Kini, kantin yang ramai tampak di hadapan Jeno. Haechan, anak laki-laki yang telah mengambil alih tugas sebagai pemandu tidak resmi Jeno, menuntunnya menuju meja tempat sekelompok siswa. "Teman-teman, ini Jung Jeno! Siswa baru kita!" Haechan mengumumkan dengan antusias, suaranya memecah kegaduhan di sekitar mereka.
"Hai, Jeno-ya! Selamat datang!" seru seorang anak laki-laki bernama Yangyang. Beberapa siswa lain ikut menyambut dan menawarkan tempat duduk.
"Terima kasih! Senang bertemu kalian semua!" Jeno menjawab, senyumnya melebar saat melihat ekspresi ramah di wajah mereka.
Suasana semakin hidup ketika piring-piring penuh hidangan mulai berdatangan. Aroma lezat dari beragam makanan memenuhi meja, memancing selera semua orang. Saat makanan disajikan, mereka makan dengan lahap, suara sendok dan garpu berbenturan bercampur dengan gelak tawa yang riuh.
Di tengah sesi makan, Haechan memulai percakapan dengan semangat, menceritakan kejadian-kejadian lucu di kelas. "Kalian tahu, minggu lalu, Hyunjin diminta Lee Ssaem untuk menjelaskan materi karena tertidur, tapi dia malah membacakan lirik lagu!" katanya sambil tertawa. "Semua orang bingung, dan saat dia menyadari, wajahnya merah padam! Dia sampai berusaha mengubahnya jadi penjelasan, tapi kita semua sudah terlanjur tertawa!"
Namun, di tengah tawa itu, sebuah bayangan muncul di pikirannya, Renjun. Ia tidak dapat menghilangkan ingatan tentang sikap dingin Renjun. Anak laki-laki itu seperti teka-teki berlapis, yang sulit dipahami Jeno. Ia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis pikiran yang mengganggu.
"Jeno-ya," Jaemin menyela. "Apa kesan pertamamu tentang sekolah ini?"
Sambil tersenyum, Jeno menjawab, "Teman-teman menerimaku dengan baik, tapi... ada satu anak yang kurasa tidak terlalu menyukaiku."
"Maksudmu Renjun?" sela Haechan, matanya berbinar.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Jeno, sedikit heran.
"Tenang saja. Sikapnya memang seperti itu, bukan hanya padamu kok," jawab Haechan santai, seolah hal itu sudah biasa.
"Kenapa begitu?" tanya Jeno, rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Ia ingin memahami lebih dalam tentang Renjun, mencoba menggali alasan di balik sikapnya yang tertutup.
Haechan mencondongkan tubuhnya, seolah ingin berbagi rahasia. "Tidak ada yang benar-benar tahu. Dia lebih suka menyendiri, tapi percayalah, dia itu pintar! Dia selalu dapat nilai tertinggi di kelas."
"Dia seperti kucing," Yangyang menambahkan, menyeringai nakal. "Mencakar siapa pun yang terlalu dekat."
Jaemin memutar matanya. "Abaikan saja. Kucing ganas sepertinya memang seharusnya dibiarkan sendiri."
Jeno hanya tertawa sebagai balasan, tetapi dalam hatinya, ia merasa semakin ingin memahami sosok misterius itu.
"Jangan khawatir, Jeno-ya. Mungkin suatu hari nanti dia akan terbuka," kata Shotaro dengan nada menenangkan.
Jeno mengangguk. "Baiklah," jawabnya. Mungkin, hanya butuh waktu dan kesabaran lebih untuk menemukan sisi lain dari Renjun yang selama ini tersembunyi.
🐾🐾🐾
Kelas hari itu akhirnya berakhir. Kini, Jeno sedang mengemasi barang-barangnya. Di sudut matanya, ia melihat Renjun tergesa-gesa memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, seolah-olah waktu sangat berharga baginya. Sebelum Jeno sempat mengucapkan sepatah kata, Renjun sudah melesat keluar kelas, jubah kesendiriannya kembali menyelimuti dirinya seperti kabut tebal.
Jeno pulang bersama Haechan, yang mengoceh dengan semangat di sampingnya. Mereka berpisah di persimpangan karena ia hendak membeli sesuatu di toserba. Setelah berbelanja, Jeno melanjutkan perjalanan, tetapi suara isak tangis tiba-tiba menarik rasa ingin tahunya. Ia mengikuti suara itu ke gang yang remang-remang, dan di sana ia menemukan Renjun duduk sendirian, air mata mengalir di pipinya.
Jeno merasa hatinya bergetar melihat pemandangan itu. Tanpa berpikir panjang, ia mendekati Renjun dengan hati-hati. "Renjun-ah," panggilnya lembut, berusaha tidak mengganggu. "Apa yang terjadi?"
Renjun menoleh, terkejut. Ia cepat-cepat menyeka air matanya, tetapi tidak bisa menyembunyikan kesedihan di wajahnya. "Apa yang kau inginkan? Aku tidak butuh belas kasihan!" bentak Renjun.
"Tidak, tidak-ini bukan rasa kasihan," Jeno bersikeras, berlutut di sampingnya sehingga mereka sejajar. "Aku... hanya ingin membantumu."
Emosi Renjun berbenturan dalam tatapannya-takut, marah, putus asa. "Membantu? Kau bahkan tidak mengenalku. Kau pikir kau bisa memperbaiki semuanya dengan kata-kata?" Suaranya bergetar, kekasaran itu menusuk hati Jeno. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya."
"Aku mungkin tidak mengerti rasa sakitmu," Jeno mengaku dengan lembut. "Tapi biarkan aku masuk sedikit. Kau tidak harus menghadapi ini sendirian."
Kata-kata itu menggantung di udara. Jeno melihat ragu di mata Renjun, seolah ada keretakan kecil dalam dinding yang selama ini menghalanginya. Jeno tahu bahwa untuk membuka hati seseorang yang tertutup, dibutuhkan lebih dari sekadar kata-kata.
Renjun tetap diam membisu. "Aku di sini jika kamu butuh teman," tambah Jeno, berusaha meyakinkan. "Aku tidak akan memaksa, tapi aku ingin ada untukmu." Dalam hening itu, Jeno berharap bahwa Renjun akan mempertimbangkan tawaran itu dan menemukan sedikit keberanian untuk membuka diri.
Namun, saat itu juga, Renjun bergumam, "Aku...aku tidak butuh bantuanmu," sebelum berdiri dan berlari pergi, meninggalkan Jeno sendirian di gang.
Melihat sosok Renjun menghilang, tekad Jeno semakin kuat. Ia tidak akan menyerah begitu saja. Di balik sikap dingin Renjun, Jeno merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah cerita yang penuh luka dan kesedihan yang terpendam.
🐾 Paws and Whiskers 🐾
Mohon bantuannya untuk like dan comment. Thank you ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Rains in Heaven || Noren
FanficJung Jeno, pemuda ceria dengan senyuman menawan, terpesona oleh Nakamoto Renjun, pemuda pendiam yang misterius. Jeno, dengan sifat polosnya yang ceria seperti anjing Samoyed, tak kenal lelah berusaha mendekati Renjun, si kucing Munchkin yang menyimp...