Gadis bernama Ratih

2 0 0
                                    

Beberapa tahun berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Ratri itu, mbok memilih membesarkan anak majikannya bersama dengan Darso dan mereka tinggal di rumah peninggalan orang tua Darso. Sementara Pakde Yanto yang sebelumnya merebut perkebunan Ratri tetap menjadi budak si kompeni namun, jabatannya tetap menjadi sinder atau mandor pabrik. Meneer Wilhelm beserta istri dan anaknya memilih tinggal di rumah bekas rumah Ratri yang terbakar, dengan memperbaikinya. Tuan Han yang sebelumnya tinggal di pulau seberang akhirnya, memilih menetap di kota yang tidak jauh dari desa Ratri.

Rumah megah bergaya oriental dan Eropa menjadi satu, suara riuh ramai anak-anak tengah bermain bersama di pelataran rumah, terdapat juga seorang wanita bermata sipit tengah menghidangkan secangkir teh, wanita itu adalah Tan Po Nie atau di kenal dengan panggilan Cipo semacam panggilan kesayangan anak perempuan sebenarnya. Kini Cipo tengah hamil anak ke tiga, walau sebenarnya agak berat meninggalkan kampung halamannya tapi, Cipo tetap mengikuti suaminya.

“Assalamu’alaikum, selamat pagi tuan, nyonya,” sapa seorang wanita yang tampak sangat cantik dengan mengenakan kebaya dan selendang tipis sebagai penutup kepala.

“Pa...,gi...,” ujar tuan Han yang terkejut akan kedatangan seorang wanita yang rupa wajahnya mirip dengan Ratri.

 “Eh, Ratih ayo masuk!” Cipo yang menyambut wanita bernama Ratih untuk masuk ke rumahnya.

“Iya Nyonya.” Wanita itu melirik kepada tuan Han dengan senyum manis.

Tuan Han terkejut karena istrinya terlihat akrab dengan wanita yang di yakininya sebagai Ratri, “Tidak, tidak mungkin dia Ratri, aku melihat sendiri Darso menguburnya.” Tuan Han masih bertanya dalam benaknya apakah dia benar Ratri atau bukan.

Laopo, dia cucunya Mbah Sriatun, namanya Ratih mulai hari ini dia bekerja dirumah kita, bantu-bantu saya sama jagain anak juga.” Jelas Cipo.

“Ratih?” Tuan Han bertanya-tanya.

“Iya Tuan,” Ratih menjawab perkataan tuan Han.

“Baiklah kalau begitu, saya pergi ke kantor Meneer Wilhelm dulu,” ucapnya berpamitan kepada istrinya.

“Iya Laopo,” sahut Cipo sambil mengelus perutnya yang membesar.

**

Tuan Han tidak menaruh curiga kepada wanita bernama Ratih, parasnya jauh lebih muda dari sebelum dia mengenal Ratri walau, banyak persamaan tapi dia yakin wanita itu hanya mirip kepada Ratri. Sementara di sebuah rumah yang berlantaikan tanah, terdengar suara seorang wanita memanggil nama Satrio, anak Ratri dan Tuan Han.

“Satrio, Satrio,” panggil Mbok yang sendang menyusun bungkusan dari daun jati berisi sego pincuk buatan Simbok.

“Ya Mbok,” sahut Satrio yang kini berusia 10tahun.

“Ini kamu bawa buat Nyonya Cipo, terus sisanya kamu jual saja ke pasar.” Jelas mbok Winarsih.

“Buat Satrio mana Mbok?” Tanya anak polos itu.

“Ada, Mbok tidak pernah lupa,” ucap mbok yang memberikan bungkusan yang berbeda untuk Satrio.

“Iya sudah, Satrio pamit dulu ya Mbok,” anak lelaki Ratri itu bersaliman dengan mbok.

Di depan rumah Darso telah mempersiapkan kereta kuda yang akan ditumpangi Satrio, sesekali memang Satrio menemani Darso untuk menarik penumpang, kadang juga sesekali dia membantu mbok Winarsih ke pasar atau mencari ikan untuk dijual kembali. Dengan kehidupan yang sederhana itu Satrio tumbuh menjadi anak laki-laki yang baik, dalam sikap dan sifatnya yang sangat menurut sama seperti Ratri dan Rukmini. Darso memilih untuk hidup membujang, dia tidak mau menikahi siapapun karena, saat itu dia sangat mencintai Rukmini. Bersusah payah setelah mendapatkan restu dari Ratri namun, takdir berkata lain pujaan hatinya Rukmini memilih pergi meninggalkannya. Tanpa Rukmini tahu tentang perasaan Darso kepadanya, di masa penyesalan itu beberapa kali Darso datang menyerang pakde Yanto, dia tidak terima akan perlakuan pakde yang membuat keluarga Ratri dan Rukmini sengsara. Darso sempat ditangkap oleh Meneer Wilhelm dan di hukum cambuk sampai badannya penuh luka hingga, meninggalkan bekas luka pada wajahnya, membuat sebelah matanya tidak dapat melihat lagi dan kerap kali dia dipanggil “Si Buta” oleh Meneer Wilhelm dan anak buahnya.

“Paman, besok Satrio mau ke makam Ibu Rukmini,” ucap Satrio yang duduk di samping Darso.

“Iya, besok paman antar.” Darso sambil menganggukkan kepalanya.

Seperti pada umumnya anak-anak kadang juga mereka merasa kesepian, tanpa hadirnya orang tua kandung tapi, si mbok dan Darso membuat Satrio tidak pernah mengeluh akan keadaannya. Bahkan dia sangat senang ketika Mbok menceritakan tentang ibu Rukmini dan Ratri walau, sebenarnya Darso mengetahui tuan Hanya telah menetap di kota namun, dia tidak akan mengingkari janjinya kepada Ratri, untuk tidak menunjukkan anaknya kepada tuan Han. Sementara Cipo dapat mengenal Mbok Winarsih ketika Cipo belanja ke pasar, dia sangat suka gudeg buatan Mbok Winarsih hingga, menjadi pelanggan tetap Mbok Winarsih saat ini dan Darso selalu mengantarkan pesanannya walau, tidak pernah bertatap muka dengan tuan Han dan sebisa mungkin menahan dirinya agar tidak mengingkari janjinya kepada Ratri.

**

Ratih yang mulai membersihkan sudut-sudut rumah tuan Han, sesekali dia hanya memandang pada foto keluarga yang terpajang pada dinding rumah, dengan senyum merekah Ratih terus bekerja membantu Cipo di rumah karena Ratih adalah cucu Mbah Sriatun yang merupakan seorang dukun beranak, Ratih kerap membantu Cipo dengan memijat kakinya karena pegal. Dia juga yang sekarang bertugas untuk memasak Makan malam di rumah Tuan Han dan Cipo, Ratih sangat menyukai anak-anak apalagi yang lucu seperti anak Tuan Hanya dan Cipo dengan sabar dan telaten Ratih menyuapi anaknya Tuan Hanya dan Cipo sambil berjalan-jalan di halaman samping rumahnya.

Suara kerincingan kereta kuda menarik perhatian Ratih, dia melirik ke depan rumah Tuan Han dan di dapatinya seorang pria dengan bekas luka pada wajahnya, di tambah dengan penutup mata di sebelah kiri. Ratih dengan polosnya menghampiri pria itu dan bertanya, “ Maaf cari siapa ya?” Ratih yang terus memperhatikan pria yang di temani anak kecil seumuran dengan anak Tuan Han yang pertama.

“Saya mau mengantarkan pesanan Nyonya Cipo,” ucap Satrio yang berdiri di samping kereta kuda.

Darso cukup terkejut karena melihat wajah wanita yang baru saja bertanya kepadanya, Darso turun dari kereta kudanya dan hanya melihat tanpa berkedip di depan Ratih.

“Sebentar ya, saya panggilkan dulu Nyonya,” ucap Ratih yang berjalan masuk ke dalam rumah Tuan Han.

Sambil menunggu perhatian Satrio teralihkah dengan suara ramai anak Tuan Han bermain di halaman samping, anak sebayanya tengah asyik bermain pistol dari bambu bersama adiknya, tidak sengaja anak sulung Tuan Han yang bernama Han Tjie Chao menembakkan pistol bambu yang berisi peluru buah tinta, tepat terkena mata kanannya Satrio, membuat anak itu menjerit kesakitan, “Ark..., aduh, sakit, sakit,” teriak Satrio diiringi tangis liriknya kesakitan, Chao hanya tertawa lepas karena aksinya.

“Nyonya, ada yang mengantarkan pesanan di luar.” Jelas Ratih yang mengetuk pintu kamar majikannya.

Mendengar suara tangisan dengan lirih kesakitan, Ratih berlari ke luar dan di dapati anak lelaki yang mengantar pesanan itu menangis dengan guling-guling di tanah.

“Ada apa?” Tanya Ratih dengan wajah cemas melihat Satrio merintih.

Darso yang tadinya memperhatikan kudanya juga berlari menghampiri Satrio yang menangis, berbarengan dengan Cipo yang mengerutkan dahinya.

“Satrio, kamu kenapa le?” Tanya Darso yang mengangkat badan Satrio yang berbaring di tanah.

“Cengeng!” ucap Chao yang memang di kenal anak yang jahil.

“Yang mana luka le?” tanya Ratih yang menghampiri Satrio yang di pangku Darso.

“Minta maaf!” ucap Darso yang melotot kepada Chao dan adiknya.

“Chao, kamu yang lakukan?” tanya Ibunya.

“Saya tidak sengaja mama.” Jawab Chan yang bersembunyi di balik badan Cipo.

“Sudah ini ambil dan aku lebihkan buat berobat,” ucap Cipo yang tidak ada niatan untuk menyuruh anak-anaknya meminta maaf kepada Satrio.

Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang