Sudrajat? Pria yang kelihatan polos, tetapi sangat menyebalkan setiap bicara. Padahal cara bicaranya biasa saja sebenarnya, tetapi polah dia itu, lho! Ah, sudahlah! Susah buat aku jelasin.

Pukul tujuh kurang lima belas menit, aku keluar kamar sembari menenteng kresek hitam berisi kolor jahanam milik Dayat. Saat mengunci pintu, aku menoleh ke sana kemari untuk mencari si pemilik kolor. Tadi dia bilang mau mengambilnya sebelum aku berangkat kerja, tetapi sampai sekarang batang hidungnya malah belum kelihatan.

Enggan menunggu, aku mengayunkan langkah keluar kosan. Niatnya, biar aku titipkan saja kolor si Dayat ke Pak Alpian. Kalau menunggu dia turun, bisa-bisa aku terlambat. Meskipun kosan dan gedung i-Net TV itu sekitar dua kiloan, paling tidak aku membutuhkan waktu tiga puluh menitan untuk jalan kaki dengan mode santai. Bukan lima menit langsung sampai.

“Lah, ini Mbak Almira baru muncul. Saya pikir, Mbak udah berangkat duluan. Saya nungguin di sini dari tadi.” Dayat mengagetkanku yang tengah berjalan sembari fokus menatap layar ponsel.

Malas berbasa-basi, aku langsung menyodorkan kresek hitam yang kubawa. “Nih. Lain kali kalau jemur kolor itu pakai jepitan baju, Mas Dayat, biar nggak terbang ke mana-mana.”

Dayat cuma cengengesan, tak menanggapi saranku dengan serius. “Duit dari mana atuh, Mbak Almira. Pagi ini saja saya baru dipecat karena gagal dapat pelanggan dari live streaming dan malah suruh gantiin barang dagangan yang nggak sengaja saya banting,” tuturnya mendadak murung. “Tapi kalau Mbak Almira nggak keberatan teh, boleh atuh saya pinjam dulu seratus? Hitung-hitung biar silaturahmi kita nggak terputus begitu.”

Aku yang awalnya ikutan sedih pun urung. Sembari berdecak, aku menyahut, “Jepitan baju harganya berapa sih, Mas Dayat? Palingan nggak nyampe lima belas ribu. Banyak amat mau pinjam seratus.”

“Ya, gimana ya, Mbak. Berhubung saya balik nganggur, nyari kerjaan lagi kan, butuh modal, Mbak Almira. Fotokopi KTP, cetak foto, dan nyiapin berkas yang lain mana bisa bayar pakai daun atuh. Nah, rencananya teh, saya mau pakai sisa duit beli jepit jemuran itu buat itu, Mbak.”

Sebenarnya, aku bisa saja menolak dengan alasan tidak punya uang. Tapi kok dilihat-lihat, kasihan juga ya, dia. Sudah tampangnya melas, nasibnya pagi ini lagi apes pula. Alhasil, aku memberinya selembar uang bergambar Soekarno—Hatta yang sedang tersenyum bahagia.

“Nih, balikinnya nanti aja kalau udah dapat kerja,” ujarku.

Dayat menerimanya dengan senyum semringah. “Wah, makasih lho, Mbak Almira. Nanti saya ganti beneran deh, kalau udah dapat kerja. Sekalian sama yang ceban kemarin.”

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang