Dunia Baru, Fantasi Baru

10 1 0
                                    

"Emang gimana sih dunia perkuliahan itu? akan ku jalani secara ugal ugalan" kata Lily. Dirinya yakin kalau dia akan mudah mendapatkan teman, mungkin karena memiliki paras yang cantik juga sedikit cerdas dalam akademik. Sejak dari awal pendaftaran hingga pengumuman kelulusan Lily tidak memberitahukan kepada keluarganya, karena ia yakin kalau dia tidak disetujui untuk berkuliah, tapi ia yakin bahwa niat yang baik pasti akan berjalan lurus.

"Maa.. Lily lulus kuliah di Jakarta" dengan semangat ia membeberkan pengumuman kelulusan itu kepada mamanya. "Uang dari mana? Ayolah Lily, Kamu pikir pikir dulu" kata mamanya. Semangat yang tadinya membara kini mulai padam, seperti tak punya jalan hidup lagi, kehilangan arah, keputusan asaan itulah yang sekarang Lily rasakan.

Sebelumnya Lily sedang bekerja sebagai karyawan di salah satu toko di jantung kota. Semenjak keinginannya tidak dipenuhi ia pun mengurungkan diri di dalam kamar berhari hari, menangis, meratapi nasib, seperti seseorang yang tidak memiliki masa depan yang cerah. Keluarganya mulai mencemaskan dan mengkhawatirkan kondisi psikis Lily, berat badan yang menurun drastis, wajah pucat, tatapan kosong, itulah yang mamanya liat pada putri kesayangannya itu.

Suatu hari diadakan pertemuan keluarga inti Lily, "Lily, apa yang membuat kamu ingin sekali untuk berkuliah, sedangkan kamu sudah memiliki pekerjaan yang sudah mampu membiayai diri kamu sendiri?" tanya Hikmah, kaka Lily. Lily pun tidak bisa memendam apa yang ada dibenaknya, dikeluarkan lah apa yang dia rasa selama ini. "Lily hanya ingin melanjutkan pendidikan Lily, Lily hanya ingin mengangkat derajat keluarga kita, Lily hanya ingin membanggakan kalian semua, Lily tidak mau diinjak injak oleh keluarga kita yang lain hanya karena kita miskin" ucap Lily yang tidak berhenti mengoceh sambil menangis. Sepertinya ia sudah mengeluarkan apa yang ada dalam hatinya selama ini. Mendengar ucapan dan mencoba mencerna apa yang Lily katakan, akhirnya Lily pun dikuliahkan.

Lily selalu dihantui rasa bersalah dengan keinginannya yang harus diikuti, ia selalu menganggap bahwa dirinya adalah sumber masalah, disaat kondisi ekonomi keluarganya lagi menurun justru dia menambah beban kepada keluarganya untuk dikuliahkan. Betul saja, keluarga Lily yang hanya sering menumpang tempat tinggal pada kakeknya membuat keluarganya diusir oleh kakeknya sendiri, mungkin saja kakeknya sudah muak dengan keluarga Lily yang hanya terus bergantung hidup padanya dan tak ada perubahan terhadapnya. Alasan ini membuat Lily semakin teguh ingin berkuliah. Keluarga Lily sangat menjujung tinggi yang namanya pendidikan, semakin tinggi pendidikan mu maka kamu akan semakin dihargai, sedangkan keluarga Lily tak ada satupun yang bersekolah tinggi hingga ke universitas. Itu yang membuat Lily untuk ingin mengubah hidupnya menjadi lebih baik agar keluarganya lebih dipandang lagi. Sakit hati, dan kecewa berat yang dirasakan oleh keluarga Lily pada saat itu membuat keluarga Lily untuk segera mengurus perpindahannya, kontrakan demi kontrakan dicarinya, uang habis untuk pembayaran rumah, makan sehari hari di cukup cukupkan untuk bisa bertahan hidup.

Setiap hari Lily menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang bermanfaat, biasa sedang lelah dengan hari harinya yang sangat membosankan, ia keluar untuk jalan jalan dengan kelima sahabatnya itu.
"Lily!" panggil Ika. Suara Ika membuyarkan lamunanku di depan toilet bioskop. "Ah, kamu kagetin aku aja Ika!" balas Lily. "Kamu mikirin apasih Lily, serius amat hidup lo!?" tanya Ika dengan raut wajah yang bertanya tanya. "Ngga kok, ya udah yuk filmna udah mau dimulai tuh!" timpa Lily.

Lily mempunyai masa lalu keluarga yang sangat suram, ketika Lily duduk dibangku sekolah menengah pertama keluarganya sangat diujung tanduk, Hasda ibu Lily pergi meninggalkan keluarganya, Ia pergi merantau ke ke Kalimantan untuk mencari sesuap nasi, karena utang yang tak kunjung lunas dan ekonomi keluarganya sedang tidak baik baik saja itulah yang menjadi alasan Hasda untuk pergi merantau. Begitu mengetahui bahwa ibunya pergi meninggalkannya untuk merantau dia berusaha kuat didepan keluarganya, tetapi sesampainya di dalam kamar Lily menangis sejadi jadinya, air mata yang tak bisa lagi dibendung kini mengalir tiada henti. Kecewa dan sakit hati yang dirasakan Lily pada saat itu. "Kenapa Ibu pergi?Lily kan masih punya adik yang masih kecil, yang masih butuh perhatian dan kasih sayang, bagaimana nanti dengan sekolah ku juga sekolahnya Faisya??" tanya Lily pada dirinya sendiri.

"Aku harus bisa menjalani hari hari ku , Aku harus kuat karena adikku." tuturnya dalam hati. Setiap hari Lily ke sekolah diantar dan pulangnya naik angkot, terkadang Lily seperti anak yang terlantar, ia ingin diperhatikan oleh orang tuanya, sedangkan ayahnya dari pagi sampai malam itu sibuk kerja. Pekerjaan rumah semuanya Lily yang kerjakan, karena kakaknya yang lain sudah berumah tangga, sedangkan dirinya memikirkan adiknya yang masih begitu belia.

Pertengahan semester perkuliahan Lily merasa dirinya mulai bebas, ingin menyembuhkan luka dari masa lalunya, ia mencoba membuka hati lagi untuk jatuh cinta kembali. Janjian lah ia dengan seorang pria untuk menonton konser di pusat kota, Lily yang anak strict parents itu mulai dicari cari, ditelepon pun ia enggan mengangkatnya karena sedari rumah ia sempat dilarang untuk pergi, tetapi ia sangat ngotot untuk keluar karena sudah janjian dengan seseorang. Kakak Lily pun panik karena sudah larut tapi Lily belum juga pulang ke rumah, sesampainya di rumah amarah kakak Lily sudah tidak bisa terpendam, Lily dengan panik memarkirkan kendaraannya dan masuk ke dalam rumah.

"Lily!!" kata Yudi kakak Lily.
Lily pun mendatangi sumber suara tersebut, belum duduk baik tetapi satu tamparan berhasil mendarat dengan mulus di pipi putihnya Lili.

"Plakk!!"
"Dasar anak tidak tau diri!"
"Ini sudah jam berapa?"
"Kamu ini perempuan"
"Semua kemauan mu kami semua ikuti, tapi ini balasan mu?Iya?!"

Lily dengan sigap langsung memegang pipinya menggunakan tangan dengan meringis kesakitan, Lily pun sudah tidak bisa memendam tangisnya. Ia tidak bisa mengelak, mengakui dirinya salah tak ada pembelaan yang dilakukannya.
Pertama kalinya ia merasakan yang namanya tamparan, mulai detik itu juga Lily sudah tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama.

Ia ingin fokus terhadap kuliahnya dan juga menyibukkan dirinya dengan sesuatu yang positif. Pada saat itu juga kepercayaan terhadap dirinya semakin meningkat, ia mulai menghilangkan sikap kemalasannya. Berada di era butterfly, Lily semakin semangat dalam menjalani kehidupannya, mulai mengikhlaskan dan menerima terhadap masa lalunya yang suram yang hampir membuat Lily hilang arah dan putus asa dalam hidupnya.

Semester ganjil pun telah berlalu, Lily menjalani semester itu dengan penuh semangat yang gigih dan membuktikan kepada keluarganya bahwa ia memang betul betul ingin berkuliah. Hari demi hari Lily menjalani kehidupan barunya dengan fantasi yang baru dengan kelima sahabat sahabatnya, Ika, Salsa, Mirna, dan Ana. Kelima sahabatnya ini akan menjadi saksi Lily selama perkuliahan mereka.

Goresan Pena Sang Pujangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang