49. Hari yang Melelahkan

5 1 0
                                    

Kirana memasang telinga dengan lebar-lebar, bersiap mendengarkan cerita Dara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kirana memasang telinga dengan lebar-lebar, bersiap mendengarkan cerita Dara. Dia tidak boleh melewatkan kesempatan ini, karena mungkin di masa depan kesempatan yang sama tak akan datang lagi. Siapa tahu, dari cerita Dara, Kirana bisa mendapatkan petunjuk tentang Chandra. Ada satu hal yang sangat membuatnya penasaran-bagaimana Dara memandang Chandra? Bagaimana Chandra di matanya?

Sebelum menjawab pertanyaan Kirana, Dara dengan tenang memberi perintah agar para pengawal dan pelayan mundur, memberi mereka privasi untuk berbincang secara empat mata. Tidak hanya pengawal dan pelayan istana, tetapi juga pengawal dan pelayan yang selalu bersama dengan Kirana. Tanpa banyak bicara, para pengawal dan pelayan itu pun segera menyingkir, memberikan privasi seperti yang diinginkan oleh sang permaisuri.

Barulah setelah itu, Dara berani membuka suaranya. "Dia adalah sahabat yang sudah seperti saudara bagi saya. Chandra sangat berarti untuk saya. Tapi, dia harus mati karena kebodohan saya sendiri. Saya bahkan merasa malu untuk mengunjungi makamnya."

Kata "mati" yang keluar dari mulut Dara bergema di telinga Kirana. Seolah-olah dunia di sekelilingnya berhenti sejenak.

Kaget, ia berusaha mencerna cerita itu. Arka tidak pernah menyebut soal kematian Chandra-ia hanya mengatakan bahwa "Chandra menghilang tanpa jejak." Seketika, perasaan Kirana seperti diombang-ambingkan oleh takdir. Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana dia bisa memastikan apakah Chandra masih hidup atau memang sudah tiada seperti yang dikatakan Dara? Semua ini semakin rumit.

Kirana menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Ia harus tetap tenang, setidaknya di hadapan Dara.

"Saya turut berduka cita, Yang Mulia." Suaranya terdengar lebih tenang dari perasaannya. Kirana menundukkan kepala sejenak, memberi penghormatan. "Semoga Sang Hyang Tunggal menerima beliau di sisi-Nya."

Saat menegakkan tubuhnya kembali, ia menatap Dara dengan sorot mata fokus. Ini bukan saatnya larut dalam emosi. Kirana tahu, dia harus berpikir jernih. Dia harus mencari celah untuk mendapatkan informasi lebih banyak dari sang permaisuri, walau hatinya dihantam ketidakpastian yang menyakitkan.

Namun, Dara yang terlalu sedih karena mengenang kematian seorang sahabat yang begitu ia cintai, malah menundukkan kepalanya dengan air mata yang berjatuhan. Raut penyesalan tergambar jelas di wajah sang permaisuri.

"Nona Kirana, kematiannya adalah kesalahan terbesar dalam hidupku. Aku seharusnya bisa melindunginya, tapi ... aku terlalu lemah, dengan mudahnya dibutakan oleh perasaanku sendiri." Suaranya terdengar lirih dan berat.

"Setiap kehidupan memiliki takdirnya sendiri, Yang Mulia. Kita hanya bisa belajar dan berusaha menjadi lebih baik di masa depan. Jika Yang Mulia berkenan, saya ingin menjenguk makam sahabat yang Anda sebutkan tadi, saya bermaksud ingin mengirimkannya doa. Semoga Sang Hyang Tunggal memberinya kedamaian dan tempat yang baik di sisi-Nya."

Mendengar kata-kata Kirana, wajah Dara berubah. Ia tersenyum kecil, seolah setuju dengan saran itu.

"Nona Kirana benar. Setidaknya, saya bisa mengirim Nona Kirana untuk mendoakan Chandra. Saya akan mengatur waktu yang tepat, dan segera memberitahu Anda setelah semuanya siap."

SELENOPHILE (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang