BARA : NGASIH MAKAN EGO

144 44 0
                                    

Hai, Dears!
Sebenarnya, ini bukan bagian dari cerita Almira. But, mari kita tengok asal mula Bara Api yang old money dari Jakut ini bisa terdampar di kosan bareng Ami.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

Gue tuh udah dua lima, ya. Kenapa Papa susah banget ngerti kalau gue udah seharusnya punya otoritas buat ngatur hidup gue sendiri? Apa semua orang tua kayak Papa, yang maunya anak nurut dan nggak bantah sedikit pun kemauannya, meski nggak sesuai sama hati si anak?

"Papa sekolahin kamu sampai jadi sarjana tuh buat apa sih, Bar? Salah satunya biar kamu bisa bedain mana yang bisa kamu jadiin prioritas, mana yang harusnya cuma jadi hobi. Olahraga tuh hobi aja, nggak perlu kamu jadiin profesi juga. Emangnya, duit dari gym tuh cukup buat gaya hidup sehari-hari kamu?"

Udah hampir setahun gue menjalani profesi sebagai personal trainer. Klub olahraga tempat gue kerja juga bukan yang kaleng-kaleng. Banyak klien gue yang merupakan sosok pesohor seperti selebritis, selebgram, bahkan belum lama ini gue nerima job ngedampingi istri seorang pejabat. Gaji gue juga nggak kecil- kecil amat. Pokoknya aja lima jutaan. Belum lagi kalau gue dapat job pribadi dan bonus serta tunjangan-tunjangan. Tapi ya, Papa juga nggak sepenuhnya salah. Gue bukan penganut paham frugal living. Yakali, kan, hidup di Jakarta Selatan yang penuh dengan ingar bingar ini harus gue lewatin dengan berhemat. Gue, sama seperti anak muda Jaksel yang lain, hobi juga nongkrong di BigBro Kemang. Selama ini, gaji gue cukup-cukup aja buat semua itu karena masih ditambahin sama uang saku dari Papa.

"Papa tuh penginnya kamu kerja di perusahaan Papa. Udah bagus-bagus titel kamu sebagai nutritionist, malah kerja di tempat yang nggak jelas pendapatannya."

"Tapi, Pa, sebagai personal trainer, Bara juga bisa mengaplikasikan ilmu dari zaman kuliah buat klien," sahut gue sombong. "Terus, soal pendapatan, gaji Bara jelas, kok. Tunjangan dan bonus juga dapet. Selama ini juga cukup-cukup aja."

"Itu karena kamu masih tinggal dan makan di rumah orang tua. Coba kalau kamu tinggal sendiri, apa masih cukup gaji segitu?"

Gue mengerang, tentu aja gue nggak terima ditantang begitu. "Cukup. Pasti cukup. Akan Bara buktikan kalau gaji Bara cukup buat hidup SENDIRI." Gue tekankan kata sendiri di akhir kalimat itu sambil mengembuskan napas kasar.

Embusan napas gue rupanya makin membuat Papa berang. Dengan nada tinggi, beliau membuat keputusan yang sepertinya bakal gue sesali di kemudian hari. "Kalau begitu, tinggalin semua fasilitas dari Papa dan keluar dari rumah ini. Kalau kamu sangat yakin bisa menemukan tempat tinggal layak huni yang sesuai sama gajimu, Papa akan mengizinkanmu melanjutkan pekerjaan itu!"

Gue terpaku sebentar. Tunggu... maksudnya semua fasilitas tuh, termasuk mobil dan kartu kredit? Terus gue ke mana-mana naik apa kalau nggak ada mobil?

Gue menggeleng, menepis keraguan yang sempat hinggap di kepala. Nggak boleh lemah! Masa gini doang gue nyerah? Pokoknya Papa harus luluh, gimana pun caranya. Ego gue memaksa untuk mengeluarkan kartu-kartu milik Papa dari dompet, kemudian meletakkan kunci mobil di atas kartu-kartu tersebut.

"Nih. Bara nggak butuh semua itu." Dengan songong gue naik ke lantai atas untuk mengemasi barang-barang gue di kamar. Malam ini juga, gue akan keluar rumah dan buktikan semua omongan Papa itu nggak benar.

***

Dan, di sinilah gue sekarang.

Gue agak beruntung karena tempat kerja gue buka sampai malam. Pas gue datang, masih banyak anak-anak personal trainer yang kumpul di dorm. Ruang latihan juga masih lumayan ramai. Seenggaknya, untuk malam ini gue nggak akan bingung nyari tempat buat tidur.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang