17. Tentang Prinsip Ekonomi (2)

156 47 0
                                    

Malam, Dears!
Update kedua buat hari ini.
Seneng nggak?

Enjoy this story~
Happy reading!

***

Turun dari mobil, aku cuma bisa menggigit bibir. Melihat restoran yang Dokter Akhtar pilih, jelas-jelas bakal bikin dompetku menjerit.

Mas Danu sialan!

"Ayo, masuk! Tadi saya sudah reservasi." Dia berdiri beberapa langkah di depanku, menungguku berjalan mendekat. Ketika aku sudah berada di sisinya, kami berjalan beriringan. "Kamu suka makanan Jepang, kan?"

Sudah telanjur reservasi, tidak mungkin juga aku bilang tidak. Otomatis aku mengangguk karena pada dasarnya, aku memang tidak pernah pilih-pilih makanan. Satu-satunya yang saat ini kupertimbangkan adalah menu paling murah apa yang bisa kumakan.

"Good. Saya nggak salah pilih tempat kalau begitu."

Aku diam saja, membiarkan Dokter Akhtar bertanya dan meminta pelayan mengantarkan kami ke ruangan yang sudah dia reservasi.

Setelah melewati lorong dengan bilik-bilik, kami duduk lesehan di sebuah bilik ruangan yang terdapat satu meja di tengah. Pelayan memberi kami buku menu, bersiap mencatat apa yang ingin kami pesan.

Dokter Antar segera memesan Saikoro Beef Lunch Set, sementara aku jelas kebingungan. Sejujurnya, melihat harganya saja, sudah membuatku tak berselera. Hal itu membuatku lama memutuskan.

"Pesan lunch set aja biar dapat miso, salad, dan puding. Beef Katsu Curry Rice-nya di sini enak. Atau kamu mau samaan aja sama saya?"

"Saya ... kari aja, Dok," putusku kemudian, lalu membiarkan pelayan meninggalkan kami berdua.

"Jadi, kontrak kerja apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya?"

Dokter Akhtar tak membuang waktu untuk bertanya. Dia melipat kedua tangan di atas meja, siap menyimak penjelasanku.

Aku mengeluarkan draft kontrak dari dalam ransel. Kudorong ke arahnya untuk dia baca. Membasahi bibir sekilas, aku berujar, "Karena rating Lensa Nalar melonjak drastis sejak Dokter menjadi host-nya, kami menawarkan Dokter menjadi host tetap. Dokter bisa baca dulu kontraknya. Jika ada sesuatu yang nggak sesuai dan perlu diubah, nanti bisa saya diskusikan."

Dokter Akhtar tak menyentuh sama sekali draft kontrak di depannya. Dia menatapku lekat sembari berkata, "Kamu tahu sendiri saya bukan dokter lepas, Almira. Meskipun saya bisa menyempatkan waktu mengisi Lensa Nalar, saya tetap hanyalah dokter biasa di sebuah rumah sakit swasta. Saya tidak bisa dan tidak mau menukar profesi saya yang sebenarnya hanya untuk beralih menjadi selebriti terkenal."

"Ya. Saya tahu, Dok. Tapi kamu juga bersedia menyesuaikan waktu syuting Lensa Nalar dengan jadwal Dokter."

"Begitu? Lantas bagaimana jika ada pasien yang mendadak kritis dan butuh saya tangani dengan cepat? Jika saya izin pergi di tengah syuting, bukankah i-Net TV bisa menuntut saya?" Dia mendorong kembali draft kontrak di atas meja ke arahku. "Maaf. Saya tidak bisa. Pertama, saya setuju membawakan Lensa Nalar karena tertarik dengan program yang mengedukasi kesehatan. Kedua, dari awal saya memang sudah menegaskan kan, kalau saya tidak tertarik dan tidak terikat dengan dunia entertainment?"

Pembicaraan kami terjeda dengan kedatangan pelayan yang mengantar pesanan. Mendengar penjelasan panjang lebar barusan, kurasa keputusan Dokter Akhtar sudah final.

Tidak ada yang perlu kami bicarakan lagi seharusnya. Dan itu berarti, makan siang kali ini sia-sia. Aku tak mendapat apa yang kumau, tetapi malah rugi bandar. Makan siang ini aku yang membayar, ingat?

Kami menikmati makan siang dalam diam. Aku tidak kaget karena memang seperti itulah kepribadian Dokter Akhtar. Dia tidak banyak bicara, kecuali untuk sesuatu yang memang butuh dibahas. Jadi, meskipun sedikit canggung luar biasa, aku mencoba menghabiskan makan siangku dengan cepat. Pasalnya, ini kali pertama kami makan bersama.

"Dok, saya ke toilet sebentar, ya!" pamitku sesaat setelah menandaskan makananku.

Aku keluar menyusuri bilik-bilik untuk mencari di mana letak toilet. Beruntung, sebelum bertanya, aku lebih dulu menemukannya. Buru-buru aku masuk guna mengosongkan kantung kemihku. Tak sampai lima menit, aku sudah berdiri di depan wastafel sembari mencuci tangan.

"Apa gue minta sekarang aja ya, bill-nya? Nggak enak juga kalau bayar di depan Dokter Akhtar." Aku bergumam, mempertimbangkan.

Setelah yakin, aku pun keluar dari toilet untuk membayar tagihan makan siang yang sudah kami habiskan.

"Maaf, Mbak. Tagihannya sudah dibayarkan."

Aku mengerjap tidak mengerti. Dibayarkan, katanya? Jangan bilang ....

"Siapa yang bayar, ya?"

"Sesuai reservasi atas nama Pradipta Akhtar."

Seketika aku bingung harus bagaimana. Namun, boleh tidak kalau aku bersyukur dan lega? Karena bagaimanapun, makan siang hampir setengah juta hampir membuatku pening dan pingsan mendadak.

***

"Wuih, diantar siapa lo? Gebetan?"

Aku mendengkus keras, tak menanggapi pertanyaan kepo Bara yang berjalan mendekatiku dari teras. Karena ada berkas yang lupa kubawa dan Mbak Kinan memintanya setelah makan siang, mau tidak mau aku kembali ke kosan. Yang tak kusangka, Dokter Akhtar sampai repot-repot mengantarkanku segala. Padahal kami bisa pulang ke tujuan masing-masing usai makan siang bareng di Sakana Mega Kuningan.

"Eh, eh! Mau ke mana? Jawab dulu napa!" Bara menghalangi langkahku. "Diantar siapa tadi? Kalau dilihat-lihat dari mobilnya, bukan om-om gendut yang hobi cari mangsa dengan iming-iming Iphone-13 kan?"

"Lo yakin nggak lagi ngomongin diri lo sendiri?" Kuangkat sebelah sudut bibir, menyunggingkan senyum meremehkan.

"Buat gue Iphone-13 terlalu receh, ya. Dengan tampang ganteng dan dompet gue yang tebal, minimal Rubicon bisa gue kasihlah, Mi."

"Ganteng my ass!" cibirku. "Gantengan juga Dokter Akhtar ke mana-mana dibanding lo."

"Pardon?" Bara memintaku mengulang apa yang baru kugumamkan. "Kalo menurut lo, gue nggak ganteng, mungkin selera lo aja yang aneh, Mi. Atau kalau nggak, minimal lo cobain dululah bareng gue."

Aku mendorong lengan Bara ke samping sembari berujar, "Thanks tawarannya. Gue nggak berminat. Selera gue bukan Chindo, Bar. Tapi mas-mas Jawa. Minggir lo, ah!"

"Dih, awas ya, lo sampai jilat ludah lo sendiri!" teriak Bara dari belakangku.

Aku melambaikan tangan, lalu menunjukkan jari tengah. Detik berikutnya, aku berbalik sembari menjulurkan lidah. Aku tertawa terbahak-bahak melihat wajah dongkol Bara. Kapan lagi kan, aku bisa membuatnya kesal.

Langkahku berhenti di pintu depan. Dari kamar nomor satu, kulihat Bu Wati keluar dengan wajah kesal. Mulutnya mengomel panjang lebar. Lalu tak lama kemudian, sang empunya kamar keluar membawa beberapa kantung plastik dengan kesusahan. Sigap aku membantunya meski dari kantung plastik itu menguar bau tidak sedap.

"Lo nggak mengidap hoarding disosder kan, Emma?" tanyaku spontan. Pasalnya, ini sudah kedua kali wanita itu bermasalah dengan penghuni kosan gara-gara suka menimbun sampah.

TBC

Beri satu komentar buat Bara di sini!

Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!

Thanks for your support~

Big hug,
Vanilla Hara
23/9/24

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang