Pagi, Dears!
Hari ini TRIPLE UPDATE ya.
Jangan sampai ketinggalan!Enjoy this story~
Happy reading!***
"Gue nggak mau tahu, Mi. Lo harus berhasil ngebujuk Dokter Akhtar buat ambil program Doctor Traveller ini. Gimanapun caranya."
Aku meremas perut bagian tengah yang dekat dengan ulu hati. Sejak berangkat tadi, meskipun hilang timbul, perutku memang sudah terasa agak nyeri. Makin lama, rasa sakitnya makin menjadi. Sebisa mungkin aku berusaha menahannya, mengingat minggu ini adalah jadwalku menstruasi.
"Gue nggak bisa janji, Mbak. Tahu sendiri kan, kemarin Dokter Akhtar nolak mentah-mentah tawaran kita buat jadiin dia presenter tetap Lensa Nalar? Program yang syutingnya di studio dengan jadwal jelas aja dia nggak mau. Apalagi ini yang mengharuskan dia pergi ke pelosok negeri," sanggahku sembari menekan perut agak keras karena bisa membuat nyerinya sedikit reda.
Mbak Kinan memicingkan mata. "Lo yakin banget ya, Mi, dia bakal langsung nolak. Sudah kayak cenayang aja lo! Padahal usaha ngebujuk aja belum. Ini lo yang kenal banget sama Dokter Akhtar, atau akal-akalan lo biar program gue ini nggak jalan?"
Dituduh demikian, rasa sakit di perutku menjadi tak seberapa dibanding sakit hati yang baru saja Mbak Kinan torehkan.
Tak ingin dituduh yang tidak-tidak, dengan lantang aku menyangkal, "Gue bahkan nggak pernah punya pemikiran kayak gitu, Mbak."
"Tapi kenapa lo kelihatan kayak nggak senang gitu sama ide gue, Mi? Apa karena Danu lebih percaya gue buat pegang program ini? Atau lo sakit hati karena bukan ide lo yang dia pilih?"
Berpegangan pada ujung meja, aku berdiri tegap dengan sorot mata nyalang. Todongan pertanyaannya sukses memancing riak emosiku yang pagi tadi sudah kembali tenang. Tak akan kubiarkan Mbak Kinan mengoyak harga diri dan mempertanyakan kredibilitasku. Padahal kenyataannya, sekesal dan sekecewa bagaimanapun, selama ini aku mati-matian menahan diri dan tetap bekerja secara profesional. Aku mengupayakan yang terbaik untuk setiap program yang dia pegang.
"Mas Danu memang lebih milih ide lo, Mbak. Nggak ada yang bisa bantah hal itu. Meski sebenarnya gue sangsi kalau ide itu beneran hasil pemikiran lo sendiri, Mbak," cibirku sama ringannya dengan pertanyaan-pertanyaan dia sebelumnya.
"Maksud lo apa ngomong gitu, Mi?"
"Serius lo nggak paham sama apa yang lagi gue bahas, Mbak?" Kepalaku bergerak miring seiring mataku yang menyipit. Mendapati Mbak Kinan masih memasang tampang pura-pura begonya, aku pun geregetan. Tak ayal aku melemparkan pertanyaan yang sejak kemarin sangat ingin kutanyakan padanya. "Lo yakin itu beneran ide lo, Mbak, bukan ide gue yang lo edit ulang tipis-tipis?"
Kali ini raut wajah Mbak Kinan berubah. Walau sekilas, aku bisa menangkap pupil matanya melebar. Namun pada dasarnya, dia bisa dengan cepat menguasai keadaan. Dalam waktu singkat, ekspresi wajahnya kembali seperti semula, terlampau tenang dan datar. Alih-alih membantah, dengan santai dia memundurkan badan, duduk bersandar pada kursi kebesarannya. Dia menatapku dengan sorot mata yang sama.
"Gue nggak tahu kenapa lo tiba-tiba nuduh gue nyuri ide lo. Tapi karena lo udah sebegitu yakinnya sama tuduhan lo, seharusnya lo punya bukti, Mi. Tanpa bukti apa pun, lo nggak mau kan, ada rumor kalau lo udah ngefitnah gue karena iri atas pencapaian gue?"
"Mbak!" bentakku. Saking kerasnya, urat-urat di leherku menegang, mungkin juga terlihat dengan jelas.
Aku tidak bodoh untuk mengerti bahwa dia tengah menantang sekaligus mengancamku. Sungguh, rasa hormatku padanya telah luntur tak bersisa. Di mataku sekarang, Mbak Kinan tak ubahnya seseorang yang culas dan sanggup melakukan apa pun demi mencapai tujuannya.
"Ada apa ini?" Mas Danu menyeruak masuk ke ruangan Mbak Kinan. Dia menatapku dan Mbak Kinan begantian. Kendati hanya aku yang terlihat menahan emosi, gestur Mbak Kinan yang kelewat santai tak mampu menutupi bahwa kami baru saja bersitegang. "Ada yang bisa jelasin ke gue apa yang lagi kalian ributin?"
Mbak Kinan mengangkat bahu sembari berucap, "Coba lo tanya dia deh, Nu! Karena dia tiba-tiba nuduh gue nyuri ide dia soal program baru yang kita meeting kemarin. Gue nggak ada masalah sih, asal dia punya bukti."
"Benar, Mi?" Mas Danu mengarahkan tatapannya padaku, menuntut jawaban. Tahu bahwasanya aku enggan menjawab, dia kembali bertanya, "Ini tuduhan serius lho, Mi. Lo bisa buktiin?"
"Lo ingat kan, Mas, apa yang kita obrolin di pantry sebelum meeting? Menurut lo, gue akan sepercaya diri itu kalau gue emang beneran nggak punya ide apa pun buat dipresentasiin? Gue hafal setiap kata yang gue tulis sendiri, Mas. Dan itu sama persis dengan apa yang Mbak Kinan sampein. Mungkin memang ada beberapa kata yang diubah, tapi semua poin, tata letak, solusi, bahkan pemilihan Dokter Akhtar sebagai pembawa acara pun sama. Kebetulan macam apa yang bisa semirip itu?" jawabku, membeberkan alasan paling masuk akal sebagai pembelaan.
"Nggak ada. Emang nggak akan pernah ada. Ide yang sama di tangan dua orang, pasti beda cara eksekusinya." Mas Danu melirik Mbak Kinan lewat ekor matanya.
Mendengar ucapan Mas Danu, sudut-sudut bibirku terangkat. Sedikit banyak, aku merasa sudah menang karena yakin Mas Danu pasti akan membelaku dibanding Mbak Kinan. Sayangnya, tak lama kemudian jantungku bak jatuh ke perut ketika Mas Danu melanjutkan pendapatnya.
"Tapi bukan berarti alasan lo bisa dijadikan bukti bahwa Kinan bersalah, Mi. Karena kalau dilihat dua sisi, harusnya Kinan juga bisa ngebantah tuduhan lo dengan alasan yang sama." Mas Danu menajamkan tatapannya seolah-olah aku adalah mangsa yang tak boleh lepas. "Bisa aja kan, di sini lo yang ngaku-ngaku ide itu milik lo, bukan Kinan? We all know, lo ada di sana waktu Kinan presentasi. Lo jelas ngelihat dan nyimak betul-betul gimana dia presentasiin idenya. Dan lo sendiri juga bilang waktu itu, lo nggak ada ide sama sekali karena terlalu sibuk pindahan. So? Kenapa baru sekarang?"
Seluruh kemampuan lingualku hilang entah ke mana. Semua alasan yang kujadikan pembelaan, berhasil Mas Danu patahkan.
Aku sadar betul bila kata-kata Mas Danu tak ada yang salah. Bukti yang kusodorkan memang terlampau lemah, nyaris tak membuktikan apa-apa malah. Dengan kata lain, aku kalah. Entah apa yang Mas Danu pikirkan tentangku sekarang. Menunduk, aku tak sanggup membalas tatapannya yang penuh penghakiman.
TBC
Jika berkenan, tolong di-vote dan tinggalin komentar ya, Dears!
Thanks for your support~
Big hug,
Vanilla Hara
29/9/24
KAMU SEDANG MEMBACA
SESUAI BUDGET | ✔ | FIN
ChickLitAlmira Bestari, Produser Assistent i-Net TV, berusaha menabung demi membeli sebuah apartemen agar tak lagi menyewa bersama sahabatnya. Namun, orang tua dan saudaranya di kampung seperti tak pernah kehabisan akal untuk menguras tabungannya. Akhirnya...