22. Kesabaran Mencapai Limit

133 50 10
                                    

Makan, Dears!
Hari ini DOUBLE update.
Besok aja triple update-nya.

Enjoy this story~
Happy reading!

***


Bu Wati yang sedang duduk di teras langsung berdiri ketika aku dan Bara berjalan melewati pagar kosan. Lalu tanpa tedeng aling-aling, dia memberondongiku dengan pertanyaan. Bukan tentang aku yang datang dengan wajah sembap bersama Bara, tetapi tentang Arum yang belum juga pulang.

"Almira, kamu suruh kerja apa si Arum? Ini sudah mau jam sepuluh, tapi dia belum pulang juga dari pagi. Kamu tahu kan, Arum itu masih sembilan belas tahun? Kalau ada apa-apa sama dia gimana? Kamu mau tanggung jawab?"

Pertanyaan menyudutkan itu, tak ayal membuat hatiku mencelus. Aku tidak tahu menahu perihal pekerjaan Arum sebagai penonton bayaran. Aku cuma mencarikan pekerjaan. Selebihnya, terserah dia ingin mengambil acara apa saja. Dia juga tidak ada titip pesan apa pun padaku andai mau pulang telat.

"Maaf, Bu." Suaraku tercekat, melontarkan maaf walau aku tahu tidak salah. Demi tidak memperburuk keadaan dan masalahnya melebar ke mana-mana, aku mengimbuhkan, "Nanti saya tanyakan teman saya. Biasanya, dia yang koordinasi pekerjaan Arum."

Selepas itu, aku tak banyak bicara lagi ketika ranselku diperiksa sebelum dipersilakan ke masuk. Tubuhku merosot duduk sesaat setelah pintu kamar kututup. Air mataku yang sempat surut, kini kembali mengucur bersamaan dengan isak tangis yang tak mampu lagi kubendung.

Tanganku mengepal, memukul-mukul dada yang terasa sesak. Semua perasaan yang didominasi rasa marah dan kecewa membuncah. Ingin sekali kuteriakkan keras-keras. Susana hatiku pun bertambah buruk ketika membaca pesan Mbak Kumala yang baru kuterima.

Kumala Wardhani
Dek, Ibu udah bilang soal UKT Ibra, kan?
Bisa lebihin lima ratus ribu ndak kalau kirim?
Mbak butuh buat beli perlengkapan sekolah Retha.

Napasku tercekat, tersisa satu dua. Pandangan mataku mengabur karena desakan air mata. Pertanyaan "Kenapa harus aku?" kian santer berdengung di telinga. Jiwaku meronta-ronta ingin menolak, meminta mereka memahami keadaanku sekarang. Namun, aku sadar bahwa tak ada satupun dari mereka yang bisa kujadikan tempat bersandar. Di saat itulah aku mendengar ribut-ribut dari luar.

"Wis tak omong bukan aku, kok sampean ngeyel? Buktine ada nggak? Jangan asal nuduh lek nggak ada buktine. Fitnah itu namanya! Ingat, jare guruku, fitnah itu lebih kejam daripada tidak memfitnah!" Suara kesal Arunika menyeruak.

"Kalau bukan kamu siapa lagi? Yang merasa terganggu sama kerjaan saya di sini kan cuma kamu. Kalau memang nggak suka dengerin saya telponan malam-malam, tinggal pakai earphone saja apa susahnya, sih? Nggak perlu tempel-tempel beginian di depan pintu kamar saya!"

"Ya Allah, Gusti. Mbok pikir aku pengangguran tah nempel-nempel kayak gitu? Sorry yo, aku no isin-isin club. Lha iki lho, isine kosan nggak mek aku tok. Wis tanya Miko, Saila, karo Dayat ta? Lambene enakmen langsung nuduh-nuduh aku."

"Halah, alasan! Aturan kalau salah itu minta maaf, bukan ngelak terus."

"Ooh, ancen budek! Wis tak omong guduk aku. Kudu tak jelasno pakai cara opo maneh—"

"Kalian ributnya bisa di tempat lain, nggak?" tegurku karena tak tahan dengan pertengkaran keduanya. Kepala sudah penat, bukannya mendapat suasana tenang, Arunika dan Viola malah ribut bak kucing rebutan betina.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang