Chapter 4 - The Stupid Dog

48 8 0
                                    

Hari ini, Jeno memutuskan untuk mengikuti Renjun diam-diam selama waktu makan siang. Jeno ingin mengetahui ke mana Renjun pergi dan apa yang dia lakukan. Ketika Renjun berdiri dan mulai berjalan, Jeno merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ia berusaha menjaga jarak, mengatur napas agar tidak terdengar mencolok.

Setelah beberapa menit berjalan, Renjun berbelok ke arah lapangan kosong di pinggiran sekolah-sebuah tempat yang hampir tidak pernah dikunjungi siswa lain. Jeno mengernyitkan dahi, menyadari bahwa dia menemukan sebuah tempat tersembunyi. Lapangan itu dikelilingi oleh rerumputan liar yang tinggi dan bunga-bunga kecil berwarna-warni.

Saat ia melangkah lebih dekat untuk mengintip Renjun yang tengah menggambar, ia tidak menyadari akar pohon yang menjulur di bawah rumput. Tanpa peringatan, kakinya terjerat, dan ia terjatuh, mendarat dengan bunyi gedebuk yang cukup keras.

Seketika, Renjun menoleh dengan wajah terkejut. Jeno tergeletak di sana, wajahnya memerah karena malu. Di dalam hatinya, ia merasa seperti berada di film komedi, tetapi ketika melihat tatapan Renjun, segalanya berubah. Ada kilauan lucu di mata Renjun, dan di sudut mulutnya muncul senyuman samar, yang menghangatkan hati Jeno.

Jeno berjalan mendekat dan duduk di sebelah Renjun. Ia mencuri pandang ke arah gambar yang sedang dikerjakan anak laki-laki itu. Di atas kertas, tampak gambar kucing Ragdoll dengan bulu berwarna putih dan mata yang berbinar lucu. Detail gambar itu begitu menakjubkan-setiap guratan terlihat begitu nyata, seolah kucing itu bisa melompat keluar dari kertas. Jeno terpesona, tak bisa menahan senyum yang merekah di wajahnya. "Kau benar-benar berbakat, Renjun-ah," ujarnya.

Renjun, meski terlihat sedikit canggung. Senyumnya sedikit memudar saat dia menarik sketsa itu lebih dekat ke dadanya, seolah melindunginya dari tatapan Jeno. "Bukan apa-apa," gumamnya, tetapi Jeno bisa melihat pipi Renjun bersemu merah.

Jeno kembali memandang sekeliling lapangan. Angin berhembus lembut, membawa aroma segar dari rerumputan dan bunga liar. Jeno menikmati momen itu, seolah waktu berhenti sejenak.

Setelah beberapa menit, ia beralih memandang Renjun, yang kini kembali fokus pada sketsanya. "Ngomong-ngomong, apa kau tidak makan siang Renjun-ah?" tanya Jeno, mencoba memecah keheningan dan memperdalam percakapan.

"Tidak," jawab Renjun sambil menatap kertasnya, suaranya datar.

Jeno mengernyit, merasa khawatir. "Kenapa?"

"Berhenti mencampuri urusanku!" Renjun tiba-tiba berkata, nada suaranya sedikit lebih tinggi.

Jeno terkejut oleh tanggapan itu. "Maaf, aku hanya... peduli padamu," jawabnya dengan lembut, mencoba meredakan situasi. Renjun hanya diam, menundukkan kepala.

"Kau suka sekali menggambar ya?" ucap Jeno, berusaha mengalihkan perhatian.

"Menggambar adalah obat bagiku," ucap Renjun pelan, hampir seperti berbisik. "Menggambar membantuku melewati masa-masa sulit."

Jeno merasakan kehangatan dalam pernyataan itu. "Maksudmu, saat kau merasa tertekan, menggambar bisa membuatmu merasa lebih baik?"

Renjun mengangguk. "Ya. Ketika aku menggambar, semua rasa sakit dan kebingungan seolah hilang. Dengan menggambar, aku bisa mengungkapkan apa yang tidak bisa aku katakan dengan kata-kata."

Jeno mengangguk. "Aku mengerti. Kadang-kadang sulit untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan."

🐾🐾🐾

Keesokan paginya, Jeno sudah merengek pada sang ibu. Ia meminta ibunya untuk membuat makan siang, yang akan ia berikan pada Renjun. "Bisakah ibu membuatkan bekal untukku?" desaknya, desaknya, matanya berbinar-binar dengan harapan.

"Tumben sekali, ada apa?" ucap Doyoung seraya mengernyitkan alis melihat antusiasme Jeno.

"Tidak ada, hanya ingin makan masakan ibu saat makan siang nanti," jawab Jeno, berusaha terlihat santai.

Meski bingung, Doyoung tetap membuatkan bekal yang cantik, berisi bola-bola nasi yang lucu, sayur, sosis, dan buah segar yang menggoda. Jeno tidak sabar untuk melihat reaksi Renjun.

Saat makan siang tiba, Jeno mendapati Renjun duduk di tempat biasanya. Jeno mendekat dan tersenyum lebar, mengulurkan kotak bento dengan semangat. "Renjun-ah! Maukah kau menghabiskan bekalku? Aku tidak suka lauknya."

Renjun mendongak, ekspresinya dingin dan waspada. "Aku tidak menginginkannya," jawabnya datar, memalingkan muka seolah-olah ingin mengabaikan Jeno sepenuhnya.

"Ini benar-benar enak, ibuku yang membuatnya!" pinta Jeno, keputusasaan merayapi suaranya.

Alih-alih melembut, tatapan Renjun mengeras. "Aku tidak peduli" bentaknya. "Biarkan aku sendiri."

Jeno terdiam sejenak, merasakan sakit di dadanya. "Baiklah, mungkin bekalnya akan kubuang saja," ucapnya sambil melirik Renjun, berharap bisa mengubah sikapnya.

Mendengar itu, hati Renjun tergugah. Meski dia berusaha keras untuk tetap bersikap dingin, ada sesuatu yang membuatnya merasa tergerak. "Tunggu," Renjun akhirnya berkata, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Jangan buang itu. Aku... mungkin aku bisa mencoba sedikit."

Jeno terkejut, kemudian tersenyum lebar. "Sungguh? Aku janji, ini enak!" Dia membuka kotak bekalnya dan mengulurkan satu potong makanan.

Renjun ragu sejenak, tetapi akhirnya menerima potongan itu, menggigitnya dengan hati-hati. Saat rasa manis dan gurih menyatu di lidahnya, wajahnya sedikit melunak. "Ini... sebenarnya enak," akunya, meskipun dia berusaha untuk tidak menunjukkan betapa senangnya dia.

"Lihat? Kan aku sudah bilang!" ucap Jeno seraya tersenyum, matanya membentuk bulan sabit.

"Terima kasih," cicit Renjun, kepalanya menunduk. Saat itu, Jeno bisa melihat bahwa dinding yang menghalangi mereka perlahan mulai retak. Momen sederhana itu adalah langkah kecil yang sangat berarti bagi Jeno, dan sepertinya juga bagi Renjun.

 Momen sederhana itu adalah langkah kecil yang sangat berarti bagi Jeno, dan sepertinya juga bagi Renjun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🐾 Paws and Whiskers 🐾

Mohon bantuannya untuk like dan comment. Thank you ✨

Rains in Heaven || NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang