0015 - Malam Kelam di Kampung Lundang

30 6 0
                                    

Malam itu udara sangat cerah. Beberapa orang perempuan kelihatan duduk di bangku-bangku yang dibuat berjejer di bawah pohon di tepi Batang Agam.

Di tempat-tempat yang remang, beberapa serdadu dan opsir Jepang duduk mengelilingi meja bersama-sama perempuan tersebut. Mereka minum kopi dan teh serta makan kue-kue dan bercerita hilir mudik.

Di luar keadaan kelihatan sopan. Namun di dalam rumah-rumah papan yang bercat putih di daerah itu juga, beberapa serdadu tengah bersimbah peluh dalam bilik-bilik mesum. Tertawa cekikikan terdengar di antara pekik-pekik manja.

Itulah kam­pung kecil bernama Lundang. Kampung kecil di mana tentara Jepang memuaskan nafsunya bersama perempuan-perempuan malam.

Setiap hari yang datang kemari adalah serdadu atau opsir Jepang. Orang-orang Indonesia hampir tak pernah terlihat. Kalaupun ada, maka mereka segera saja bisa ditebak berasal dari dua golongan. Pertama, mata-mata pihak Jepang atau dari kaum parewa.

Kedua, dari kaum pejudi dan pemabuk yang tak lagi menghiraukan nilai-nilai masyarakat. Kalau pun ada lelaki Mela­yu ke sana, sesuai dengan predikat mereka yang parewa, umum­nya kasar-kasar dan menakutkan.

Tapi senja ini perempuan-perempuan di Lundang itu merasa mendapat kejutan bercampur heran. Sebab ke sana datang seorang anak muda. Meskipun wajahnya murung dan matanya sayu, namun tak dapat disangkal bahwa dia seorang yang gagah.

Sinar matanya itu justru membuat perempuan-perempuan kembang di sana menjadi tertarik. Sejak senja tadi dia "dikawal" oleh dua perempuan. Untuk ukuran di sana, kedua mereka adalah perempuan-perempuan pilihan. Biasanya mereka ha­nya mau melayani opsir-opsir. Tak sembarangan saja mereka mau melayani orang.

Senja ini keduanya merasa perlu melayani anak muda itu. Soalnya belum pernah mereka dikunjungi urang awak yang gagah pula. Mereka bercerita hilir mudik. Bercerita perlahan di bawah bayangan pohon kemuning. Minum teh manis dan makan pisang goreng.

Anak muda itu kelihatannya bukan dari golongan orang berada. Pakaiannya sederhana saja. Pakai baju guntingcina, celana jawa dengan kain sarung menyilang dari bahu kiri ke ka­nan. Kemudian di tangannya sebuah tongkat kayu.

Kalau saja dia pakai saluak, maka orang akan percaya bahwa pastilah dia seorang penghulu. Gayanya memang mirip seorang kepala kaum.

"Nampaknya Uda tengah menanti seseorang..." Perempuan yang bekulit hitam manis, berhidung mancung dengan mata yang gemerlap, menarik, berkata.

Dia memperhatikan anak muda itu beberapa kali melirik ke gerbang setiap ada orang yang datang.

"Ada teman yang akan datang...?" dia bertanya lagi.

"Ya, saya menanti seseorang..."

"Perempuan...?"

"Tidak, bukankah kalian sudah ada...?"

"Ya. Tapi kenapa sejak tadi hanya duduk saja di sini? Ayolah ke rumah..."

Perempuan yang satu lagi, yang berkulit ku­ning dan dan bertubuh montok berkata sambil menarik ta­ngan anak muda itu. Umur kedua perempuan itu barangkali tak lebih dari 22 tahun, masih terlalu muda.

"Tunggulah, sebentar lagi mungkin dia datang. Bagaimana saya ke rumah, kalian berdua..."

"Tak jadi soal. Bisa gantian toh...?"

Perempuan hitam manis itu mengerdip. Muka anak muda itu jadi merah. Dia melirik ke meja seberang sana, pada beberapa serdadu dan opsir Jepang yang sedang minum. Rasanya dia mengenal dua orang di antara mereka. Dia coba mengingat-ingat.

"Bagaimana? Ayolah ke rumah...!" Perempuan cantik berkulit kuning itu merengek sambil menarik tangannya.

Saat itulah salah seorang dari serdadu Jepang yang duduk tak jauh darinya berdiri. Berjalan menuju meja di mana mereka duduk. Jepang itu bertubuh berdegap. Dia menatap pada ke­dua perempuan yang ada di samping anak muda itu.

TIKAM SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang