DISKUSI dan latihan yang tidak bisa dikatakan singkat telah selesai. Jam menunjukkan pukul tujuh malam dan aku yang lebih dulu memutuskan untuk menyudahi kegiatan hari ini.
"Tante, saya izin pulang dulu, ya?" pamitku pada Bunda Adnan.
Bunda Adnan yang sedang menata berbagai macam makanan di atas meja makan sontak menoleh. Mendapati aku dan Adnan berdiri di belakangnya. "Eh? Nggak mau makan bareng dulu, Nal?"
Aku tersenyum malu. "Nggak usah, Tante," ucapku melirik jam tangan biru ku. "Udah jam tujuh, takut Ibu nyariin."
"Oh iya, iya," kata Bunda. "Dijemput atau gimana?"
"Pulang sendiri aja nggak apa-apa, Tan."
Telunjuk Bunda terangkat tiba-tiba, lalu bergerak pelan ke sana-kemari. "Anak perempuan nggak boleh pulang malam sendirian."
Netra Bunda beralih kepada orang di belakangku, Adnan. "Nan, anter Nala pulang dulu, ya? Bunda nggak mau disamperin orang tua Nala kalau Nala hilang setelah pulang dari sini," canda Bunda.
"Nala nggak mau aku bonceng, Bun. Dia nggak suka kalau motornya brem-brem gitu," ledek Adnan. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam, lalu menghadiahi sedikit injakan kaki pelan sebagai balasan. Terlihat Adnan mengatupkan bibirnya setelah serangan kecil itu.
"Nggak ada alasan ya, Adnan," sahut Bunda.
Adnan terlihat pasrah, lalu meninggalkan aku dan Bunda untuk bergegas kembali ke ruang tamu.
"Nala, kamu panggil tante pakai Bunda aja, ya. Terus kalau ngobrol, nggak usah pakai 'Saya', kedengarannya kaku banget. Bunda nggak gigit, kok," ucap Bunda. Tangan kanannya bergerak menyentuh bahuku.
Aku mengangguk kecil. "Oke, Bunda."
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mulai mendekat. Aku dan Bunda mendapati Adnan yang melempar-lempar kecil kunci motornya di tangan, sementara lengan kanannya menyampirkan jaket bomber yang tadi kukenakan.
"Bunda, aku pamit dulu, ya. Maaf ngerepotin malam-malam begini." Aku mencium punggung tangan wanita itu tepat pada dahiku.
"Nggak, kok. Nggak ngerepotin," jawabnya. "Jangan ngebut-ngebutan ya, Nan. Hati-hati."
Baik Adnan maupun aku mengangguk.
Deru mobil yang semakn mendekat berhasil mengalihkan perhatian kami. Kami pun serentak sama-sama menoleh ke arah pintu sebelum akhirnya Adnan mengajakku untuk segera berangkat. " Ayo cepetan, Nal."
"Kalau gitu aku pamit ya, Bun. Permisi," pamitku pada Bunda yang dibalas senyuman singkat.
Aku dan Adnan melangkah keluar rumah. Adnan menghampiri motor besarnya, sementara aku menunggu tak jauh dari sana. Hingga tanpa sadar seorang pria dewasa yang baru saja keluar dari mobilnya melintas di depanku.
Sepertinya itu orang tua Adnan. Dengan ragu, aku menyapa pria dewasa itu dan menyalami punggung tangannya. "Om," sapaku.
Pria dengan kemeja coklat tua dan celana bahan itu mengangguk samat. Raut wajahnya tak tercetak sedikit pun keramahan, persis sekali dengan Adnan saat pertemuan pertama kami.
"Mau pulang?" tanyanya datar. Aku mengangguk. "Hati-hati."
Pria dewasa ini sempat menoleh kepada Adnan, tak sengaja tatapan mereka bertemu begitu saja. Namun, aku tidak menemukan seulas senyum atau sapaan di antara mereka sampai orang tua Adnan ini memasuki rumahnya.
"Nih, pakai helm gue," ucap Adnan memberhentikan motor besarnya di depanku. Sebuah helm hitam diserahkannya.
Aku meraih helm besar itu. Bisa dipastikan kepalaku akan tenggelam ketiga memakai helm ini. Selain itu, Adnan juga menyerahkan jaket hitamnya untuk menutupi bagian kakiku, katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
On the Day We Call It Love
Romance(PREQUEL NEW YORK IS CALLING YOU) Kehidupan Nala di sekolah menengah berubah drastis ketika sahabatnya diam-diam mencalonkan dirinya sebagai wakil ketua OSIS. Nala harus bekerja sama dengan Adnan, seorang siswa berprestasi dengan segudang impian. Se...