Misha menutup pintu kamarnya perlahan, memastikan engselnya tak berderit dan menguncinya. Dengan satu gerakan lembut, ia menciptakan penghalang sihir yang membungkam suara dari dalam, memastikan rahasia mereka tetap tersembunyi. Cahaya hangat dari bola sihir menerangi ruangan, menepis bayang-bayang dan membuat suasana terasa lebih intim. Misha duduk di tepi kasur, napasnya terdengar berat.
"Sihir ini... rasanya semakin menyesakkan," gumam Misha dengan suara tertahan, menatap Haruto dengan tatapan lelah namun tegar.
Haruto melangkah mendekat, wajahnya penuh rasa bersalah. "Maafkan aku, seharusnya aku datang lebih cepat..."
Misha menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa semua baik-baik saja. Namun, Haruto tetap bersiap, mengambil posisi di kursi yang telah disiapkan. "Yang Mulia, kemampuan sihirku telah sedikit berubah... Jika terlalu menyakitkan, mohon katakan saja, aku akan segera berhenti."
"Tidak masalah. Lakukan saja," jawab Misha, kemudian ia tengkurap di atas kasurnya, memperlihatkan punggungnya yang terbebani energi gelap. Haruto mengangguk pelan, mengumpulkan fokusnya.
"Ai-san, Raphael-san, mohon bantuannya kali ini," bisik Haruto dengan nada memohon.
["Seperti yang Anda inginkan,"] jawab Ai dengan suara yang terdengar di benak Haruto.
{"Tentu saja, dengan senang hati, My Husband..."} Raphael menambahkan, suaranya lembut namun penuh keyakinan.
Haruto menarik napas dalam. "Yosh... Voracity." Dengan satu kata itu, energi dari tubuh Misha mulai terhisap. Energi gelap yang mengendap di tubuh Misha adalah parasit, menggerogoti kekuatannya dan harus segera disingkirkan.
Sedikit demi sedikit, Haruto menyerap energi itu, dan seiring dengan itu, Misha mengeluarkan suara lirih, seperti menahan rasa yang bercampur antara nyeri dan lega. Haruto berusaha tetap fokus, namun setiap kali desahan Misha terdengar, wajahnya seketika memerah. Situasi ini selalu membuatnya canggung, tapi tugasnya tidak boleh terhenti. Inilah alasan mereka membutuhkan penghalang—untuk meredam suara yang mungkin akan disalahartikan oleh orang lain.
Beberapa menit berlalu, energi gelap yang merongrong tubuh Misha perlahan-lahan menghilang, terserap sempurna oleh kekuatan Haruto. Misha yang semula tampak lesu kini mulai menunjukkan tanda-tanda kelegaan. Napasnya lebih teratur, dan wajahnya tak lagi sekusut sebelumnya.
"Terima kasih, Haruto... aku merasa jauh lebih baik sekarang," ucap Misha sambil berusaha tersenyum, meski keringat masih membasahi pelipisnya.
Haruto mengangguk pelan, melepaskan konsentrasinya dan memadamkan sisa energi sihir di sekelilingnya. "Aku senang bisa membantu. Tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri..."
Sebelum Haruto bisa menyelesaikan kalimatnya, Misha mendengar suara samar dari luar penghalang sihir—suara Arthur, suaminya, yang memanggil. Wajah Misha seketika berubah, dari lega menjadi waspada.
"Arthur... Dia sudah datang ..." Misha berbisik, nadanya sedikit tegang. Dengan gerakan cepat, Misha mengayunkan tangannya, memanggil kekuatan sihir teleportasi. Dalam sekejap, Haruto dikelilingi cahaya lembut.
"Tunggu! Anda tidak perlu—"
Namun, sebelum Haruto bisa menyelesaikan protesnya, cahaya sihir sudah melesatkan tubuhnya. Seketika itu juga, ia telah kembali ke kamarnya sendiri, terpental di atas kasurnya dengan pendaran sisa teleportasi yang masih berpendar di sekeliling.
Haruto menghela napas panjang, matanya menatap langit-langit kamar. "Selalu saja buru-buru..." gumamnya dengan sedikit senyum. Ia memahami situasi Misha, meski itu berarti ia harus terus menjaga jarak saat Arthur ada di sekitar.
Di sisi lain, Misha menarik napas dalam, membenahi dirinya sebelum menghadapi suaminya. Haruto mungkin telah pergi, tapi masalah sebenarnya baru saja dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead or Alive in Second Life : RE
FantasyBercerita tentang anak SMA biasa bernama Takumu Hiyoshi yang di reinkarnasikan sebagai World Order yang baru. Demi menjaga tatanan di sana, Takumu menyembunyikan identitasnya dengan Bereinkarnasi kembali menjadi anak dari kepala desa di wilayah Nord...