dua puluh sembilan

395 21 1
                                    

"Kau—yakin ini mereka, apa sudah pasti mereka kesana ?" Nada aska menanyakan.

Aaron berfikir sejenak, lalu bergumam. "Belum terlalu yakin."

"Apa maksudmu ?"

Aaron mendecak. dirinya tau temannya ini cukup kelimpungan. "Apa kau bahkan tidak merawat dirimu sendiri. Lihatlah kau kurus sekali, dan cukurlah rambutmu itu sekarang. Aku benci melihatnya, seperti bukan dirimu saja. Kau betah lima tahun begini—kalau begini terus bagaimana mau menangkap mereka."

Aska mendengus sebal, yang dikatakan Aaron memanglah benar. Dia kesulitan mencari wanitanya, sampai lupa untuk mengurus dirinya sendiri.

"Lupakan saja. Lanjutkan pembicaraan yang tadi." Ucap aska tak perduli.

"Aku tak mau—sampai kau berubah seperti dulu. Begini kau datang dan membawanya kembali. Sudah pasti dia kabur lagi. Masih tampan saja ditinggalkan apalagi begini, berkacalah sana."

Aska sebal, Aaron ini cerewet sekali. Dia kesini untuk mendapatkan informasi mengenai allesia, tapi malah mendapatkan makian dari sahabatnya ini. Sekali saja, bisakah Aaron berhenti mendebati pernampilannya.

"Terserahmu saja, aku akan mencari sendiri kalau kau tidak mau membantuku."

"Sebentar—bisakah kau bersabar sedikit saja." Tangan Aaron mengambil map hitam disebalik laci meja kerjanya—menarik benda itu lalu mengeluarkan beberapa foto yang berhasil dirinya tangkap. "Ini foto satu bulan yang lalu. Orang-orangku berhasil mengabadikan momen ini, lihatlah bukankah ini jelas allesia—tapi masalahnya ketika mereka akan mengulik informasi lebih dalam, mereka pindah. Tanpa ada celah, semuanya terlihat sangat rapi, bagai mereka tak pernah kesana."

"Kalau begitu, artinya mereka tidak menetap disatu tempat saja ?"

Aaron mengangguk. "Benar, itu kesulitannya selama ini. Mereka tau kita sedang mengusik, dan langsung mencari tempat baru untuk bersembunyi lagi—tanpa meninggalkan jejak sama sekali."

Aska berfikir sejenak. Otaknya memikirkan beberapa nama yang kemungkinan akan bersangkutan dengan perginya wanita itu. Dan ya, dikepalanya hanya tersebut satu nama saja. Orang yang kemungkinan punya kekuatan untuk menyembunyikan wanitanya selama ini. Kalau begitu, dia pasti bukan orang biasa.

"Bagaimana ciri-ciri fisik pria itu ?"

"Bukankah sudah kukatakan padamu."

"Aku butuh yang lebih jelas lagi."

Aaron berfikir sejenak—kemudian menyimpulkan. "Kupikir mereka seumuran, tapi bukankah allesia tak mempunyai teman laki-laki, Atau itu kekasihnya ?"

Aska menggeleng, menolak. "Saat bersamaku, dia tidak akan berani untuk mencintai laki-laki lain." Tangannya bergerak mengambil foto-foto itu dari Aaron kemudian melihatnya dengan seksama. "Terlihat mesra sekali, dia memang tak perduli pada nyawanya sendiri. Menyembunyikan gadisku selama lima tahun, hebat sekali. Sialan."

Aaron mendengus sebal, dia memang tau aska ini gila. Dia juga tau allesia itu adiknya aska. Namun, mungkin insting pertemanannnya yang memutuskan dirinya untuk menjadi garda—terdepan untuk aska.

"Apa kau berfikir aku gila ?"

"Kau memang gila."

Aska terkekeh sinis. "Kita akan dapatkan mereka. Aku tak perduli jika kau harus menyeretnya kehadapanku—kupastikan pria itu juga akan mati ditanganku."

"Bagaimana dengan naina." Tanya Aaron bingung. "Bukankah kalian masih tinggal satu atap—dia juga punya bayi laki-laki, akan kau apakan mereka ?"

Pandangan aska dingin, menusuk. "Akan kusingkirkan saat aku mendapatkan wanitaku."

Aaron tertawa pelan. "Itu kejam aska, bukankah kau cukup menyanyangi mereka. Ah tidak, bukankah kau kasihan kepada mereka ?"

"Aku tidak punya hati nurani kepada manusia yang menjadi alasanku kehilangan wanitaku—tunggu sampai aku menemukan mereka. Akan kubiarkan gadis itu menyaksikan kehancuran dari dua orang sekaligus."

"Itu terkesan jahat sekali."

Aska menatap Aaron dengan tajam—tertawa sinis kemudian.  "Takdir yang kejam padaku."

****************

Pria itu menggenggam tangan kekasihnya. Ada bocah kecil digendongannya. Sedikit berlari—lalu mereka sampai pada toko perhiasan dan aksesoris terdekat. Mata allesia berbinar, ia sangat bahagia hari ini. Untuk pertama kali dia bisa bebas bersenang-senang.

Diaz mengambil salah satu topi bercorak coklat khas pantai itu—dengan ada sedikit aksen bunga daisy diatasnya. Ia pasangkan dengan pelan kepada allesia. Dirinya tersenyum kemudian. "Kau cantik sekali."

Allesia tersenyum tanpa membalasnya. Pandangannya kemudian terpaku pada cincin dengan diamond kecil diatasnya. Terlihat cantik sekali, namun hanya ada satu saja tanpa ada pasangannya.

"Mau mencobanya ?"

Wanita itu mengangguk, lalu diaz memasangkan cincin itu pada jari manisnya. Terlihat sangat cocok pada kulit putih pucatnya. "Bukankah itu cukup manis ?"

"Ini cantik sekali, terimakasih." Ucap allesia dengan memandangi jarinya. Ia tak pernah menyangka berhasil melawan ketakutannya dan berpergian sampai kesini. Sungguh, dia sangat merasa bebas sekarang.

Pria memilik toko itu lalu memandangi mereka dengan seksama—kemudian tersenyum bahagia. Pandangannya tertuju pada dua sosok dewasa dan satu bocah kecil perempuan itu.

"Kalian pasangan yang serasi, apa sudah menikah ?"

Dia menatap allesia sebentar, lalu menjawab. "Benar, kami suami istri."

Berbeda dengan diaz yang menjawab pertanyaan itu, allesia hanya diam sambil tersenyum kaku.

"Benar dugaanku, putri kalian juga sangat cantik, tapi tidak terlalu mirip dengan ayahnya."

Diaz menggengam jemari allesia lalu mengelusnya pelan. "Benar, putri kami mirip ibunya."

Pria pemilik toko itu tersenyum kemudian. Menarik salah satu bucket bunga dihapannya—memberikannya kepada mereka. "Ini adalah bunga tulip—bunga ini melambangkan sifat ceria dan menandai datangnya awal yang baru. Selain itu, bunga ini selalu habis terjual karna maknanya yang cukup dalam. Bunga ini juga dikenal sebagai perlambangan cinta yang sempurna dan mendalam. Ini untukmu, kalian keluarga yang sangat serasi, semoga tuhan memberkati pernikahan kalian."

Diaz tersenyum bahagia. "Terimakasih doanya, pak—," ucapnya terputus dikala belum mengetahui nama pemilik toko itu.

"Antonio, kau bisa memanggilku dengan nama itu."

Ketika diaz ingin membayar tangihan mereka tapi antonio menolaknya dengan halus. Pria itu malah bergerak untuk menyubit kecil pipi sierra, yang mendapat balasan tatapan polos dari bocah kecil itu.

Antonio memasukkan barang-barang mereka pada tote-bag belanja, kemudian menatap mereka dengan senang. "Aku hanya akan menghitung tagihan topi dan cincin ini saja. Bunga itu hadiah untuk kalian. Lain kali, tolong jangan sungkan untuk berbelanja lagi. "

"Terimakasih banyak paman. kalau begitu kami pergi dulu." Diaz menarik allesia kepelukannya, lalu allesia berjalan mengiringinya. Sepertinya ingin melihat toko-toko yang lain.

Ketika telah mendapati kedua sosok itu untuk menjauhi tokonya, senyum itu memudar dan diganti dengan tatapan datar. Tangannya menarik saku dan mengeluarakan benda elektronik dari sana.

"Tuan, mereka baru saja pergi dari tokoku."





Hai, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca🩶

Sorry LiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang