Chapter 1 - The New Boy

239 23 0
                                    

Matahari pagi menyusup melalui pepohonan di luar SMA Hanlim, menimbulkan bayangan di sepanjang jalan saat Jung Jeno melangkah masuk ke dalam sekolah untuk pertama kalinya. Angin sepoi-sepoi mengacak-acak rambutnya, mengirimkan rasa dingin ke kulitnya. Hari ini menandai dimulainya tahun keduanya di sekolah baru, setelah keluarganya pindah demi memulai kehidupan yang lebih baik. Ayahnya, Jaehyun, memilih kompleks perumahan ini karena lokasinya yang strategis - dekat tempat kerja, sekolah, dan pusat perbelanjaan.

Setiap langkah menuju kelas dipenuhi kecemasan. Suara langkah sepatunya yang menyentuh lantai keramik terdengar begitu jelas, seolah semakin memperburuk kegelisahan di hatinya. Dalam pikirannya, hanya ada satu pertanyaan yang terus berputar-apakah teman-teman barunya akan menerimanya?

Begitu tiba di depan kelas, ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Ia merapikan kerah seragam yang terasa agak kaku. Dengan tekad yang terkumpul, Jeno akhirnya membuka pintu kelas. Seketika, kebisingan di dalam kelas berhenti, dan semua pasang mata pun tertuju padanya.

Kim Ssaem, melihatnya dan dengan cepat berjalan melewati deretan meja untuk mendekatinya. "Jeno?" panggilnya.

"N-ne, Ssaem," jawab Jeno, suaranya terdengar sedikit bergetar meski dia berusaha keras untuk percaya diri.

Kim Ssaem tersenyum hangat dan beralih menghadap ke seluruh kelas. "Baiklah anak-anak, hari ini kita kedatangan siswa baru," katanya.

"Jeno, silakan perkenalkan dirimu kepada teman-teman," ujar Kim Ssaem, memberi kesempatan baginya untuk berbicara lebih lanjut.

Jeno menelan ludah, rasanya seolah kata-kata yang ingin ia ucapkan menghilang begitu saja di tenggorokannya. Dengan hati yang berdebar, ia melangkah maju. Matanya melirik ke seluruh kelas, bertemu dengan tatapan penasaran dari teman-teman barunya. Ia menarik napas dalam-dalam, dan akhirnya berkata, "Annyeonghaseyo, Jung Jeno imnida," sambil tersenyum lebar, matanya membentuk bulan sabit yang menawan.

 Ia menarik napas dalam-dalam, dan akhirnya berkata, "Annyeonghaseyo, Jung Jeno imnida," sambil tersenyum lebar, matanya membentuk bulan sabit yang menawan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sorak-sorai sambutan menggema di sekelilingnya. "Selamat datang Jeno-ya!" teriak seorang gadis yang duduk di dekat jendela dengan penuh semangat. Rasa lega membanjiri dirinya saat melihat teman-teman menerima kehadirannya dengan baik.

Namun, di sudut terjauh ruangan, duduk seorang anak laki-laki yang tetap bersikap acuh tak acuh. Ia nyaris tak mengalihkan pandangannya dari buku di depannya. Jeno merasa penasaran. Di tengah sambutan hangat dari teman-teman sekelas, keberadaan anak itu terasa begitu kontras. Posisinya yang terisolasi di sudut kelas menambah kesan bahwa ia lebih memilih untuk sendiri.

"Jeno, silakan duduk di kursi kosong sebelah Renjun," perintah Kim Ssaem, sambil mengarahkan pandangannya ke anak laki-laki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jeno, silakan duduk di kursi kosong sebelah Renjun," perintah Kim Ssaem, sambil mengarahkan pandangannya ke anak laki-laki itu. Ia mengangguk, lalu melangkah menuju ke tempat yang diminta.

Sebelum duduk, ia berdehem singkat, berusaha memberitahukan kehadirannya. Namun, Renjun tetap tidak memperdulikannya. Keheningan menyelimuti mereka. Ia mencuri pandang ke arah anak laki-laki itu, berusaha membaca ekspresi wajahnya. Mata sang anak laki-laki tetap tertuju pada halaman yang terbuka, tanpa sedikit pun melirik ke sekelilingnya. Wajahnya begitu tenang, hampir tanpa ekspresi, yang justru membuat Jeno semakin penasaran.

Setelah beberapa detik merenung, ia merasa harus mengambil inisiatif. "Hai! Aku Jeno, senang bertemu denganmu," katanya, tangannya terulur, ingin berjabat tangan. Namun, setelah beberapa detik, tangan itu tidak kunjung disambut. Tangannya mulai terasa kebas. Akhirnya, ia menarik kembali tangannya dengan perlahan.

Tanpa gentar, Jeno tetap mempertahankan wataknya yang ceria. "Jadi, um... bagaimana menurutmu sekolah ini?" tanyanya.

Namun, Renjun masih mengabaikannya. Jeno merasa seperti sedang berbicara dengan tembok. Rasa frustrasinya mulai tumbuh. "Tidak bisakah kita berteman?" desaknya.

Akhirnya, Renjun menoleh sedikit, cukup agar mata mereka bertemu. Jeno memperhatikan tatapan jengkel di mata Renjun. "Aku tidak tertarik. Tinggalkan aku sendiri," balasnya ketus. Kata-kata itu lebih menyakitkan daripada yang ia kira. Rasanya seperti sebuah pukulan telak. Ia menundukkan kepalanya, merasa sedikit terluka oleh penolakan yang begitu terang-terangan.

"Kau sebaiknya biarkan saja Renjun. Dia itu... agak aneh," kata seorang gadis bernama Wang Yiren sambil tersenyum tipis.

Jeno mendesah kecewa. Sulit untuk menerima kenyataan bahwa ada orang yang mungkin tidak siap untuk membuka diri. Ia selalu berusaha menjadi teman yang ramah, berharap bisa membuat orang lain merasa diterima. Namun, sikap Renjun seolah menghalangi niat baiknya. Rasanya seperti mencoba membuka pintu yang terkunci, tanpa tahu kunci untuk membukanya.

🌧️🌧️🌧️

Bel berbunyi, menandakan waktu istirahat. Jeno melirik ke arah Renjun, yang berdiri dan berjalan menuju pintu. Dalam keberanian terakhirnya, ia memanggil, "Renjun-ah! Aku tidak tahu letak kantin, maukah kau menunjukkannya?"

Renjun terdiam sejenak, membelakangi Jeno. Untuk sesaat, Jeno merasa seolah melihat sudut bibir Renjun berkedut, hendak berbicara. Namun, itu sepertinya hanya perasaannya. Kenyataannya, Renjun tetap melanjutkan langkahnya, menghilang di lorong yang ramai.

"Jeno-ya! Mau ke kantin bersamaku?" terdengar suara ceria dari dekat. Itu milik seorang anak laki-laki yang mengenakan tanda nama bertuliskan Lee Haechan. Dengan santai, ia melingkarkan lengannya di bahu Jeno seolah-olah mereka adalah teman lama.

"Baiklah," jawabnya pasrah. Ia membiarkan dirinya diarahkkan oleh Haechan, melewati kerumunan siswa menuju kantin. Setidaknya, rasa sakit akibat penolakan dari Renjun sedikit terobati oleh kehadiran Haechan yang penuh energi.

 Setidaknya, rasa sakit akibat penolakan dari Renjun sedikit terobati oleh kehadiran Haechan yang penuh energi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🌧️ Rains in Heaven 🌧️

Mohon bantuannya untuk like dan comment. Thank you ✨

Rains in Heaven || NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang