Teror

0 0 0
                                    

Setelah kejadian itu pakde Yanto memberi saran kepada Meneer Wilhelm untuk menemui seorang dukun sakti, bernama Kuncoro yang ada di bukit Larangan di desa sebelah karena, sang istri sakit terpaksa Meneer Wilhelm ditemani beberapa antek-anteknya pergi ke bukit larangan, untuk mendatangi seorang dukun sakti kenalan pakde Yanto. Tempat itu cukup jauh hampir 2 jam mereka mengendarai kuda sampai ke tempat itu.
“Hei Bagong! Cepat tanyakan pada warga sekitar apa ada yang mengenal Kuncoro,” Meneer Wilhelm memberikan perintah kepada Bagong, salah satu pengawalnya saat itu.
“Siap Meneer,”  sahut si Bagong, lelaki bertubuh gemuk pun bertanya kepada warga sekitar.
“Hei di mana rumahnya dukun Kuncoro?” Tanya Bagong kepada seorang warga yang membuka kedai warung makan.
“Dari sini lurus belok kanan tuan,” sahut wanita separuh baya itu.
“Bonus ini, ya sudah terimakasih,” ucap Bagong dengan ketus mengambil sebuah pisang tanpa membayar.
Dia pun menghampiri Meneer Wilhelm yang masih berada di atas kuda.
“Habis ini lurus belok ke kiri Meneer,” ujar Bagong.
Sesuai arahan dari Bagong mereka pun berjalan mengikuti arah yang meminta mereka untuk berbelok kiri ketika di ujung jalan, hampir setengah jam mereka hanya melalui semak belukar dan akhirnya berada di sebuah hutan pinus berkabut.
“Bagong benar ini jalannya?” sentak Meneer Wilhelm yang merasa ragu-ragu.
“Kiri apa kanan ya?” Bagong pun bingung dia bertanya kepada diri sendiri, dia tidak dapat mengingat ucapan wanita itu.
“Benar Meneer kita lurus aja,” ujar Bagong dengan pedenya, dia pun berjalan di depan sambil memegang sebuah golok yang ada di sebelah kiri, semakin jauh mereka masuk ke dalam hutan berkabut, semakin mereka merasa aneh, para preman itu yang ditugaskan untuk mengawal Meneer Wilhelm Tahu betul bahwa tempat itu adalah tempat larangan, di mana hutan berkabut tidak boleh dimasuki sembarang orang karena, jika kita masuk ke dalam tidak bisa keluar lagi namun, beruntungnya mereka hari itu. Mereka menemukan seorang pria tua yang memakai tongkat sedang mencari jamur di pinggir hutan.
“Hei Pak tua di mana rumah dukun Kuncoro?” tanya Meneer Wilhelm berteriak kepada pria tua itu.
Lelaki tua itu hanya melihat Meneer Wilhelm yang sebagian wajahnya, tertutup topi caping yang terbuat dari anyaman bambu.
“Rumahnya tidak di sini, harusnya ujung jalan sebelum masuk, kalian belok ke kanan.” Kakek tua renta itu kemudian berjalan untuk menunjukkan arah.
“Dom, preman kupret, sudah ngeyel salah jalan masih diteruskan,” ucap Meneer wilhelm yang marah-marah kepada Bagong, akhirnya sang kakek tua itu menunjukkan arah mereka keluar dari hutan berkabut dan mengantarkan ke rumah dukun Kuncoro.
Sesampainya di depan rumah sang kakek berteriak kepada orang yang ada di dalam rumah tersebut.
“Keluar Kun ada tamu mencarimu,” tidak lama Kuncoro membuka pintu rumahnya, dapat dilihat Meneer Wilhelm pria tinggi kurus dengan berbagai macam kalung yang kenakan dan rambut sedikit gondrong tengah menatap ke arah mereka tapi, Kuncoro begitu kaget ketika tahu yang memanggilnya adalah seorang kakek tua yang dia takuti.
“Mbah...,” ucap Kuncoro yang kemudian bersalaman kepada si pria tua itu.
“Londo kuwi nggolek awakmu,” ucap Si kakek tua itu kemudian berlalu menuju rumahnya.
“Ada apa kemari?” tanya Kuncoro.
Meneer Wilhelmbun turun dari kudanya dia melihat sekitar rumahnya yang sepi dan dikelilingi Hutan jati yang rimbun.
“Saya mau kamu tolong saya,”  ucap Meneer Wilhelm.
“Tolong apa Meneer?” Tanya Kuncoro lagi.
“Usir setan yang ada di rumah saya,” Meneer Wilhelm yang berdiri tegak di depan Kuncoro.
“Soal itu gampang jika bayarnya sesuai.” Kemudian Meneer Wilhelm memberi aba-aba kepada anak buahnya si Bagong, untuk mengeluarkan beberapa kantong koin emas satu kantong koin emas penuh untuk Kuncoro.
“Ayo kita segera ke rumahmu,” ucap Kuncoro yang sumringah menerima sekantong emas, kemudian lelaki itu menutup pintu rumahnya. Mereka pun berjalan menuju rumah Meneer Wilhelm, dari kejauhan si kakek yang tadinya membantu Meneer  Wilhelm hanya memandang mereka berlalu dari kejauhan.
Di rumah Elizabeth tengah demam karena dia begitu syok  dengan, apa yang dilihatnya tadi malam, tubuhnya menggigil seperti meriang, sudah beberapa kali pembantu rumahnya mengompres badan dan bahkan mengerok tubuh majikannya itu sedangkan, pakde Yanto hanya mondar-mandir di depan teras rumah Meneer Wilhelm, dia menerima menunggu kabar baik dari Meneer karena pakde Yanto tidak bisa berjalan jauh untuk memanggil Kuncoro datang. Hampir sore saat itu mereka menunggu, akhirnya rombongan Meneer Wilhelm dan Kuncoro tiba, Kuncoro kaget ketika hendak memasuki rumah tersebut tepat di halaman depan, sampai ke halaman belakang rumah itu telah ditutup oleh seseorang dengan pagar gaib, sementara Meneer Wilhelm dan anak buahnya masuk ke halaman rumah dengan aman dan santai, sedangkan Kuncoro tengah membaca mantra, bibirnya komat kamit untuk membuka gerbang itu, agar dia bisa masuk ke dalam rumah.
Ratri menunggunya dari kejauhan, dia sengaja melakukan hal itu, dia membukakan pintu gerbang masuk untuk untuk dukun itu.
“Bagaimana Meneer?”tanya pakde Yanto.
“Benar dia orangnya!” Meneer Wilhelm menunjuk kepada Kuncoro. Pakde pun melirik ke arah belakang punggung Meneer Wilhelm dan dilihatnya seorang laki-laki kurus dengan rambut gondrong, tengah membaca sebuah mantra .
“Oh iya bener, bener Meneer,” ucap pakde Yanto dia pun berjalan menghampiri Kuncoro yang masih berada di pintu halaman, menyuruh Meneer Wilhelm.
“Kun, ayo!” Panggil pakde Yanto kepada Kuncoro, “kok malah diam,” timpal lagi pakde Yanto.
“Aku tidak bisa masuk rumahnya, di pagar!” jelas Kuncoro.
“Kenapa dia belum juga masuk,” pikir pakde Yanto.
“Saat ini memang ada yang ganggu, dia memang ada...,” belum juga selesai Pakde mau berbicara tiba-tiba Ratri menusuk jarum pada bibir boneka yang terbuat dari pelepah pisang itu, yang membuat pada pakde mengalami stroke di bagian wajahnya, serupa pakde Yanti yang tidak dapat membicarakan apa yang dia ketahui, merasa was-was Kuncoro pun melihat sekeliling sudah pasti orang yang melakukan hal ini ilmunya sangat tinggi bahkan. Dia tidak takut akan kehadirannya, lelaki kurus itu hanya bisa menelan ludahnya sambil memperhatikan pakde Yanto yang wajah kanannya seperti ditekuk.
“Ada apa?” tanya sama Meneer Wilhelm yang mendengar pakde Yanto bergumam, lelaki itu tidak dapat berbicara kini dia pun berjalan harus pincang.
“Sepertinya orang ini sangat marah kepada kalian,” ucap Kuncoro yang merasa dirinya tidak sebanding dengan saya ingin orang yang melakukan, akhirnya Kuncoro menyiapkan untuk membalasnya.
“Lakukan sesuatu Ki,” ucap Meneer Wilhelm.
“Saya akan mencobanya,” sahut Kuncoro.
Kuncoro kemudian dibantu dengan Bagong dan lainnya mereka mempersiapkan sebuah altar pemujaan, untuk ritual dukun Kuncoro, agar berjalan lancar dia juga memberikan segelas air untuk diminumkan kepada Elizabeth, selesai meminum Elizabeth segera sembuh dari sakitnya, dari berbagai macam sesajen ayam cemani hitam lah yang paling susah ditemukan .Bagong telah mengelilingi desa namun, ayam itu belum juga ketemu.
“Kita tidak bisa melakukannya, kalau tidak ada ayam itu,” ucapkan Kuncoro.

Dendam nyi RatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang