"Ada yang lebih capek, tapi nggak
seberisik kamu."•Laut Untuk Langit•
Setelah segala pemeriksaan berakhir dan derap langkah dokter-dokter yang sibuk telah menjauh, tersisalah kesunyian di ruang itu—sunyi yang terasa begitu berat, seolah tiap detik diukir dari kepedihan yang tertahan. Hanya ada mereka berdua, terjebak dalam waktu yang seperti berhenti. Noan berbaring lemah di ranjang, matanya yang baru saja terbuka kembali ke dunia memandang Jenia dengan tatapan yang panjang, seolah ingin memastikan bahwa semua ini bukanlah ilusi—bahwa ia masih di sini, hidup, di hadapan perempuan yang selama ini menghantui alam mimpinya.
Jenia duduk di sampingnya, tangannya yang mungil menggenggam erat jemari Noan. Ada getar halus di genggamannya, semacam rasa takut yang tak terucap, takut bahwa kehadiran Noan hanyalah sekelebat angan yang akan lenyap sewaktu-waktu. Mata Jenia sembab, namun sorot matanya menyiratkan perasaan yang tak sanggup ia ungkapkan, perasaan yang seolah mengendap di dasar jiwanya.
Lama mereka terdiam, membiarkan kebisuan merayap di antara mereka, seperti sepasang jiwa yang tengah saling meraba dalam kegelapan. Hingga akhirnya, suara Noan yang lembut memecah keheningan itu, suaranya serak namun penuh rasa penasaran yang menyayat.
"Apa yang berubah selama gue tidur?"
Jenia menengadah perlahan, tatapan mereka bertemu di udara yang terasa begitu pekat oleh kenangan yang belum sempat terucap. Dadanya terasa sesak, seakan kata-kata yang ingin ia ungkapkan terjebak di tenggorokan, tertahan oleh beban perasaan yang belum ia bagi pada siapa pun. Namun, setelah sejenak, bibirnya terbuka, dan kalimat itu pun keluar, sehalus bisikan angin yang melintasi malam.
"Aku pergi dari apartemen," katanya dengan suara nyaris bergetar. "Aku… akhirnya mutusin semuanya yang ada kaitannya sama Ethan."
Noan menatapnya tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya ada kedalaman di matanya yang seakan menelusuri jejak kesedihan di wajah Jenia. "Sorry," ucapnya pelan, nyaris tak terdengar, seolah ia sendiri ikut merasakan beban yang kini dipikul Jenia. "Pasti nggak gampang buat lo."
Jenia tersenyum tipis, namun senyuman itu dipenuhi luka yang masih segar. "Bukan salah kamu," ujarnya dengan lembut, namun nada suaranya terdengar getir, seperti seseorang yang baru saja menelan pil pahit. "Sejak awal aku sama Ethan emang... nggak cocok. Harusnya waktu itu aku dengerin kamu."
Sejenak, ruangan kembali tenggelam dalam kesunyian. Hanya suara hujan yang perlahan mengalun dari luar jendela, mengiringi suasana sendu yang tak kunjung memudar. Noan mengalihkan pandangannya ke langit-langit, seakan meresapi apa yang baru saja diucapkan Jenia, sebelum akhirnya ia kembali menatap perempuan itu, dengan sorot mata yang hangat namun rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
LAUT UNTUK LANGIT
Romantizm"Jangan nyapa lagi ya, aku udah sejauh ini buat sembuh." ~Jenia Amaya Laut dan langit, keduanya ditakdirkan untuk berpisah namun tetap saling melengkapi. Ethan Nathaniel ibarat langit, yang segala halnya bisa berubah sewaktu-waktu. Setiap kali langi...