Bab 9. Kebencian

23 2 0
                                    

Musuh paling berbahaya datang dari orang yang kau anggap baik.

***

Kiara terduduk seorang diri di ruang tamu, hanya bertemankan sunyi, ruangan ini terasa sangat hampa seakan sepi menjadi tema utamanya. Di tambah tanpa adanya ponsel ia hanya bisa memainkan jemarinya mencoba mengalihkan dari kegelisahan yang di alaminya.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul 6 sore, namun pria itu belum juga kembali. Entah, dia mau pergi kemana, katanya hanya sebentar namun sudah berjam-jam. Ketakutan mulai menghampiri, ia takut pria itu tidak akan pernah kembali, rasa kesal mulai terasa ia di bawa dengan paksa lalu untuk ditinggalkan seperti ini.

Namun, seiring waktu berlalu, pikirannya kembali pada percakapan mereka waktu tadi, kata-katanya masih terngiang di kepalanya.

"Toxic?" Kiara termenung, amarahnya mulai mereda. "Ada benarnya juga, selama ini aku terjebak dalam lingkaran tidak sehat, mengapa aku sesabar itu dari kecil menghadapi sikap Bibi yang jahat itu?" lanjutnya. Raut wajah mulai sendu.

Bahkan, tidak pernah sedikit pun ia menyadari itu, kalau saja Damian tidak menyadarkannya mungkin selamanya tidak akan pernah sadar, ia hanya menjadi bonekanya, mencari uang untuk menafkahi Bibinya, sampai ia lupa dengan alasan bertahan hidup, ia lupa bahwa tujuannya untuk mencari orang-orang jahat itu.

Tak lama pintu terbuka, dengan refleks Kiara beranjak dari duduknya, menatap Damian yang kini sedang berjalan ke arahnya.

"Ini, kau pasti lapar, maaf aku baru bisa pulang sekarang," ucap Damian sambil menunjukkan kantung plastik berisi makanan.

Kiara menatap plastik itu sekilas, lalu kembali menatap Damian. "Ayo makanlah! Jangan khawatir, aku tidak mungkin meracunimu." Damian memberikan plastik itu kepada Kiara.

"Aku tidak mau makan, aku cuma mau pulang!" ucapnya.

Tatapan Damian kembali menajam.
"Pulang kemana? Kau bahkan tidak punya rumah, hanya menumpang di rumah Bibimu."

"Itu rumahku, banyak kenangan indah di sana, walau pun ... " ucapannya terhenti, tak sanggup kalau kembali membahas satu kenangan yang pahit itu.

"Walau pun di sana kau di perlakukan tidak baik, oh ... sekarang aku paham, jadi alasan kau tidak mau meninggalkan rumah, karena tidak mau rumah itu menjadi milik Bibimu, begitu?"

"Aku tidak peduli soal rumah itu akan jadi milik siapa, aku hanya tidak ingin pergi dari sana."

"Setelah menikah, aku bahkan bisa memberikanmu rumah yang dua kali lebih luas dari rumah itu, sudah, sekarang makanlah! Jangan sampai aku memaksamu!" Damian berjalan melewatinya, sedangkan Kiara kembali diam. Bahkan ia tidak merasakan lapar sama sekali, yang ada di otaknya sekarang bagaimana caranya bisa segera pulang, lalu menjelaskan ini kepada Diana.

Pertama kali dalam hidupnya, makan bersama dalam satu meja bersama pria asing. Kiara hanya memainkan sendoknya sejak tadi, bahkan belum ada satu suapan pun yang masuk ke mulutnya, sehingga itu mampu menarik perhatian Damian.

"Jangan hanya di lihat! Atau, kau mau aku suapi?"

"Tidak usah!"

"Ya sudah, makanlah! Aku tidak mau kau sakit."

Karena malas berdebat, Kiara menyantap makanan miliknya. Diam-diam Damian menyunggingkan senyumnya, berada di ruang yang sama bersama gadis pujaan hatinya.

Akhirnya, aku bisa berdua denganmu. Setelah masuk ke dalam hidupku, jangan harap kau bisa pergi, karena aku tidak akan membiarkannya. Batinnya.

"Boleh aku pinjam ponselmu!" Pinta Kiara setelah ia menghabiskan makannya.

"Untuk apa?"

"Jangan bilang kau mau menghubungi Bibimu! Tidak! Aku tidak akan membiarkannya!"

"Ayolah, aku hanya ingin menghubungi Diana!" tegasnya.

"Untuk apa menghubungi dia? Sudahlah, mulai sekarang sebaiknya kau fokus dengan kehidupan barumu, tidak usah memikirkan mereka."

"Aku tidak mau menyakiti Diana, karena dia adalah orang yang paling aku sayangi."

Damian menatap Kiara dengan lekat. "Bukankah kau diperlakukan tidak baik oleh mereka, masih sempatnya mengatakan dia orang yang paling kau sayang!"

"Diana berbeda, dia tidak seperti Ibunya, dia baik padaku bahkan dia yang selalu melindungiku, itulah sebabnya aku tidak mau menyakiti dia. Dengan caramu menahanku di sini, itu sudah sangat menyakiti Diana." Raut wajah Kiara terlihat sendu.

"Tolong, tetap nikahi dia! Diana begitu mencintaimu, Damian!" Lanjutnya.

"Apaan kau ini? Tidak usah ikut mendesakku, sekali tidak tetap tidak. Aku tidak mau menikahinya, aku hanya ingin menikahimu."

"Aku bukan levelmu, kita tidak akan pernah pantas."

"Dan aku yang akan memantaskan diri untukmu, aku tidak peduli soal apa pun, yang jelas aku ingin menuruti kata hati, jika kau, ya tetap kau tidak dengan yang lain!" Tegas Damian.

Tetap saja tidak bisa menghentikannya, Kiara makin frustasi ia tidak menyangka akan seperti ini, pria di depannya ini benar-benar sangat terobsesi.

***

"Bagaimana, Bu? Apa sudah diketahui dimana Kiara berada?" tanya Diana setelah menunggu Ibunya selesai berbicara dengan mamanya Damian.

"Damian membawanya ke apartemen."

"Apa? Jadi saat ini mereka hanya berdua saja?"

"Ya, bahkan Damian tidak mengizinkan Ibunya untuk datang ke apartemennya."

Diana merasa terbakar sekarang, ini sudah benar-benar keterlaluan.

"Kalau begitu tanyakan dimana alamat apartemennya, biar aku yang menjemput Kiara sekarang juga."

"Tidak! Jangan, Nak, ini sudah malam!" Marni menahan putrinya.

"Bu, mereka hanya berdua di apartemen, bagaimana kalau keduanya melakukan sesuatu yang ... arghh aku tidak kuat membayangkannya, aku tidak terima." Diana ingin menangis, setelah menahan api cemburu yang membara di hatinya, kini tak kuat lagi. Kesal, marah, sedih semua bercampur menjadi satu.

Dia benci Kiara, sekali pun ini bukan kesalahannya tetapi, ia merasa bahwa Kiara hanya pengacau di dalam hidupnya. Andai di rumah ini tidak ada Kiara mungkin tidak akan seperti ini jadinya.

"Sabar, Nak. Ibu akan melakukan cara untuk memisahkan mereka, tetapi, sebelum itu, kau harus berjanji satu hal pada Ibu!"

"Apa itu, Bu?"

"Mulai detik ini, dan seterusnya jangan pernah lagi kau memperlakukan Kiara dengan baik, sekarang lihatlah sendiri, dia sudah mengkhianatimu, dia mencuri apa yang seharusnya jadi milikmu, dia tidak pantas dibaiki!"

Diana diam beberapa saat, kenangan bersama Kiara dari kecil sampai tumbuh dewasa, terasa begitu memuakkan, apa yang sudah ia lakukan untuk Kiara benar-benar tidak ada balasannya, sepertinya memang selama ini ia telah salah melindungi orang.

"Baiklah, aku tidak akan lagi melindunginya, apa pun yang Ibu lakukan padanya akan aku dukung, karena jalang itu pantas mendapatkannya, brengsek kau Kiara!" ucapnya dengan penuh amarah.

"Tidak ada kata maaf untuknya, kita harus singkirkan Kiara."

Diana menyeringai mendengar perkataannya. "Aku setuju, Bu. Kita harus segera menyingkirkannya, dengan itu Damian akan menjadi milikku."

Ibu dan anak itu terlihat bahagia dengan rencana yang telah dipikirkannya. Diana yang bahkan dulunya baik, kini sudah di cuci otaknya, sehingga sebelas dua belas dengan sang Ibu.

***

Jangan lupa vote ya gengs 🙏☺️

Asmara dalam Dendam (Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang