Siang menuju petang hari itu. Seorang mahasiswa bernama Azeel Malik, yang baru saja menutup rapat festival bahasa di salah satu universitas favorit kota Bandung. El—nama panggilannya, mengambil fakultas sastra Bahasa Inggris di Kampus ini dan menjadi ketua dari organisasi sastra bahasa. Festival yang akan diselenggarakan di Kampusnya ini mengadakan berbagai acara, dari mulai mengundang sastrawan ternama, sampai lomba untuk para pelajar dan umum.
El keluar dari ruangan rapat. Berlari kecil, menghindari tetesan air yang berasal dari atas bumi. Sore itu tujuannya sederhana, hanya satu, menuju kantin, untuk menepati janji bersenda gurau dengan sahabatnya.
Pandangan El terkunci pada lambaian seorang wanita. Diujung sana ada wanita yang sudah duduk menunggu. Ya, itulah sahabatnya Nana—nama lengkapnya Dyhana Al-haq. Tanpa pikir panjang dia langsung menghampirinya. El menarik kursi duduk di hadapan Nana. Dia menaruh barang-barangnya di bawah kursi yang ia duduki.
"Lo ga bakal mesen makan dulu apa?" tanya Nana sambil mengaduk bakso panas yang baru ia pesan.
"Ga, ga ada duit lebih buat jajan."
"Ya udah sih tinggal pesen, gue traktir sana cepet!" Nana memaksa.
El tidak mau mencari masalah dengan Nana, dia sudah kapok jika harus menerima amarah sahabatnya itu. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya, pergi memesan makanan."Mang Ujang, biasa ya, Bakso satu mangkuk pake bihun aja, minum nya Es jeruk peras." El memesan.
"Oh siap Kang. Ini pasti dibayarin Neng Dhyana lagi ya?" Tebak Mang Ujang. Memang sepanjang El membeli bakso Mang Ujang, dia sering ditraktir Nana. Jarang sekali jika dia membelinya dengan uang sendiri, bahkan jika dia tiba-tiba membeli bakso dengan uangnya sendiri itu merupakan sebuah keajaiban bagi Mang Ujang"Ah si Mang, jangan keras-keras atuh ngomongnya, malu saya" raut wajah El menunjukan ia sedang malu.
"Gimana acara Festival Bahasa teh, lancar ga?" Tanya Mang Ujang
"Alhamdulilah Mang, kita sudah dapet sponsor, tinggal nge-dekor buat hari H" balas El.
"Alhamdulilah atuh, yang lancar ya, kalo lancar jadi laris jualan Mang" Mang Ujang tertawa. El membalasnya dengan tertawa kecil. Pesanannya sudah siap, dia membawanya ke meja makan tempat tadi dia duduk dengan Nana."Gimana acara?" tanya Nana.
"Ya gitu, tinggal persiapan dekorasi buat hari H, bukan urusan gua lagi itu, tinggal nunggu beres aja gua mah." jawab El.
"Kalo butuh bantuan panggil aja gue, jangan terlalu maksain geh, jangan lupa istirahat juga." Nana menasehati.
"Hm, iya." El menjawab malas. "Bukan iya doang kentut, gua tau ini penting buat lo, tapi apa badan lo sendiri gak kalah penting?" lanjut Nana. El Hanya mengangguk, mengaduk es jeruk perasnya, meminumnya dan dapat jambakan dari Nana sambil menimpuk kepala El dengan sendok yang masih berminyak, El membersihkan rambutnya. Nana menatap tajam ke arahnya. "Iyaaa Nana siap, gua bakal lebih banyak istirahat dan lebih mentingin badan gua ketimbang acara ini, terima kasih Nana." Ucap El. Jika dia tidak mengatakan hal tadi, dia akan mendapatkan masalah besar."Sajak yang dibaca peserta lomba, sajak buatan lo ya? dasar lo, promosi nama, pengen terkenal ya?" sindir Nana. "Ga, bukan sajak buatan gua doang, ada sajak buatan anak-anak lain juga. Lagi pula gua ga bakal terkenal, semua sajak gua kan pake nama samaran." jelas El.
El sedari kecil memang suka membuat sajak. Dia pun masuk ke universitas ini karena menjuarai lomba kategori Baca puisi Festival bahasa 3 tahun lalu. Dia mendapatkan beasiswa. Banyak sekali karya sajaknya yang terkenal, namun tak ada satupun karya yang mencantumkan namanya di dalam sajaknya.
Senasib dengannya, Nana juga masuk ke universitas ini karena dia mendapatkan beasiswa, hanya mereka berdua dari lulusan SMA Jawara Subang yang mendapatkan beasiswa untuk masuk ke universitas ini. Bagi SMA Jawara Subang, mereka adalah dua anak emas. Sekarang mereka sudah menjalani semester akhir. Waktu berjalan begitu cepat.
"Katanya bukan lomba baca puisi aja yang diadain, ada lomba apa aja? lomba cari jodoh ada ga" Nana melempar candaan.
"Ga ada lah kocak, kebelet banget pengen punya pasangan, S1 aja belum lo." balas El. Nana tersenyum sambil menimpuk kembali kepala El dengan sendok tadi.
"Ah lo, rusak rambut gua." balas El.
"Ada lomba bikin sajak, debat inggris, pidato, nyanyi, banyak dah pokoknya." lanjutnya.
"lo jadi juri mata lomba apa?" tanya Nana
"Baca puisi, sama membuat puisi." singkat El. Nana membalas dengan amggukan sambil menyuapkan sesendok bakso ke mulutnya.
YOU ARE READING
Never Flat
General Fiction"Dalam putaran waktu yang tak terhitung. Kita melangkah dalam harap dan ragu. Layaknya angin yang datang dan berlalu. Kehidupan itu berbisik; teruslah berjalan walau tak tahu."