us.

7 0 0
                                    

Denting lonceng gelang kaki menarik perhatiannya, tetapi ia berpura-pura tidak menghiraukan. Saat itu Devaratha tengah menghisap batang rokok kedua, seraya menikmati semilir lembut angin malam yang memikat. Tidak ada bintang di langit yang gelap, tetapi angkasa tetap terlihat indah dengan cahaya bulan menawan.

Devaratha telah berada di sini selama satu jam lamanya, memandangi hamparan kota luas yang damai. Dari atas balkoni, ia mampu mendapati beberapa bangunan tinggi terlihat menjulang dengan lampu keemasan, lebih berkesan ketika sebagian lampu sengaja dipadamkan.

Hari sudah malam, seharusnya Devaratha melakukan hal yang sama, mematikan lampu, dan pergi tidur. Tetapi ia tidak melakukannya, malam ini suasana hatinya begitu baik, sehingga ia enggan menghabiskan malamnya dengan sia-sia, menikmati pemandangan malam adalah salah satu hal yang membuatnya tenang, dan mendengar bunyi denting lonceng kaki yang dengan sengaja disenandungkan, adalah hal terbaik yang bisa ia dapatkan malam ini.

Di saat bunyi itu kembali terdengar, Devaratha tidak dapat menyembunyikan kepuasan di balik senyum samar. Dengan tenang ia mematikan batang rokok setelah ia menghisapnya untuk terakhir kali, kemudian mengembuskan asapnya ke awan-awan. Puntung ia letakan di dalam wadah yang dikhususkan untuk mereka, lalu melupakan benda itu begitu saja, seperti mereka tidak pernah menemani malam-malamnya.

Ketika Devaratha berbalik ke belakang, seseorang tengah memandanginya dari pintu balkoni. Seseorang yang selalu berhasil membuat senyuman di bibirnya tak pernah pudar selama bertahun-tahun lamanya. Varadha, Varadhanya. Pria itu bersandar di pintu, Devaratha sempat terdiam, menilai penuh dengan pandangan, dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, Varadha terlihat memikat. Piama berwarna biru tua terlihat pas membalut tubuhnya, gelang kaki masing-masing tergantung pada pergelangan kaki pria itu, hanya saja tindik di hidungnya sudah di lepas sebagaimana ia akan melakukan itu setiap malam.

“Apa yang kau lihat?” Ujarnya, begitu lembut, dengan nada menggoda yang diselipkan di balik suara yang tenang. Devaratha menggeleng, tidak bisa memungkiri senyuman konyol menari-nari di bibirnya.

“Kau cantik.”

Itu adalah pujian, ada kesungguhan di dalam binar kecoklatan di kedua matanya, itu adalah sebuah penghargaan, sebuah kehormatan untuk memilikinya, dan itu adalah obsesi, saat ia tidak bisa mengalihkan matanya ketika ia telah melihat kekasihnya. Semua hal yang ada pada Varadha adalah miliknya, kebanggaannya, keutuhannya. Ia berani menentang dunia untuk membuktikan kepada mereka bahwa Varadha adalah miliknya, bahwa ia akan terus berada di sisi Varadha hingga maut yang akan memisahkan mereka. Tidak ada satu orang pun yang boleh menyakitinya, atau membuatnya kehilangan senyum yang begitu sulit Devaratha temukan kembali di bibirnya. Devaratha akan melakukan apapun demi Varadha, demi dunianya.

Ada raut jengah yang dibuat-buat, tetapi Varadha tetap tidak bisa menghindari garis di bibirnya. “Jangan berbicara seperti itu!” Varadha memperingati, tetapi ia tetap menerima ketika Devaratha membawanya pada sebuah rengkuhan erat.

Ada hal yang samar-samar dibisikkan Devaratha pada telinganya, dan Varadha sudah terbiasa mendengar kata-kata itu, ribuan kali Devaratha telah memberitahunya tentang betapa pria itu mencintainya, tentang betapa pria itu mendambanya. Devaratha selalu mengatakan ini, seakan-akan jika ia tidak berbicara, Varadha tidak akan mengetahui seberapa besar cinta untuknya. Varadha tahu, tahu bahwa Devaratha tergila-gila, tahu bahwa pria itu rela menukar nyawa demi keselamatan jiwanya, Varadha tahu. Devaratha tidak perlu mengatakan apapun untuk membuatnya mengerti, karena Varadha dapat merasakan semua kasih sayangnya lewat cara ia menatap Varadha.

two of us : devaratha - varadha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang