Pilihan Jalan Seorang Istri 4

2K 7 0
                                    

Mahendra pun hanya mengangguk, kemudian dia berdiri. Akan tetapi, ia tidak keluar ruangan. Lagi-lagi, ia memberiku ciuman di bibir seperti biasanya. Entah mungkin karena ia sudah akan resign, aku tidak tega jika harus menghindar.

Akhirnya, selama beberapa puluh detik, kami saling melumat bibir kami. Setelah itu, Mahendra pun keluar dari ruanganku. Peraturan perusahaan tempatku bekerja ini mengharuskan karyawan untuk bekerja selama sebulan lagi sejak mengajukan resign, jadi Mahendra masih mempunyai waktu sebulan untuk mentransfer pengetahuan kerjanya.

Selama sebulan ini, aku dan Mahendra tetap dekat dan akrab seperti biasanya. Beberapa kali ia berkonsultasi denganku masalah pekerjaan. Kadang-kadang, kami juga saling curhat. Mahendra sekarang sudah menjadi orang yang selalu menampung curhatku. Ia juga selalu ada untukku ketika aku membutuhkannya.

Aku sadar, mungkin memang sedikit demi sedikit, hatiku juga sudah mulai memberikan tempat bagi Mahendra. Hanya saja, aku ingat dengan statusku yang sudah menikah, karena itu kadang-kadang aku tidak membiarkan hatiku terus berbunga-bunga untuk Mahendra. Sangat sulit sekali melakukannya, karena memang cinta adalah salah satu perasaan paling sulit dilawan.

Suatu hari, pada hari Jumat, yaitu hari terakhir masa kerja Mahendra di perusahaan ini. Mahendra mendatangiku di ruanganku.

"Ci, besok jalan-jalan yuk." Kata Mahendra.

"Hah? Jalan-jalan? Nggak ah." Kataku.

Tentu saja aku menolaknya. Aku khawatir kalau kedekatanku dengannya menjadi semakin jauh dan menyebabkan perselingkuhan yang sebenarnya. Selama ini, walaupun dekat dan akrab, tapi aku tetap berusaha membuat batas-batas antara aku dan Mahendra.

Aku tidak bisa membiarkan perasaan cintaku pada Mahendra begitu meluas. Aku harus mengendalikannya. Jika aku jalan-jalan bersamanya, tentu saja rasa cinta itu akan berkembang menjadi lebih luas.

"Ayolah, ci. Aku nggak pernah jalan-jalan nih sama cici." Kata Mahendra.

Ya, memang aku tidak pernah jalan-jalan berduaan bersama Mahendra. Mulai muncul godaan dalam hatiku untuk menyetujui ajakannya. Ah, tidak boleh! Aku harus bisa menolaknya. Ini kan hari terakhirnya. Kalau aku bisa menolaknya, setelah hari ini harusnya aku lebih mudah untuk menyingkirkannya dari hatiku.

"Ndra, jangan lah. Aku kan juga udah bersuami. Apa kata orang nanti kalo kita jalan-jalan sama-sama?" Kataku berusaha sekuat hati untuk menolaknya.

"Tenang aja, ci. Ga ada yang tahu kok." Kata Mahendra.

Ah, nggak ada yang tahu. Betul juga ya. Toh, hanya jalan-jalan saja. Mungkin aman kali ya? Aku sesekali ingin jalan-jalan berduaan dengannya. Eh, tidak boleh! Tidak.. tidak... tidak boleh! Gejolak hatiku antara dua perasaan ini begitu kuat.

"Kamu kan juga udah punya pacar, Ndra. Aku juga nggak enak lah sama pacar kamu." Kataku berusaha untuk mencari-cari alasan.

"Tenang aja, ci. Itu urusanku. Mengenai apa yang akan terjadi sama hubunganku sama pacar aku, itu sepenuhnya tanggung jawab aku. Lagian ini kan hari terakhirku nih di perusahaan ini. Aku nggak tau kapan ketemu cici lagi" Kata Mahendra.

"Yah, kita tetap bisa ketemuan lah, Ndra. Kan katanya kamu tetep di Indonesia." Kataku.

"Nah, apa bedanya ketemuan nanti-nanti dengan besok?" Tanya Mahendra.

Aduh, dia ini betul-betul tetap berpegang pada karakternya, tidak mudah menyerah. Dan sialnya, aku juga semakin tergoda.

"Udah, Ndra. Jangan. Kapan-kapan aja, ya." Kataku masih berusaha menolaknya.

"Soalnya biasanya kan kalo udah pisah itu lost contact, ci. Ayolah, ci. Pleassee..." Kata Mahendra.

Ah, disinilah pertahananku runtuh sepenuhnya. Di samping tidak tega, aku sendiri pun mengakui bahwa aku sangat ingin setidaknya jalan-jalan sama Mahendra berdua sekali saja. Baiklah, akhirnya hatiku memutuskan bahwa aku akan menyetujui ajakannya.

Akan tetapi, di sisi lain aku bingung apa yang harus kujelaskan pada keluargaku jika aku menyetujui ajakannya. Mahendra terus melihatku dengan penuh harap. Jika melihat dari tatapannya, aku memang semakin tidak tega. Sudahlah, aku sendiri sebetulnya juga menginginkan hal itu, ingin sekali merasakan rasanya jalan-jalan berdua dengannya. Mungkin, Mahendra pun merasakan hal yang sama denganku.

"Oke." Kataku.

"Nah, gitu dong, ci. Akhirnya." Kata Mahendra.

"Eits, tapi banyak syaratnya, Ndra." Kataku.

"Apa aja ci? Aku siap memenuhinya selama itu bukan yang menghalangi acara." Kata Mahendra.

"Pertama, nggak boleh ada orang lain yang tahu." Kataku.

"Oke. Gampang." Kata Mahendra.

"Kedua, hari minggu aja, Ndra. Jangan besok. Karena minggu biasanya orang-orang pada istirahat di rumah. Jujur aja, kalo ketahuan sama orang lain, aku takut orang lain berpikiran yang nggak-nggak ke aku." Kataku.

"Oke. Gampang." Kata Mahendra.

"Ketiga, kita perginya ke luar kota aja." Kataku.

"Hmmm, Puncak gimana, ci?" Tanya Mahendra.

"Puncak... Hmmm, boleh sih kayanya." Kataku.

"Tapi kalo ke Puncak, berarti agak subuh dong ci berangkatnya?" Tanya Mahendra.

"Oh iya, bisa macet ya kalo nggak subuh-subuh?" Tanyaku.

"Betul." Kata Mahendra.

"Oke, nggak masalah. Kira-kira jam 5 ya kita berangkat." Kataku.

"Oke. Hari Minggu jam 5 aku jemput cici di rumah." Kata Mahendra.

"Eh. Jangan di rumah. Kita ketemuan aja di suatu tempat. Nanti alamatnya aku kasih tau besok." Kataku.

"Oke deh, ci. Deal ya hari Minggu." Kata Mahendra.

"Iya-iya." Kataku.

"Oke. Sampai hari minggu, ci." Kata Mahendra sambil keluar dari ruanganku.

Kemudian, karena hari itu sudah saatnya jam pulang, kami merayakan last day nya Mahendra di kantor. Anak-anak ABG divisi accounting itu pun sepertinya pada sedih karena kehilangan Mahendra. Dasar anak-anak ABG hahaha.

Setelah acara selesai, aku segera pulang ke rumah. Haah, hari minggu ya. Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

21+ Pilihan Jalan Seorang Istri (Cuck Warning)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang