"WOI! Woi! LEPASIN GAK, BANGKE!!"
"Kami kira kau akan mati suri, Chaaaa!!!" Asheer berseru.
Aduh, aku mulai kesulitan bernapas karena pelukan mereka berempat. Juga pandanganku sedikit tertutup karena kepala-kepala mereka. Argh! Aku enggak mau kelihatan kayak bocil di hadapan teman-temanku, dasar abang-abang tolol!
"LEPASIN GAK!! Kukeluarkan kalian dari KK nanti!!" Aku berteriak.
"Kalau enggak mau?"
"AAUuWw!!" Aku meringis kesakitan ketika kepala salah satu dari mereka, menyundul pipiku.
Mereka semua refleks melepas pelukannya. "Aduh, aduh, mananya yang sakit?"
Aku mendelik. "Pipi memar, Beg*!"
"Aduh, aduh," Asheer duduk di sebelahku, meniup-niup pipi.
Dia kira, meniup pipi yang memar, bisa menyembuhkan memar heh? Aku menoyor kepalanya.
"Ayo, kita pulang." Alfarezi menggendongku.
Bareng kalian? Oh, tentu tidak, Fergusssooo!! Aku memberontak digendongannya. Hendak menggigit tapi terhenti ketika roti disodokkan ke mulutku dengan tidak sopan oleh Shuu.
"Makan." Shuu berkata datar.
Aku mendelik. "Aku maunya bakso!! Mana bakso yang kupesan tadi?"
Shuu menyeringai lebar, terkekeh jahil. "Bakso punya elo sudah gue habisin."
"MASA?!!"
"Iya."
"MASA, MAAAS? MOSOOOOO?!!" Aku tetap tidak percaya.
"Kalau enggak percaya, tanya aaaja sama Pak Ustad!!" Ika dan Lyn berseru.
****
Sendok diarahkan ke mulutku. "Aaaaaa.... tut, tut, kereta mau masuk, buka mulutnya..." Abyaaz menyeringai.
SUMPAH!! Aku enggak suka banget disuapin sama abang-abangku. Mereka alay banget gak sih? Aku cuma luka sedikit, mereka sampai sepanik itu. Mereka melarangku mengambil minum sendiri, makan sendiri. Tapi ada bagusnya, karena mereka juga melarangku mengerjakan PR, dan Alfarezi yang mengerjakan PR-nya. Dan, satu hal lagi, jangan berpikir aneh-aneh, aku tetap mandi sendiri!
Tapi, mau bagaimanapun, aku tetap enggak suka disuapin sama empat kunyuk sialan bin menyebalkan bin gregetan bin galak ini! Apalagi mereka menyuapiku dengan gaya seolah-olah aku adalah anak kecil. Yah, tentu saja aku tidak membiarkan mereka menyuapiku secara gratis. Aku meminta mereka untuk menyuapiku di kasur, di kamarku. Alfarezi yang biasanya tidak mengizinkan aku makan di kasur, akhirnya setuju.
Aku membuka mulutku dengan terpaksa.
"Aku lagi! Aku!!" Asheer mendorong Abyaaz ke samping. "Hei, Cha, kosongkan mulutmu."
"Biarkan aku mengunyah, dasar bodoh!!" Aku menggerutu. Jariku bergerak lincah, saat ini aku sedang main PS alias Play Station. Daripada marah-marah terus sama mereka tanpa melakukan apa-apa, mending main PS aja. Toh, PR juga sudah diselesaikan sama Alfarezi.
Amaar yang menjadi lawan game-ku, terkekeh puas begitu berhasil membuat player milikku kalah.
"Ha!! Aku memang sangat terbaik dalam dunia gaming!! Tidak ada yang bisa mengalahkan sa--"
"Coba lawan denganku." Alfarezi menawarkan diri, meletakkan bukunya. Dan menatap Amaar dengan tatapan datarnya seperti biasa.
Amaar terlonjak. "Enggak deh. Enggak."
"Mulutku sudah kosong, mana makanannya, woi?" Aku berseru, sambil membuka mulutku lebar-lebar. Mataku tetap terarah ke TV.
Asheer menyuapkan dua sendok makanan, lalu tiba-tiba didorong ke samping. "Giliran aku." Suara dingin dan datar itu membuat Asheer bergegas menjauh.
Sialan. Kenapa mereka sampai berebutan sih hanya untuk menyuapiku? Sumpaah, aku benci banget sama abang yang bucin akut sama adiknya.
Alfarezi duduk di sebelahku.
"Sabar ye, ini mulut lagi kunyah." Aku berkata cepat.
"Siapa juga yang mau suapin sekarang? Aku juga tahu mulutmu lagi mengunyah."
Sial. Wajahku sedikit memerah, tapi aku bergegas mendatarkannya lagi. Aku diam saja, terus menggerakkan stik PS. Dalam hati aku terus mengutuk-utuk abang-abangku, tidak mungkin kan aku memaki Alfarezi, bisa-bisa aku mati di tempat karena tatapannya yang sangat menusuk. Atau setidaknya, pingsan-lah.
"Sudah kosong?"
"Sabar." Aku mendelik.
"Itu mulutmu sudah kosong, Icha."
"Iye, sabaaaaaar!"
"Apa susahnya tinggal buka mulut?"
"Bentar ih."
"Hei, yang main kan tanganmu bukan mulut. Tinggal buka aja napa sih?" Alfarezi memandangku dengan tatapan datarnya. Mengarahkan sendok ke mulutku.
Aku melempar tatapan kesal. "Maksa banget jadi orang." Lalu aku membuka mulutku. Detik berikutnya, aku sudah asyik mengunyah.
Nah, sialnya, satu menit kedepannya. Tepat saat aku memenangkan game, Alfarezi bertanya. Pertanyaan yang membuatku tersedak.
"Apa Cecil, Nina, dan Mira yang mengurungmu di toilet, Aisha Athalia Aldebaran?"
Gawat. Dia sudah memanggilku dengan nama lengkapku. Aku harus jawab dengan jujur, atau tidak habislah aku. Aku melirik abang-abangku, yang sesuai dugaanku, mereka semua sedang memandangku penasaran.
Baiklah.
Selamat tinggal ketenangan! (Ketenangan: emang dari dulu gue mau pergi, bego. Elunya aja enggak rela) Aku akan menjawab dengan jujur.
"Ya, terus kenapa? Kalian mau menghajarnya?" Aku menjawab dengan nada sengak. Masih fokus bermain game, meski jantung sudah serasa mau copot ketika Amaar memaksaku menatapnya.
"WOI!! LEHERKU BISA PATAH, BANGS--"
Asheer menutup mulutku. "Jangan bahasa kotor." Apa-apaan? Padahal dia juga sering bahasa kotor.
"Kamu ada berbuat kesalahan dengan mereka?'' tanya Alfarezi.
"Tidak. Mereka kan mengurungku karena kalian." Aku akhirnya memandang mereka kesal. "Karena kalian di dekatku terus, mereka jadi salah paham, dan menerorku. Meski aku enggak takut sih."
"Sebenarnya, kenapa kau benci sekali dengan abang-abangmu, Icha?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Annoying Brothers
Genç KurguEmpat kakak laki-laki tampan, menyebalkan bin gregetan ini selalu membuat adik perempuannya kerepotan karena ke-posesif-an mereka. Sifatnya yang berbeda-beda, sulit ditebak. Pertengkaran selalu menjadi rutinitas wajib mereka. Pokoknya cerita ini bi...