Flashback

2 0 0
                                    

10 tahun lalu.

Di sebuah rumah sakit ketika Ratri sedang menahan sakit yang melahirkan, datanglah seorang nenek-nenek yang sebelumnya dia jumpai di kapal, yang memberikannya sebuah jimat.

“Sabar ya Nduk, sebentar lagi anakmu lahir,” ujar nenek itu.

“Maaf Ibu siapa?” Tanya Ratri yang tengah merasakan sakit.

“Saya akan membantu kamu, sabar ya Nduk,” Kata Si embah sambil mengelus perut Ratri, “ini minum dulu,” ujar Si embah yang memberikan sebotol air berwarna kekuningan, tidak curiga akan air itu Ratri pun meminumnya tidak lama perutnya semakin merasa mulas seperti ingin buang air besar, dia terus berteriak kesakitan sampai para suster dan dokter pun segera berlari ke ruangan itu, dalam rasa sakitnya Ratih mencari wanita tua itu tapi, dalam pandangannya wanita tua itu telah pergi dan menghilang.

Selepas anak Ratri lahir tidak lama Ratri mengalami pendarahan hingga, dia meregang nyawa ketika telah dikubur mayatnya, si nenek tua itu menggalinya dan membawa jasad Ratri di sebuah rumah, di sana dia memandikan tubuh Ratri, lalu meminumkan kembali air berwarna kuning yang sebelumnya dia berikan. Setelah air itu masuk semua ke dalam tubuh Ratri, jasadnya mulai gemetaran lalu seperti tersedak sesuatu Ratri terbangun dalam kondisi tubuh masih basah dan tanpa mengenakan pakaian, dilihatnya hanya ada nenek tua si nenek itu adalah Mbah Sriatun, dia pun menjelaskan kenapa dia melakukan itu kepada Ratri dan mengubah namanya menjadi Rati, memberikannya Keabadian menjadi cantik dan dikagumi banyak orang. Embah membantunya untuk membalas dendam, dengan ketidakadilan yang dia terima ditambah dari beberapa kali bertemu dengan si embah tapi, Darso tidak mengetahui siapa nenek tersebut dan apa hubungannya dengan Ratri kala itu.

Ratri pun  bangkit untuk menata hidupnya kembali, dibantu oleh Mbah Sriatun selama di kota asalnya tuan Han, Ratri selalu diam-diam memperhatikan keluarga kecil itu, sambil mempelajari beberapa ilmu yang diberikan oleh Mbah Sriatun untuknya, sampai pada masa tuan Han dan keluarga pindah, Ratri mengikuti mereka ketika pindah, setelah sekian lama kini dia menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya, masih belum berani menunjukkan dirinya kepada adik dan mbok ataupun Darso. Beberapa kali Ratri diam-diam pergi ke rumah tempat nya dulu namun, rumahnya dalam masa proses pembangunan dan di mandiri sendiri oleh Meneer Wilhelm, dia sempat bertanya kepada para pegawai yang berlalu lalang di perkebunam.

“Permisi Mas, itu bukankah itu rumahnya Rukmini?” Tanya Ratri kepada seorang pegawai yang usianya terbilang masih muda.

“Wah saya nggak ngerti tapi, yang saya dengar Den ayu Rukmini meninggal dalam kebakaran,” jelas pemuda itu.

“Kebakaran! Kapan?” Tanya lagi Ratri yang masih menutup wajahnya dengan selendang.

“Sekitar 4 tahun yang lalu, saya juga baru kerja di sini Mbak,” sahutnya kembali.

“Iya sudah terimakasih,”  ucap Ratri yang kemudian berlalu, dia pun mencari tahu tentang kebakaran yang terjadi di rumahnya yang mengakibatkan sang adik meninggal.

Dia juga kembali bertemu dengan Darso yang membawa Mbok ke pasar, sambil menggandeng seorang anak kecil berumur 4 tahun, matanya berkaca-kaca. Ingin rasanya dia lari kepada Mbok dan memeluk mereka tapi, apa daya Ratri tidak bisa melakukannya sekarang, setiap hari dia mengikuti ke mana Darso dan si mbok pergi selain ke pasar. Darso setiap minggunya selalu berkunjung ke makam Rukmini, sesekali memang Ratri datang untuk menjenguk adiknya memberikan bunga di pusaran sang adik,  Ratri juga mendapatkan informasi bahwa Pakde Yanto lah yang telah melakukan perbuatan keji ini kepada keluarganya, bahkan perkebunan yang sebelumnya menjadi hak milik mereka beralih tangan kepada Belanda, yang semakin membuat dendam Ratri memuncak.

Hari itu Kamis malam Jumat Kliwon Ratri mulai menjalankan sebuah ritual yang dia minta kepada si mbah, ritual itu mewajibkan Ratri harus menangkalkan semua pakaiannya dan berendam pada sebuah kali yang ada di bawah kaki gunung, dekat rumahnya. Setelah beberapa jam mbah mulai menyuruhnya untuk bangun dan mengenakan kain jarik.

“Naiklah Nduk,” ucap Si embah yang menunggu di pinggir kali, Ratri menuruti apa perintah si mbah, kemudian dengan tertunduk di depan mbah, wanita tua itu mengeluarkan sesuatu dari dadanya, sebuah benda bersinar terang untuk dimasukkan si Mbah ke dalam ubun-ubun kepalanya. Mereka mulai melancarkan aksinya, pertama-tama dia ritualkan sebuah batang pohon pisang yang dibentuk menjadi sebuah boneka, di sana terdapat foto pakde Yanto beserta rambut, sambil membaca mantra mbah yang menyalakan tungku kemenyan itu memutar-mutar tubuh boneka di atasnya, malam itu pakde Yanto tidak dapat tidur dengan nyenyak bersama istrinya namun, tiba-tiba dia merasakan dirinya kepanasan hingga ingin membuka jendela kamarnya, lelaki paruh baya itu tidur tanpa mengenakan pakaian dan dan hanya memakai sarung, angin perlahan masuk setelah pakde Yanto membuka jendela kamarnya. Dia pun kembali merebahkan tubuhnya namun, hal yang tidak disangka-sangka karena kesal dan dendam Ratri mematahkan kaki boneka sebelah kiri yang mengakibatkan pakde Yanto berteriak dengan keras.

“Arrkkk...,” teriak keras pakde Yanto membangunkan istrinya.

“Enek opo Pak?” Tanya istrinya yang bernama Wahyuni. “Kaki, kaki...,” suara pakde Yanto yang terbata-bata, mengisyaratkan bahwa kakinya tidak bisa di gerakan. Mendengar pakde Yanto berkata seperti itu, istrinya pun membuka sarung yang menutup kakinya pakde Yanto, setelah dibuka istrinya kaget karena melihat kakinya patah.

“Astaga Pak'e,” teriak istrinya yang terkejut.

Esok paginya lakde mendapatkan pengobatan dari dokter Nicholas, berhari-hari kondisi pakde berangsur membaik namun, hal itu membuat dia tidak bisa berjalan normal seperti biasanya, pakde Yanto berjalan pincang.

Tidak hanya pakde Yanto, Ratri juga mulai mengganggu Meneer Wilhelm dengan menggunakan wujud hantu perempuan. Dia mulai menakuti seisi rumah terkadang di tengah malam, mereka sekeluarga mendengar suara gadis menangis dengan suara yang selalu datar dan tidak berubah, istri Meneer Wilhelm terbangun karena mendengar suara tersebut dia memperhatikan sekitar tapi, tidak ada orang pun di luar ataupun di kamarnya.

Dia mulai membangunkan suaminya, “liefje bangun aku mendengar suara orang menangis,” ucap istri Meneer Wilhelm.

“Elizabeth, aku mohon ini sudah malam,” ucap Meneer Wilhelm kepada istrinya yang enggan beranjak bangun. Kesel karena suaminya juga tidak bangun Elizabeth memutuskan untuk menyalakan lampu kamarnya dan berjalan menuju ke keluar, saat di luar pun Elizabeth tidak menemukan apapun, dia menyalakan semua lampu rumahnya tapi, ketika dia hendak berbalik masuk ke kamar ada seorang wanita memakai kemben, tengah duduk di ranjangnya.

“Hei siapa kamu?” Tanya Elizabeth.

Elizabeth terus berjalan dengan rasa penasaran sedangkan, wanita itu hanya membelakanginya sambil mengelus badan Meneer Wilhelm yang membuat Elizabeth semakin kesal, tidak lama wanita berkemban itu membalikkan badannya dan betapa kagetnya Elizabeth, ketika melihat wajah wanita itu sangat pucat dengan kedua mata yang bolong membuat dia berteriak dan pingsan.

“Arrkkk...,” teriaknya yang kemudian pingsan.

Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang