28: "Sendiri" Aku Benci

451 86 10
                                    












# POV Shani

Pintu kafe tertutup perlahan, menelan sosok Chika yang baru saja melangkah keluar. Aku masih terpaku di tempat dudukku, kata-katanya bergema dalam benakku seperti lonceng yang tak henti berdentang.

"Aku bukan saingan kak, aku hanya ingin Gito bahagia. Saranku, selagi Gito pergi, kakak selesaikan dulu saja diri kakak. Apa kakak benar-benar mencintai Gito atau sekedar menjadikannya pelampiasan kakak saja?"

Suara-suara di kafe seolah memudar, tenggelam dalam kebisingan pikiranku sendiri. Tanganku gemetar saat meraih ponsel di atas meja. Layarnya yang gelap memantulkan wajahku-sebuah cermin kecil yang memperlihatkan sosok yang nyaris tak kukenali.

Aku menatap pantulan diriku lekat-lekat. Mata yang biasanya bersinar penuh semangat kini tampak redup, seolah kehilangan cahayanya. Bibir yang biasa tersenyum kini terkatup rapat, menyimpan sejuta kata yang tak mampu terucap.

Tiba-tiba, seolah terhipnotis oleh pantulan wajahku sendiri, aku mulai berhalusinasi. Sosok dalam layar ponsel seakan hidup, berbicara padaku dengan suara yang begitu mirip dengan suaraku sendiri.

"Shani, benarkah kamu hanya menganggap Gito sebagai pelampiasan?" tanya sosok itu, matanya menatapku tajam.

Aku terkesiap, "Tidak! Itu tidak benar!"

*"Benarkah sejatinya kamu sendiri tidak tahu isi hatimu sendiri?"* Sosok itu terus mendesak.

"Pelampiasan? Isi hati? Omongan kosong apa itu?" Aku mendesis, amarah mulai membara dalam dadaku.

"Bagaimana mungkin orang asing lebih tahu isi hatiku dibanding diriku sendiri?"

*"Dengarkan lah,"* sosok itu berkata lembut, *"tak ada orang lain yang mengerti isi hatimu melebihi dirimu sendiri."*

Aku menggertakkan gigi, "Lagi pula, apa orang lain tak tahu apa yang sudah aku korbankan untuknya? Waktuku, egoku, pikiranku, dan bahkan prinsip hidupku... Aku telah menundukkan kepalaku di pahanya!"

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. "Bahkan aku tak pernah menyangka akan bersaing dengan sahabatku sendiri."

Sosok dalam pantulan itu menatapku dengan simpati. *"Entah mengapa ini sangat menyakitkan, bukan?"*

"Ya," bisikku parau. "Jujur saja, aku benci situasi ini. Kesendirian tanpa kebisingan, keadaan yang selalu kunikmati dan yang selalu menemaniku... tiba-tiba sekarang aku benci kesendirian."

Aku mengerjapkan mata, dan sosok dalam layar ponsel kembali menjadi pantulan wajahku yang biasa. Namun, perasaan gundah yang ditinggalkannya masih terasa nyata. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan badai emosi yang berkecamuk dalam dadaku.

Café yang tadinya ramai kini terasa begitu sunyi. Aku duduk sendirian, ditemani secangkir kopi yang mulai mendingin dan sejuta pertanyaan yang tak terjawab. Chika benar, mungkin ini saatnya aku merenung, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kuhindari.

Apakah aku benar-benar mencintai Gito? Atau hanya menjadikannya pelarian dari kesepian yang selama ini kurasakan? Dan jika memang aku mencintainya, apakah cintaku cukup kuat untuk menghadapi segala rintangan yang ada?

Kugenggam ponselku erat, seolah mencari kekuatan dari benda mati itu. Mungkin memang sudah waktunya aku menghadapi diriku sendiri, sebelum bisa menghadapi Gito atau siapa pun. Karena pada akhirnya, seperti kata sosok dalam halusinasiku tadi, tak ada yang lebih mengerti isi hatiku selain diriku sendiri.

Dengan tekad baru, aku bangkit dari kursi. Mungkin ini akan menjadi perjalanan yang sulit, tapi aku tahu ini perjalanan yang harus kutempuh. Demi diriku sendiri, demi Gito, dan demi semua orang yang kusayangi.



[Bagian pertama tetap sama]

Dengan langkah gontai, aku meninggalkan kafe, membiarkan kakiku membawaku pulang tanpa benar-benar memperhatikan jalan. Apartemenku yang biasanya terasa seperti tempat perlindungan kini tampak begitu asing dan dingin. Kulempar tasku ke sofa dan berjalan menuju dapur, perutku mengingatkanku bahwa aku belum makan sejak pagi.

Tanpa pikir panjang, kukeluarkan penggorengan dan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng. Gerakan tanganku otomatis, memotong bawang dan sayuran, seolah tubuhku bergerak sendiri sementara pikiranku melayang jauh.

Aroma nasi yang mulai mengepul di penggorengan tiba-tiba membawaku kembali ke beberapa hari yang lalu. Aku ingat bagaimana aku berdiri di tempat yang sama, memasak nasi goreng dengan senyum lebar di wajah. Saat itu, aku membuatkannya untuk dia... untuk Gito.

Tanganku berhenti mengaduk. Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu dekat, namun di saat yang sama begitu jauh. Suara tawa Gito yang menggema di apartemen ini, candaan ringannya saat mencicipi masakanku, kehangatan yang terpancar dari matanya saat dia memuji nasi goreng buatanku sebagai yang terenak yang pernah dia makan.

Air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Aku menggigit bibir, berusaha menahan isakan yang mulai naik ke tenggorokan. Bagaimana mungkin kenangan yang begitu indah kini terasa begitu menyakitkan?

Aku mematikan kompor, membiarkan nasi goreng yang baru setengah jadi terbengkalai. Nafsu makanku lenyap seketika. Kuambil ponselku, berharap ada pesan atau panggilan tak terjawab dari Gito. Tapi layarnya tetap gelap, tanpa notifikasi apa pun.

Kuhempaskan tubuhku ke lantai dapur, bersandar pada lemari es. Ponsel kugenggam erat di dada, seolah benda itu bisa membawaku kembali pada momen-momen bahagia bersama Gito.

"Apa yang terjadi padaku?" bisikku pada keheningan apartemen.

Ini adalah territory asing bagiku. Selama ini, aku selalu bangga dengan kemampuanku mengendalikan emosi, menjaga jarak, dan menyelesaikan masalah dengan logika. Tapi kini, menghadapi badai perasaan ini, aku merasa seperti anak kecil yang tersesat.

Aku bingung. Takut. Dan yang paling menyakitkan, aku merasa begitu sendiri.

Haruskah aku menghubungi Gito? Tapi apa yang akan kukatakan? Bagaimana aku bisa menjelaskan perasaan yang bahkan aku sendiri tidak pahami? Dan bagaimana jika dia tidak menjawab?

Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika dia menjawab tapi hanya untuk mengatakan bahwa dia tidak ingin melanjutkan hubungan ini?

Pikiran-pikiran itu berputar di kepalaku seperti badai yang tak kunjung reda. Aku memeluk lututku, membiarkan air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh bebas.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa benar-benar kehilangan arah. Masalah hati, cinta, perasaan... semua ini adalah bahasa asing yang tak pernah kupelajari. Dan kini, aku harus menghadapinya sendirian, tanpa panduan, tanpa peta.

Aroma nasi goreng yang mulai mendingin di penggorengan mengingatkanku pada kenyataan pahit: bahkan makanan favoritku kini terasa hambar tanpa kehadirannya. Kesendirian yang dulu kuanggap sebagai kekuatan kini terasa seperti hukuman.

Aku menatap ponselku sekali lagi, jemariku gemetar di atas layar. Haruskah aku menghubunginya? Memohon penjelasan? Atau haruskah aku menunggu, memberinya waktu, memberi diriku sendiri waktu untuk memahami semua ini?

Malam semakin larut, dan aku masih terduduk di lantai dapur, ditemani oleh keheningan yang memekakkan dan sejuta pertanyaan yang tak terjawab. Entah berapa lama aku akan bertahan dalam ketidakpastian ini, tapi satu hal yang kutahu pasti: aku tidak akan pernah melihat nasi goreng dengan cara yang sama lagi.
















Bersambung.....





CERITA DIBALIK KONTRAK (GITSHAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang