12. wawancara

5.8K 425 4
                                    

---

Tyler menyenggol siku Asher dengan senyum jahil. "Bro, lu sama Pak Callum ada hubungan apa sih?"

Asher tersentak, hampir menjatuhkan pensil dari tangannya. Dia melirik sekilas ke arah Luke yang sibuk di mejanya, lalu kembali menatap Tyler. "Enggak ada hubungan apa-apa," jawabnya singkat.

"Masa sih?" Tyler terkekeh. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kemarin ada drama Korea? Yang episode nangis di bawah hujan itu, inget nggak?"

Asher memutar bola matanya, mencoba mengabaikan lelucon Tyler. "Apaan sih, serius, gue sama Pak Callum nggak ada apa-apa."

Tyler menaikkan alis, tidak menyerah begitu saja. "Yakin? Soalnya vibe kalian tuh kayak pasangan drama—yang lagi gengsi tapi sebenernya mau."

Asher hendak membalas, tetapi Luke datang dari kantin dengan satu cangkir kopi di tangan. "Ngomongin apa nih? Gosip pagi?" tanyanya, memasuki percakapan dengan ekspresi penasaran.

Tyler langsung pasang wajah meledek sambil melirik Asher. "Biasa, drama kemarin. Si Asher sama Pak Callum."

Luke mengangguk pelan, seolah sudah paham dengan konteksnya. "Ohh... drama yang itu. Eh, Ash," Luke menyeruput kopinya sambil melihat Asher, "gue saranin lu jangan terlalu deket sama Pak Callum."

Asher menoleh, ekspresinya berubah serius. "Kenapa emangnya?"

Luke berpura-pura berpikir keras. "Hmm... gue rasa Pak Callum udah punya pacar, tapi diem-diem. Soalnya, minggu kemarin pas gue ke ruangan dia buat kasih revisian, dia keluar dengan baju berantakan, terus ada bekas gigitan di leher. Serius."

Mata Tyler melebar, kaget. "Seriusan? Parah sih kalau dia sampe ngedeketin Asher juga. Pakboi banget."

Asher menahan napas sejenak, kenangan tentang momen intens di ruangan Callum terlintas di pikirannya. Dia mencoba mengabaikan bayangan itu, tetapi bayangan tersebut terlalu nyata.

Luke melanjutkan, nada suaranya lebih serius. "Hati-hati aja, Ash. Lu jangan sampe kena ghosting sama dia."

"Asher, gue udah bilang, bikin aja status di Facebook, ‘Gini ya rasanya di-ghosting bos sendiri, kayak nano-nano’." Tyler menimpali dengan tawa kecil.

Luke tertawa lepas, sementara Asher menatap mereka dengan pandangan lelah. "Apaan sih kalian? Nggak ada kerjaan lain, apa?"

Tyler mengangkat bahu, masih dengan senyum jahil. "Hei, nggak salah kan ngehibur diri di tengah kerjaan yang bikin kepala ngebul?"

Luke, yang sudah agak mereda tawanya, menepuk bahu Asher. "Santai aja, bro. Kita cuma bercanda. Tapi serius, hati-hati sama Callum."

Asher mendesah, mengangguk tanpa semangat. "Gue bisa jaga diri. Tapi terima kasih udah peduli," jawabnya, meskipun dalam hatinya dia merasa konflik batin yang lebih besar. Apa yang sebenarnya dia rasakan terhadap Callum?

Tak lama, ponsel Luke berdering. Dia mengangkatnya, bicara singkat, lalu menutup telepon sambil berjalan mendekat. "Eh, Ash, jurnalis yang mau wawancara lu udah nunggu di ruangan Pak Callum."

Asher mengerutkan kening, bingung. "Kenapa gue sih yang harus diwawancara? Lu kan ketua divisi, harusnya lu dong, bukan gue!"

Luke mengangkat bahu, tampak tidak peduli. "Gue juga nggak tahu. Mungkin karena nama lu yang sering muncul di artikel belakangan ini."

Asher berdiri, merapikan pakaian dengan sedikit canggung. Perasaannya campur aduk. Dia melangkah menuju ruangan Callum, berusaha menjaga ketenangannya. Setelah mengetuk pintu, ia mendengar suara Callum yang mempersilakan masuk. Saat Asher membuka pintu, senyum profesional sudah terlatih di wajahnya.

Di dalam, seorang jurnalis wanita dengan rambut panjang dan rapi sudah duduk di sofa.

"Asher, kan? Senang sekali bisa bertemu langsung," sapa jurnalis itu sambil berdiri dan mengulurkan tangan. "Saya Aurellia Davenport."

Asher meraih tangannya, tersenyum meski sedikit gugup. "Iya, senang juga bisa ketemu."

Dia mengambil tempat duduk di samping Callum. Rasanya aneh setiap kali dia duduk di dekat Callum di ruangan ini, terutama setelah semua yang terjadi antara mereka. Di sisi lain, Callum duduk dengan sikap tenang, memperlihatkan senyum tipis yang terlihat biasa, namun terasa mengendalikan.

Wawancara berlangsung lancar. Asher menjawab setiap pertanyaan dengan tenang, mencoba merendah ketika Aurellia menyebutkan betapa sering namanya muncul di berbagai artikel. Callum sesekali menyela, memuji Asher di depan jurnalis, seolah menegaskan bahwa Asher adalah bagian penting dari kesuksesan perusahaan. Namun, semakin lama wawancara berlangsung, Asher semakin tidak nyaman  dengan pujian yang dilontarkan Callum.

Ketika wawancara hampir selesai, Aurellia tersenyum dan menutup buku catatannya. "Terima kasih banyak, Asher. Ini sangat membantu. Saya rasa pembaca akan sangat menyukai cerita Anda."

Asher mengangguk, merasa lega wawancara berakhir. Namun, sebelum dia bisa berdiri, Aurellia menatapnya dengan senyum ramah. "Bolehkah saya minta nomor telepon Anda? Mungkin saya perlu menghubungi Anda untuk beberapa pertanyaan tambahan."

Asher terkejut, tidak menyangka permintaan itu. Dia ragu-ragu sejenak. "Oh, ya... saya—"

Sebelum Asher sempat melanjutkan, Callum memotong, suaranya lebih tegas dari sebelumnya. "Sebaiknya, jika ada pertanyaan lebih lanjut, Anda bisa hubungi kantor kami langsung. Kami lebih suka menjaga komunikasi formal."

Aurellia tampak sedikit terkejut, tapi dengan cepat menguasai diri. "Oh, tentu saja. Jika itu yang Anda rasa lebih nyaman."

Asher menoleh, menatap Callum dengan bingung. "Tapi, pak, nggak masalah kalau saya kasih nomor saya, kan? Kalau dia butuh informasi tambahan, saya bisa bantu langsung."

Callum menatap Asher sejenak, nadanya sedikit menegang. "Kita harus menjaga batasan profesional, Asher. Tidak ada yang salah dengan formalitas."

Asher menahan diri untuk tidak mengerutkan kening lebih dalam. Ada sesuatu dalam sikap Callum yang terasa... terlalu protektif. Suasana di ruangan tiba-tiba menjadi kaku, dan Asher bisa merasakan ada sesuatu yang tidak diucapkan.

Setelah Aurellia pergi, ruangan itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Asher merasakan ketegangan yang masih menggantung di udara. "Kenapa kamu begitu defensif, Callum? Dia cuma minta nomor telepon," tanya Asher, mencoba mencari penjelasan.

Callum menatapnya, ekspresi wajahnya berubah serius. "Aku hanya ingin melindungi kamu, Ash. Ada banyak hal yang dipertaruhkan di sini."

Asher mengerutkan kening, tidak yakin apa maksud dari kata-kata itu. "Melindungi dari apa? Dia cuma jurnalis."

Callum menatap Asher dengan pandangan yang lebih dalam, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih besar. "Dari orang-orang yang mungkin punya agenda tersembunyi," jawabnya, suaranya rendah dan serius. "Hati-hati dengan siapa yang kamu izinkan masuk ke dalam hidupmu."

Asher terdiam. Sesuatu dalam nada Callum membuatnya berpikir lebih jauh dari sekadar jurnalis. Ada sesuatu yang lain di balik kata-kata itu—sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Asher bersiap untuk meninggalkan ruangan. "Kalau nggak ada lagi, saya pamit."

Namun, Callum tiba-tiba meraih pergelangan tangan Asher, menahannya untuk tidak pergi. "Tunggu... bisa diam di sini sebentar?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya, hampir memohon.

Asher berhenti sejenak, hidungnya menghirup aroma pheromones Callum, ia merasakan hawa hangat dari genggaman Callum di tangannya. Detik-detik berlalu dalam keheningan, dan Asher tahu, apapun yang terjadi setelah ini, akan mengubah hubungan mereka.

Caught in boss's grip (BL, END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang