20. Korban Copy Paste

137 51 17
                                    

Malam, Dears!
Update ketiga hari ini.

Enjoy this story~
Happy reading!

***

"Boleh juga ide lo, Kin. Kepikiran aja lo bikin konsep program beginian. Ini sih, lebih oke daripada ide lo sebelumnya," puji Mas Danu.

"Thanks, Nu. Ide ini bukan apa-apa sih, tanpa kalian. Sebagus apa pun ide gue, tetap aja kalian yang bisa wujudin dengan kerja sama tim."

Semua orang bertepuk tangan, puas akan proposal program Mbak Kinan. Mereka setuju dengan komentar Mas Danu. Tentu saja kecuali aku yang masih bergeming dengan pandangan menerawang. Entah perasaanku saja atau bagaimana, sejak awal Mbak Kinan terkesan menghindari tatapanku yang mengarah lurus padanya. Bila tatapan kami tak sengaja bertemu, dia akan cepat-cepat memalingkan muka tanpa melunturkan senyum di bibirnya.

Kepalaku berputar ke sisi kanan saat sikuku disenggol pelan oleh Devika. Mencerna isyarat mata darinya, aku mengalihkan pandang bersamaan dengan Mas Danu yang memanggilku.

"Iya, Mas?"

Menipiskan bibir, Mas Danu berkata, "Kinan udah selesai. Sekarang giliran lo, Mi."

Aku melirik Mbak Kinan, tetapi lagi-lagi dia membuang muka. Sepertinya, aku memang sudah tak memiliki harapan. Oleh karena itu, aku mengisi penuh patu-paruku sebelum berujar, "Gue ... nggak ada ide sama sekali, Mas."

Sebelah alis Mas Danu bergerak naik seolah-olah apa yang aku sampaikan barusan cuma sebuah candaan. Karena sebelumnya, aku sudah lebih dulu sesumbar. Dia pasti tidak akan mempercayai pengakuanku dengan mudah.

"Sorry, Guys! Beberapa hari ini ada aja kejadian nggak enak di kosan. Jadi, gue belum sempat mikirin ide program," lanjutku, menatap sembari memohon maaf pada satu per satu rekan yang hadir.

Aku tidak sepenuhnya berbohong. Memang benar kok akhir-akhir ini ada saja kejadian yang bikin aku kewalahan di kosan. Salah satunya, soal Miko dan Saila yang mabuk Blue Lagoon kemarin.

"Lo nggak punya ide sama sekali, Mi? Ide yang lagi terlintas di pikiran lo sekarang deh, minimal. Gue dengerin." Mas Danu masih berusaha memberi kelonggaran dan kesempatan.

Aku menggeleng. "Sorry, Mas. Tapi memang nggak ada dan gue sama sekali nggak kepikiran apa-apa. Gue rasa ide program Mbak Kinan sangat pantas buat jadi pertimbangan sih, Mas. Dengan ide ini kita bisa bikin gebrakan baru di i-Net TV."

Manik legam Mas Danu menyorotku dalam. Selang tiga denyut nadi, satu helaan napas berembus dari bibirnya yang tipis. "Oke. Untuk program baru yang akan tayang weekend, kita pakai ide Kinan," putusnya kemudian. "Kin, lo ada bayangan nggak siapa yang bakal bawain program ini nantinya?"

Dengan mata berbinar, Mbak Kinan menjawab, "Siapa lagi kalau bukan Dokter Akhtar? Gue yakin banget rating tayangan perdana kita bakal tinggi kalau dia yang bawain."

Aku mengulum senyum miris. Bahkan sampai pemilihan pengisi program pun Mbak Kinan mengutip pertimbangan yang sengaja kucantumkan. Meskipun itu hanya pertimbangan sesaat dan tidak sepenuhnya kujadikan opsi pertama, kenyataannya dia memang orang yang tak mau melewatkan kesempatan.

Tanpa berpikir panjang, Mbak Kinan akan mengambil risiko apa pun demi kesuksesan program yang dia pegang. Padahal sudah jelas bahwa Dokter Akhtar bukanlah kandidat terbaik untuk menjadi pembawa program yang lebih banyak syuting keliling pelosok Indonesia. Bagaimana tidak, untuk tanda tangan kontrak Lensa Nalar saja, Dokter Akhtar menolak mentah-mentah.

"Lo yakin, Kin?"

"Gue yakin banget, Nu. Nggak pernah seyakin ini sebelumnya. Pokoknya, program baru ini bakal sukses besar nantinya."

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang