Bab 18

22 17 1
                                    

Hening.

Aku terkekeh. "Aku membenci kalian? Kau bertanya alasannya?" Aku memandang mereka tajam. "Aku membenci kalian karena kalian...." aku melirik TV, sial, aku kalah di game ini.

"Karena kalian yang membuat Mama dan Papa bercerai." Aku berkata dingin. "Kalian selalu membuat masalah di sekolah, membuat keuangan Mama dan Papa terkuras habis karena masalah yang kalian perbuat. Papa juga terlalu sering mengambil cuti karena kalian selalu membuat masalah. Papa dipecat. Kalian selalu berkelahi di sekolah, bertengkar dengan preman, bahkan sampai terluka parah. Uang dikeluarkan lagi karena kalian. Hingga Papa dan Mama bertengkar karena keuangan juga. Semua itu karena kalian. Karena kalian juga Aleena meninggal. Itu semua sudah sempurna untuk dijadikan alasan membenci kalian." Aku mengangkat wajah, tersenyum datar. "Masih bagus aku tidak pergi dari rumah."

Mereka berempat mematung.

"Itu... itu bukan salah ka--"

"Kalian mengajak ribut geng motor. Pulang-pulang kalian terluka parah, Papa dan Mama terpaksa membawa kalian ke dokter lagi, karena luka kalian yang terlalu parah. Lalu, kalian sembuh, kalian cari ribut lagi."

"Icha..."

"Aleena tertabrak mobil karena kalian."

"Bukan karena kami--"

"ALEENA TERTABRAK MOBIL PREMAN YANG KALIAN AJAK RIBUT ITU, BEGO!!" Aku berteriak marah. "Mereka marah karena kalian! Karena keributan yang kalian perbuat, semua itu berimbas ke Aleena!!" Aku melempar stik sembarangan. "Karena kalian, aku kehilangan saudara perempuanku satu-satunya, kakak perempuanku..."

"Icha..."

"Sudahlah!" Aku mendorong mereka berempat, melompat turun dari kasur. "Aku tidur di rumah Lyn saja malam ini. Males banget berurusan sama kalian." 

"Hei, tapi makanannya..."

BRAK!! Pintu ditutup.

****

"Jadi, kalian bertengkar, karena itu kamu memutuskan menginap di rumahku?" Lyn berkata dengan suara besarnya, yang memang enggak bisa dikondisikan lagi. Lyn menyodorkan handuk.

Yeah, aku akhirnya sungguhan datang ke rumah Lyn. Dan di tengah perjalanan tadi, aku kehujanan. Yah, itu lebih baik daripada menghadapi abang-abangku. 

Aku mengusap rambutku dengan handuk. 

"Nih, air hangatnya, Cha." Lyn meletakkan gelas di hadapanku.

"Trims," ujarku singkat. Lalu langsung meneguk isi gelas itu. Dan airnya kembali berjatuhan ke celanaku. "Sianjir, Lyn ya!! Ini bukan hangat, bambang! PANAS BANGEEET!!"

"Oh, panas ya?" Lyn hanya cengar-cengir, memasang wajah tidak berdosa. "Harusnya diperiksa dulu dong, panas atau enggak."

"Heh, yang salah itu kamu, kok aku pula yang disalahkan? Ciri-ciri munafik itu!!"

"Masa sih? Aku kan baik hati. Suaraku lembut banget. Mana ada munafik baik hati!"

"Halah, kentut! Suara segede itu kamu bilang lembut?" Aku menoyor kepalanya.

Lyn mendelik. "Kukeluarkan kau dari rumahku ya, jangan menginap lagi di rumahku."

Aku langsung tidak bisa menjawab kalimatnya. Ya sudahlah, aku perlahan berdiri. Melangkah menuju dapur. "Ibumu di dapur, kan?"

"Yeah, Ibu baru mau buat makan malam. Mau ikut makan?" Lyn menawarkan. 

KREEET! Pintu rumah terbuka. Membuatku melompat kaget, dan semakin kaget melihat Noah yang berdiri di ambang pintu. Noah mengernyit heran, menudingku. Jelas-jelas dia mau bertanya, kenapa Icha ada di sini?! Aku menyentakkan tangan Noah yang terarah ke hidungku. Mendelik galak. 

Lyn dengan sukarela menjelaskan, "Icha menginap di sini. Dia lagi bertengkar sama suam--"

"Abang gue itu, bangke."

"Iya, iya, Icha lagi bertengkar sama abang-abangnya."

Sebenarnya, aku tidak berniat mengucapkan alasan aku membenci abangku. Aku masih terlalu ketakutan dengan insiden yang membuat saudara kembarku, Aleena, tewas. Gara-gara aku berbicara seperti itu, aku jadi terus kepikiran. Kilas balik kejadian di jalan raya yang sepi itu. Hanya ada aku dan Aleena. Aleena yang bersimbah darah... mobil truk yang nyaris menabrakku juga...

Sial. Aku teringat itu lagi. Gara-gara abang-abangku aku jadi teringat itu lagi! Cih, nanti kalau aku balik lagi ke rumahku, akan kusepak bokong-bokong mereka. Biar tahu rasa!! Dasar cacing kremi! Aku berbalik, melangkah ke dapur.

"Adek-adekmu mana, Lyn?" Noah bertanya.

"Main game di kamarku. 

"Permisi, Tante..." ucapku begitu memasuki dapur. Dan melihat kedua orangtua Lyn sedang memasak makan malam. "Eh, Oom juga ada." Aku kira ayah Lyn masih kerja.

Bapak-bapak paruh baya itu menoleh, tersenyum ramah. 

"Icha mau makan apa? Nanti Tante buatkan." Mama Lyn (kita sebut saja begitu) tersenyum, "Waaah, sudah jarang kamu main ke rumah,  terakhir kali main ke rumah masih SMP. Sudah tinggi saja sekarang," seperti biasa, emak-emak pada umumnya, kalau soal pertumbuhan anak, sangat hebat. Cerocos. Pertanyaan yang sebelumnya jadi dilupakan.

Dan aku hanya bisa mesem-mesem mendengar cerocosannya yang terus berlanjut. Sesopan apapun aku, aku selalu tidak pandai untuk tidak menatap dingin. Ini sudah menjadi sifatku, aku selalu memandang semua orang dengan dingin, dan selalu mengawasi keadaan sekitar, mungkin tidak sopan, tapi aku kesulitan untuk menghilangkan kebiasaan itu. Jangan salahkan aku ya, memang dari lahir aku sudah seseram itu.

Tiba-tiba terdengar langkah bergemuruh.

"Waaaah, Kak Icha main ke rumah rupanya!! Kakak mau ngapain?" Kiran adik pertama Lyn, masih berusia sebelas tahun. Matanya berbinar-binar menatapku.

Ufh, aku jadi ngeri membayangkan lima adik Lyn akan mengerumuniku. 

"Kaaak Icha kenapa bawa ransel? Kak Icha diusir dari rumah ya?" Ivan (cowok), adik kedua Lyn, tepatnya anak ketiga di keluarga Lyn. Menarik-narik ujung baju kaosku. Matanya membulat.

Dek, saya tersindir.

"Kak Icha kabur dari rumah ya?" Kali ini Ira, adik ketiga.

JLEEEBBB!!! Aku tersedak ludah sendiri. Benar sekali, Dek. Tapi, jangan keras-keras, sakit hati ini, Dek.

Aku mengelus puncak kepala adik keempat dan si bungsu, Fatimah (cewek) dan Al (Cowok). Lalu tersenyum tipis, "Kakak lagi males bertengkar sama abang-abang kakak, Adek-adekku Tercayang."

"Jangan jujur banget napa, Cha." Noah menyengir, lalu membungkuk sopan ke arah Mama Lyn dan Papa Lyn. 

Aku mendengus, lalu merubah raut wajahku begitu berbalik dan memandang Mama Lyn dan Papa Lyn. Aku tersenyum, dan Lyn tiba-tiba menarik tanganku dan mengajakku berlari menaiki tangga.

"WOI! Hati-hati napa, Curut!"

"Aku mau cerita sesuatu." Lyn memasang wajah misterius.

*****

Halo, ini Ella (◍•ᴗ•◍)! Author cuma bisa up sekali, sorry ye. Up-nya juga tidak menentu, kadang siang atau malam. Tergantung mood, tapi yang penting aku up tiap hari ya :). Jangan lupa ditekan bintangnya!  Bye bye!

∧,,,∧
( ̳• · • ̳)
/ づ♡ 愛してます (aishiteru)!



My Annoying BrothersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang