susuk

2 0 0
                                    

“Ratih, kamu dengar berita tentang Minto?” tanya Cipo kepada Ratih yang tengah membersihkan ruang tengah.
“Iya Nyonya, saya melihat langsung tadi pagi, selepas mengantar saya Mas Minto dan temannya langsung kembali pulang tapi, setelah itu saya tidak tahu apa-apa nyonya.” Sahur Ratih.
“Mulai sekarang kamu pulangnya jangan sore-sore, takutnya nanti ada apa-apa,” ucap Cipo.
“Iya nyonya.”

**

sementara di kantor keamanan setempat orang tua dari Minto dan Warso menangisi anak mereka yang telah tewas, di sana juga ada Darso yang sempat diminta untuk mengantarkan orang tua Minto, agak aneh Darso terus berpikir apa yang sebenarnya terjadi, pertama ketika Satrio terluka akibat tembakan dari buah tinta yang dimainkan oleh Chao, besoknya mata anak tuan Han juga terluka lalu, Minto dan Warso yang memarahi Darso karena mengintai Ratih di rumah tuan Han. Mengakibatkan mereka tewas secara mengenaskan, Darso memikirkan hal itu agar masuk di akal karena, bisa saja Ratih lah yang telah melakukan itu semua dan jadi dirinya dia adalah Ratri.

Darso juga memutuskan untuk pulang dia pun menceritakan hal itu kepada mbok Warsih.
“Kalau dia bukan Ndoro Ratri lalu, dia siapa mbok?” Tanya Darso yang terus bingung.
“Bisa saja sih dia Ndoro Ratri tapi, kamu sendiri ya memakamkan beliau,” ucap mbok yang mengingatkan cerita Darso.

Darso pun mengingat kembali kejadian di mana Ratri tengah mengalami kesakitan yang hebat, ketika sedang melahirkan di sebuah rumah sakit daerah. Ratri yang semua tubuhnya penuh dengan keringat menahan sakitnya melahirkan, ditemani Darso yang terus menunggu dan menanti kabar dari majikannya, dibantu seorang dokter perempuan, Ratri diberi aba-aba untuk menarik nafas lebih dalam dan mengeluarkannya secara perlahan, hampir satu hari lebih Ratri berada di ruangan tersebut sampai terdengar suara tangisan bayi di balik pintu ruang bersalin. Darso merasa lega akhirnya Ratri melahirkan anaknya, setelah selesai semuanya Darso diizinkan untuk melihat Ratri, di saat itulah Ratri berpesan kepada Darso untuk memberikan nama Satrio Perkasa untuk anaknya.

“Dar, tolong kamu jaga anak ini dan beri dia nama Satrio Perkasa,” ucap Ratri yang masih dalam keadaan lemas.
“Iya Ndoro,” sahut Darso, tidak lama setelah Darso menggendong anak Ratri tiba-tiba, Ratri pingsan selimut yang dia kenakan penuh dengan darah segar yang mengalir, melihat hal itu Darso langsung berlari memanggil dokter dia bahkan tidak bisa menceritakan kelanjutannya, membuat begitu trauma.

“Ya sudah Le, tidak usah diingat-ingat lagi, ini sudah jadi takdirnya Tuhan,” cap mbok yang mengelus pundak Darso. Selama ini Darso terus menyimpan kenangan itu, kenangan yang membuat dia teringat bagaimana Ratri meregang nyawa.

**

Sore hari pun tiba Ratih bersiap-siap untuk segera pulang sebelum gelap, seperti biasa ia membawa sebuah bingkisan yang memang diberikan oleh Cipo untuknya.
“Saya permisi pulang dulu Ci,” ucap Ratih yang kemudian bersalaman kepada majikannya.

“Hati-hati ya Ratih,” sahut Cipo.
Ratih pun memakai selendang dan berjalan menuju rumahnya, setengah perjalanan dia bertemu dengan Tuan Han yang tengah menaiki kereta kuda.

“Berhenti,” ucap Tuan Han yang menyuruh Kusir kereta kuda itu untuk menghentikan langkah kudanya.

“Ratih...,” panggil tuan Han.
“Iya Tuan,” sahut Ratih.

“Kamu mau pulang, sebaiknya aku antarkan kamu.” ajak Tuan Han yang ingin mengantarkannya.

“Tidak usah tuan, saya bisa jalan sendiri,” ucap Ratih.

“Aku tidak mau terjadi pada Minto akan menimpamu, sebaiknya aku antarkan kamu,” ucap lagi tuan Han. “Ayolah,” bujuknya. Tidak enak karena tuan Han berkali-kali memintanya, akhirnya Ratih pun mengiyakan permintaan majikannya itu.

“Mang, kita antar Ratih dulu,” ucap tuan Han kepada Pak Kusir, dalam perjalanan pun Ratih tidak bicara apa pun, mata tuan Han yang terus menuju pada Ratih, tidak berkedip menatapnya.

“Ratih kamu tahu, dulu aku pernah kenal seorang gadis yang cantiknya juga sama sepertimu tapi, beberapa tahun lalu aku mendengar kabarnya kalau dia telah meninggal.” Tuan Han memulai pembicaraan.

“Apakah Gadis itu Kekasihmu?” Tanya Ratih.

“Bisa dibilang seperti itu. Aku Mencintainya tapi, kamu tahu keadaanku kan. Aku telah menikah dengan Cipo sebelum aku mengenal gadis itu, orang tua kami saling menjodohkan dan aku tidak kuasa untuk menolaknya.” jelas Tuan Han kepada Ratih.

“Apakah Tuan menjelaskan hal itu kepadanya?” Tanya Ratih kembali.
“Aku belum bisa menjelaskan apa pun. Aku bahkan tidak bisa menyaksikan ketika dia meninggal,” ucap Tuan Han tiba-tiba murung.

“Doakan saja Tuan, semoga gadis itu bisa memaafkanmu,” ucap Ratih yang tidak sengaja menggenggam tangan Tuan Han yang ada yang duduk di seberangnya, keduanya saling bertatapan tersadar apa yang Ratih lakukan. Dia pun melepaskan tangannya dari tangan tuan Han namun, dia malah menarik kembali tangan Ratih dan menggenggamnya.

“Sejak bertemu denganmu, aku merasakan kembali cintaku mulai tumbuh kepada gadis itu, wajahnya mirip sekali denganmu, bahkan setiap aku dekat denganmu jantungku selalu berdegup kencang.
Aku tahu tentang perasaanku kepadamu,” ucap tuan Han menggenggam tangan Ratih.

“Maaf Tuan, berhenti Pak,” ucap Ratih kepada Pak Kusir tidak ingin masalah ini melebar ke mana-mana Ratih memilih untuk turun dan berjalan masuk kepada sebuah gang menuju rumahnya. Tuan Han tidak dapat berkata apa-apa dia terus termenung karena Ratih menolaknya.

**

Malam pun berlalu suasana dingin menusuk sampai ke Kalbu, Tuan Han masih tidak dapat tidur, pikirannya belum tenang dia terus kepikiran akan Ratih kecantikannya membuat dia tidak bisa berpikir jernih.
“Laopo kenapa belum tidur?” tanya Cipo kepada suaminya.

“Aku sedang banyak pikiran,” ucap Tuan Han yang Ketus kepada Cipo.
“Ya sudah aku tidur duluan,” ucap Cipo yang kemudian masuk ke dalam kamar meninggalkan Tuan Han yang tengah berdiri di teras rumah.

Di rumah Ratih si embah tengah mempersiapkan sesuatu berbagai macam bunga tujuh rupa, tidak jauh dari tempat itu juga ada sebuah Kendi berukuran besar dan di bawahnya berisi tumpukan kayu bakar yang tengah menyala, Ratih yang keluar dari bilik kamar hanya mengenakan sebuah kain jari berwarna coklat, dia pun berjalan memasuki gentong air yang tengah dipanaskan, tidak lupa si embah memasukkan bunga tujuh rupa yang ia siapkan tadi, sambil menabur si embah menembang sebuah lagu jawa dengan suara yang lirih, si embah terus memberikan siraman air kembang ke tubuh Ratih dan membasahi setiap helai rambut Ratih.

Kidung malam dari embah membuat suasana semakin syahdu, setelah selesai melakukan ritual mandi malam itu Ratih pun turun dari gentong tanpa mengenakan pakaian, kemudian embah mengambil sebuah mangkuk berisi ramuan yang kemudian dibalurkan ke tubuh Ratih, dari atas sampai bawah. Selepas itu Ratih merebahkan badannya di atas sebuah dipan yang terbuat dari bambu, Mbah kemudian memberi sesuatu untuk dimasukkan ke dalam tubuh Ratih berbentuk berlian kecil, dia mengiris kecil bagian perut rapi dan benda seperti keris kecil dimasukkan ke dalam tubuhnya lalu, menutupnya kembali dengan dedaunan yang entah diperoleh dari mana.

“Wis selesai,” ucap Mbah.
“Terima kasih Mbah,” sahut Ratih kepada si embah.

Dia kemudian memakai kain jari yang kering lalu duduk di depan sebuah perapian kecil di mana embah membakar sebuah menyan, di samping tungku perapian kecil itu terdapat sebuah foto bergambar Tuan Han dan di sebelahnya ada foto Cipo dan anak-anaknya. Ratih pun duduk dengan menyilangkan kaki masih berbalut dengan kain jarik tangannya bersendakeb seperti sedang menyembah sesuatu, matanya terpejam sambil membaca sebuah mantra, sementara embah masih terus membakar menyan, wanita tua renta itu membawa tungku yang dibakar untuk dikelilingi kepada tubuh Ratih.

Selepas itu mengambil sebuah ayam betina yang berwarna hitam legam lalu, menyembelihnya di atas tungku perapian, Ratih kemudian disuruh memakan sisa potongan kepala ayam tersebut.
“Makanlah Nduk,” ucap embah yang memberikan potongan kepala ayam dengan beralaskan daun pisang. Ratih membuka matanya secara perlahan dia pun memakan kepala ayam itu, tidak peduli kepala ayam itu masih mentah dan berumuran darah dia pun memakan dengan lahap seperti memakan makanan yang telah matang.

Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang