Chapter 3

489 38 1
                                    

Langit Swiss terlihat cerah dengan udara segar yang berhembus lembut dari pegunungan. Nutcharee dan Pimchanok memutuskan untuk keluar dari rumah, berjalan-jalan di sepanjang jalan setapak desa yang dikelilingi hutan dan ladang hijau. Meski hatinya masih berat setelah pertemuan dengan Pakin dan Vipada, Pimchanok mencoba menikmati suasana tenang yang ditawarkan oleh alam sekitar.

Nutcharee menggenggam tangan Pimchanok erat, seperti berusaha memastikan bahwa Pimchanok tak akan pernah lepas darinya. Sepintas, mereka tampak seperti pasangan biasa yang sedang menikmati hari di desa kecil yang damai. Namun, di bawah permukaan, ada ketegangan yang terselip.

"Kau merasa lebih baik sekarang, sayang?"
Suaranya lembut, namun ada nada kepemilikan yang selalu mengikuti setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Ya, udara segar ini... membantu."
Pimchanok tersenyum tipis, meskipun ada ketidaknyamanan yang tak bisa ia sembunyikan. Matanya memandang ke arah hutan di kejauhan, mencoba fokus pada sesuatu selain perasaan gelisah di dalam dirinya.

Mereka melanjutkan berjalan, menikmati suara burung-burung dan angin yang berhembus di antara pepohonan. Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi itu, sesuatu yang terasa salah tapi sulit diungkapkan. Pimchanok merasakan jantungnya mulai berdebar lebih cepat, meskipun ia tak tahu alasannya.

Tiba-tiba, terdengar suara letusan. Suara tembakan. Dalam hitungan detik, Pimchanok merasakan tubuhnya terhuyung ke belakang. Darah segar mulai merembes di bajunya, tepat di bagian dadanya. Wajahnya pucat, dan sebelum ia bisa memahami apa yang terjadi, kakinya lemas dan tubuhnya ambruk ke tanah.

"PIM!!"
Jeritan Nutcharee pecah di udara. Ia berlari ke sisi Pimchanok, menahan tubuhnya yang mulai tak berdaya. Mata Pimchanok perlahan-lahan menutup, wajahnya pucat seperti mayat.

Nutcharee menoleh ke sekeliling dengan panik, mencoba mencari tahu siapa yang telah menembak Pimchanok. Tapi tak ada siapa pun di sekitar mereka, hanya pepohonan yang bergoyang pelan oleh angin.

"TIDAK!! TIDAK!! Siapa yang melakukan ini?!"
Tangannya menggenggam erat tubuh Pimchanok, suaranya berubah menjadi tangisan penuh kemarahan dan ketakutan.

Pimchanok membuka matanya sedikit, darah menetes di sudut bibirnya.

"Nut... Nut... maaf..."
Suaranya pelan, hampir tak terdengar. Air mata mengalir di pipinya, bercampur dengan darah yang mengalir dari luka di dadanya.

"Tidak, jangan bicara, sayang. Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku."
Nutcharee meremas tangan Pimchanok dengan erat, suaranya penuh keputusasaan.

Namun, Pimchanok hanya tersenyum lemah, seolah mengerti bahwa waktunya telah habis. Di saat-saat terakhirnya, ia merasa bebas. Bebas dari semua rasa sakit, dari semua ketakutan yang mengikatnya selama ini.

Nutcharee memeluk tubuhnya erat, menangis histeris, tapi tak ada yang bisa mengembalikan waktu.

Sementara itu, di kejauhan, sosok misterius yang baru saja menembak Pimchanok menyelinap di balik pepohonan. Identitasnya masih tak diketahui, namun niatnya jelas: menghancurkan Nutcharee dan segala yang ia miliki.

---

Nutcharee berlari panik, mendekap tubuh Pimchanok yang lemah dalam pelukannya. Darah terus mengalir dari dada Pimchanok, membuat tanah di bawahnya berubah merah. Pikiran Nutcharee teraduk-aduk, rasa marah, takut, dan tidak berdaya bercampur menjadi satu. Ia tak bisa membiarkan Pimchanok mati, bukan setelah semua yang mereka lalui bersama.

Dengan cepat, Nutcharee mengangkat tubuh Pimchanok yang mulai tak bergerak dan memasukkannya ke dalam mobil. Ia menginjak pedal gas secepat mungkin, menuju rumah sakit terdekat yang ada di desa. Selama perjalanan, suara tangisan dan rintihan keluar dari bibirnya, seolah doa yang putus asa agar Pimchanok tetap bertahan.

"Bertahanlah, Pim. Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Kau harus tetap hidup bersamaku. Tolong jangan tinggalkan aku."

Sampai di rumah sakit, Nutcharee langsung membawa Pimchanok masuk, teriakannya memanggil para dokter dan perawat. Mereka segera membawa Pimchanok ke ruang gawat darurat, meninggalkan Nutcharee yang kini berdiri tak berdaya di lorong rumah sakit, tangannya gemetar dan darah Pimchanok masih menodai bajunya.

Waktu berjalan lambat, setiap detik terasa seperti siksaan bagi Nutcharee. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: siapa yang berani menyakiti Pimchanok. Siapa yang ingin menghancurkan hidup mereka?

---

Beberapa jam kemudian, seorang dokter keluar dari ruang operasi. Nutcharee langsung menghampiri, wajahnya penuh harapan meski takut akan kabar buruk.

"Pimchanok stabil, tapi dia mengalami pendarahan hebat. Kami berhasil mengeluarkan pelurunya, tapi... dia jatuh koma. Kami belum bisa memastikan kapan dia akan sadar."

Kata-kata itu menghantam Nutcharee seperti badai. Komanya Pimchanok terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Namun, di balik kesedihan yang melanda, kemarahan perlahan membakar hatinya.

“Siapa yang melakukan ini padamu, Pim? Siapa yang berani mencuri hidupmu dariku?”

Tak butuh waktu lama bagi Nutcharee untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa membiarkan ini terjadi tanpa tindakan. Ia butuh jawaban, dan dia akan menemukan pelakunya, apapun caranya.

---

Keesokan harinya, Nutcharee menemui seorang detektif swasta yang dikenal kejam dan tanpa belas kasihan. Detektif ini terkenal mampu menyelesaikan kasus-kasus sulit yang tak bisa dipecahkan oleh polisi. Namanya Detektif Chaiwat, dan dia adalah orang yang Nutcharee butuhkan untuk menemukan siapa yang telah menembak Pimchanok.

Di dalam kantornya yang gelap dan penuh dengan berkas-berkas, Detektif Chaiwat duduk di balik meja kayu tua, mengamati Nutcharee dengan sorot mata tajam.

"Jadi, apa yang bisa saya bantu?"
Suaranya datar, tanpa emosi, seolah sudah terbiasa mendengar permintaan dari orang-orang putus asa.

"Seseorang menembak kekasihku. Aku tidak tahu siapa, tapi aku yakin ini bukan serangan acak. Aku butuh kau untuk mencari tahu siapa pelakunya, dan mengapa dia melakukannya."

Chaiwat mengangguk pelan, lalu menyalakan sebatang rokok sambil memperhatikan wajah Nutcharee.

"Kau sadar, ini tidak akan murah. Dan aku tidak bermain-main dengan kasus seperti ini. Jika kau ingin jawaban, kau harus siap menerima semua konsekuensinya."

"Uang bukan masalah. Aku akan membayarmu berapapun, asal kau menemukan siapa yang berani menyakiti Pimchanok."
Nutcharee bersikeras, wajahnya penuh tekad dan amarah.

"Baik. Kalau begitu, kita mulai sekarang. Berikan aku semua detailnya. Siapa saja yang mungkin punya alasan untuk menyerangmu atau dia."

Nutcharee menghela napas, mengingat-ingat orang-orang yang mungkin terlibat. Wajah Vipada dan Pakin muncul di pikirannya, namun ia ragu. Apakah mungkin salah satu dari mereka bisa melakukan hal sekejam ini? Atau apakah ada orang lain yang diam-diam membenci mereka?

"Aku tidak yakin. Tapi ada beberapa orang yang baru saja muncul kembali dalam hidup kami. Kakaknya, Pakin, dan mantan pacarnya, Vipada. Mereka... mereka tidak suka melihat kami bersama. Mungkin mereka terlibat."

"Menarik. Aku akan mulai dari mereka. Namun, jangan terlalu berharap semuanya semudah itu."
Chaiwat memadamkan rokoknya dan bersiap untuk memulai penyelidikannya.

"Kau akan mendengar kabar dariku segera. Tapi ingat, terkadang jawaban yang kau temukan, tidak selalu seperti yang kau harapkan."

---

Nutcharee keluar dari kantor detektif dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega telah memulai langkah untuk mencari kebenaran. Namun di sisi lain, ada ketakutan mendalam bahwa jawabannya akan lebih mengerikan dari yang ia bayangkan. Dengan Pimchanok yang masih terbaring koma, hidupnya kini seperti menunggu di ujung tebing.

Namun, satu hal yang pasti bagi Nutcharee, dia akan menemukan siapa yang melakukannya. Dan ketika dia menemukannya, tidak akan ada ampun.

---

The Unseen WoundsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang