Aneth masuk ke dalam rumahnya dengan wajah yang sudah merah padam, ia melempar ranselnya dengan kasar hingga orang-orang yang berada di ruang tamu, termasuk Ibunya langsung tersentak dan sontak menoleh ke arah Aneth yang sudah menghentak-hentakan kakinya dengan jengkel.
"Kenapa sih sayang?" Marina menghampiri putrinya dan menuntunnya duduk sambil meminta Bi Inah untuk membuatkan Aneth sesuatu yang dapat membantu mendinginkan emosinya.
"Aku di katain jablay Mah!." Aneth bercerita dengan nada jengkel yang tidak dapat di sembunyikan lagi.
"Siapa yang berani kurang ajar kayak gitu sama kamu?!" Marina ikut naik darah mendengar aduan putrinya.
"Aku gak tau, tapi yang pasti dia satu sekolah sama aku, tapi aku gak kenal dia siapa."
"Dia gak kenal sama kamu tapi kok bisa berani sekurang ajar itu?"
"Aku ribut sama pacarnya."
"Urusannya sama dia apa?"
"Gak ada, dia emang pengen sok pahlawan aja."
"Yaudah kalau gitu kamu tenang aja, nanti biar Mamah yang urus." Aneth hanya diam dengan wajah tertekuk, ia masih jengkel dan marah.
"Minum dulu Non." Bi Inah menyajikan es lemon yang lansung Aneth teguk, seketika rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, dan sedikit banyak itu membantu Aneth untuk menenangkan pikirannya.
"Udah tenang?" Tanya Marina, dan Aneth hanya mengangguk.
Aneth akhirnya
"Aku ke atas dulu ya Mah." Marina mengusap surai putri tunggalnya sambil mengangguk. Aneth kemudian naik ke atas dengan pikiran yang penuh, ia kemudian memutuskan untuk berendam, berharap hal itu bisa membantunya untuk menenangkan diri dan pikiran. Dan benar saja, sesaat setelah sebagian besar tubuh masuk ke dalam air, seketika pikirannya menjadi lebih tenang dan emosinya mulai turun. Butuh lebih dari setengah jam untuk Aneth hingga mampu benar-benar berpikir jernih. Setelah selesai berendam ia segera menyambar ponselnya dan mengirimkan sejumlah pesan untuk Zahir yang inti dari semua pesan itu adalah permintaan maaf. Namun sayangnya pesan itu tidak terkirim, Aneth duduk di ujung ranjangnya dan mulai berpikir, apakah Zahir kehabisan paket internetnya. Lagi?. Bukankah beberapa hari yang lalu ia baru saja mengisikannya secara diam-diam dalam jumlah yang setidaknya cukup untuk satu bulan, apa lagi Zahir adalah manusia sibuk yang pastinya tidak punya waktu banyak bermain ponsel, dan juga bukan orang yang aktif bersosial media, jadi itu artinya hanya ada satu kemungkinan. Ponselnya memang mati, atua mungkin memang Zahir sengaja mematikan ponselnya. Aneth memutuskan untuk menaruh ponselnya dan tidur sambil menunggu esok pagi untuk meminta maaf secara langsung.
Pagi ini Aneth tidak terlalu bersemangat, malah sebaliknya, tidurnya malam ini sangat tidak nyenyak, sepanjang malam ia mencoba berhenti untuk merasa bersalah namun tidak pernah berhasil yang berujung istirahatnya jadi terganggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirimu yang Ada Namun Hilang
Teen Fictionbagaimana jika ada satu titik di hidup ini di mana kita tidak memiliki sebuah pilihan? dan pilihan itu malah menjerumuskan kita ke dalam kubangan tak berdasar