•••
"Apa maumu?"
Suara berat Rafael dari arah samping menghentikan tangan Dybala yang tadi ingin membuka kenop pintu, mengurungkan niat sang anak untuk memasuki kamarnya.
"Aktifkan kartu kreditku lagi," suaranya memerintah, bersama tatapan garang yang tak begitu Rafael gubris.
"Gurumu memberitahuku nilai ulanganmu hancur, perbaiki itu disemester depan baru kau boleh memakainya lagi."
"Apa?" Dybala tertawa kesal. "Jadi kau pikir belajar itu tidak butuh uang?"
"Kau masih punya kartu yang lain."
"Limitnya terbatas!"
Rafael mengangkat bahu.
"Kalau begitu kau harus membatasi kebutuhanmu."Sang anak mengepal tangannya geram, si bajingan ini tahu bahwa Dybala masih bergantung padanya. Anak yang dibesarkan dengan kekayaan sepertinya tentu sulit kalau memaksakan diri keluar dari tanggung jawab Rafael, kan? Terdengar memalukan bekerja serabutan untuk bertahan hidup, karena itulah Dybala masih berada di rumah ini.
"Awas saja kalau aku tak mendapatkan kartuku semester depan," ancam Dybala.
"Kita bicarakan itu setelah kau berhasil memperbaiki nilaimu."
Dybala menghentak kaki kemudian pergi sambil mengumpat, Rafael hanya bisa menggeleng menyikapinya.
Oh tunggu, dia lupa sesuatu.
Rafael memasuki kamarnya, agak bingung ketika melihat kasurnya kosong, matanya melihat sekitar kamar yang juga tampak sepi lalu ia merogoh ponselnya di saku untuk menelpon seseorang.
Bunyi dering ponsel terdengar di kamar itu, Rafael celingak-celinguk.
"Raven?"
Sedikit aneh melihat pergerakan di dalam lemari, Rafael berjalan mendekat untuk membukanya, dan dia menemukan Raven tengah duduk meringkuk di pojok lemari. Keduanya sama-sama terperanjat melihat satu sama lain.
"Astaga apa yang kau lakukan disini?"
Raven mengelus dadanya lemas.
"Aku pikir Dybala," katanya segera bangkit keluar lemari.Rafael baru sadar melihat anak itu memakai blezer koleksi Dolce & Gabbana miliknya yang dengan tega Raven jadikan handuk dadakan untuk melilit pinggulnya.
"Pak, tolong jelaskan, kenapa aku bisa telanjang?! A-apa yang sudah kau lakukan denganku?"
"Maksudmu?"
"Karena terakhir yang kutahu kita masih di padang rumput, kita tidak mabuk, kita hanya mengobrol disana kan? Ta-tapi kenapa tiba-tiba aku bisa disini? Di- dirumahmu?!" Raven meremas rambutnya frustasi. "Aku tak mau bilang ini padamu, tapi Pak, a-aku ini laki-laki, aku tidak bisa hamil, apa kau juga akan me-menghamiliku?!"
Raven tergagap namun mulutnya seolah tak bisa berhenti panik.
"Jawab aku Pak, apa yang sudah terjadi dengan kita sebenarnya? Kenapa kau diam saja?! Aku butuh penjelasan, a-aku tak bisa berpikir bersih, kenapa kau diam saja Pak?! Jangan membuatku semakin hancur a-"
"Kau kencing di celana."
Hah?
Rafael melanjutkan, "Kau ikut tertidur dan kulihat celanamu basah, aku sudah membangunkanmu tapi kau tidak sadar, jadi aku membawamu ke rumahku karena aku tidak tahu dimana kau tinggal, tidurmu sangat nyenyak, kau bahkan tak sadar saat pembantuku melepaskan celanamu agar kasurku tidak bau pesing."
Sial. Sial. Sial. Benar-benar tak tahu malu! Sekarang mau ditaruh dimana wajahnya? Penyakit asal ceplosnya memang tak pernah hilang seperti yang Naya katakan. Kini Raven hanya bisa menunduk dihadapan Rafael yang masih berdiri didepannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Kinda Hot [SungJake]
أدب الهواةRaven pikir, dia tidak mudah tertarik dengan seseorang, tapi sial, pria beralis tebal itu terlalu seksi untuk dia tolak. "Aku berani sumpah, hanya pria tua keladi yang tertarik denganmu." "Persis, salah satunya adalah ayahmu." a story by: jajangmyeo...