BAB 12 : Mimpi

10 1 0
                                    

Di hamparan luas yang dipenuhi oleh tanaman hijau dan bunga-bunga yang bermekaran, di bawah langit biru dengan sinar matahari yang lembut, seorang gadis kecil berdiri mematung. Angin bertiup perlahan, menggerakkan helai-helai rambutnya yang perak seiring hembusan angin yang membawa wangi manis dari bunga di sekelilingnya.

Lyivenna berdiri di kejauhan, matanya terarah pada sebuah pemandangan yang tampak indah namun jauh di dalam hati, terasa menyesakkan. Di depan sana, dia melihat dua sosok yang sangat familiar —Ayahanda dan Ibundanya —bersama dengan seorang gadis kecil lain, adiknya, Yevellyn. Mereka menari-nari riang di atas rerumputan, tawa mereka terdengar lembut, mencairkan suasana yang tenang.

Mereka tampak bahagia. Begitu hangat, begitu ceria.

Lyivenna memandang semuanya dengan mata yang sayu, ada kebahagiaan kecil yang terpantul di sana, namun tidak untuk dirinya. Kebahagiaan itu tampak begitu nyata, begitu dekat, tapi seolah jauh dari jangkauannya. Ia menyadari, dia hanyalah seorang pengamat, bukan bagian dari kebahagiaan itu.

Yevellyn tertawa, melompat ke pelukan Ibundanya yang dengan lembut menuntunnya menari di antara bunga-bunga liar. Ayahnya tersenyum lebar, menyaksikan pemandangan itu dengan penuh cinta. Semua tampak sempurna, sebuah keluarga yang bahagia —tanpa dirinya.

Hatinya terasa perih melihat kebahagiaan yang tulus itu. Kebahagiaan yang selama ini dia dambakan namun tidak pernah benar-benar ia rasakan. Lyivenna menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia tahu mereka adalah keluarganya, namun di saat yang sama, dia merasa seperti orang asing di antara mereka.

Kebahagiaan itu nyata. Namun, bukan untuknya.

Dalam keheningan, Lyivenna berbalik, perlahan meninggalkan pemandangan yang menyakitkan hatinya. Langkahnya kecil dan pelan, membawa dirinya menjauh dari apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ia tidak ingin menangis, tetapi hatinya sudah terlalu penuh dengan kesepian yang seolah tak pernah hilang.

"Apa aku pernah menjadi bagian dari kebahagiaan itu?" Bisiknya pada diri sendiri, meski tahu tidak ada yang bisa menjawab.

Di bawah langit biru dan di tengah bunga-bunga yang indah, Lyivenna berjalan sendirian, berusaha menemukan tempat di mana dia bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya —kebahagiaan yang tak perlu dipandang dari kejauhan.

...

Di dimensi lain, di bawah langit yang tampak seperti cermin berkilau, Lyivenna berdiri sendirian. Pemandangan di sekelilingnya begitu asing, namun terasa begitu dekat dengan hatinya. Kabut tipis melayang, memisahkan dirinya dari apa yang tampak seperti gambaran nyata yang pernah ia alami —kenangan yang terpatri dalam ingatannya.

Di kejauhan, dia melihat dirinya yang lebih muda, berusia tak lebih dari enam tahun. Di tengah hamparan salju yang memutih, tubuh kecilnya terlihat rapuh namun penuh tekad. Dalam bayang-bayang kabut, dia berlutut di depan seorang pria, sang Ayah —Grand Duke Labestia, yang berdiri dengan tatapan tegas.

Lyivenna yang kini menatap dari kejauhan, merasakan kembali luka lama yang terkubur dalam hatinya. Saat itu, dia baru saja menyelamatkan adiknya, Yevellyn, dari bahaya yang hampir merenggut nyawanya. Dengan kekuatan yang belum sepenuhnya dikuasainya, dia berdiri melindungi adiknya, tak peduli akan keselamatannya sendiri.

Dia ingat betapa kuatnya dorongan dalam dirinya saat itu, bahwa adiknya harus selamat, meskipun itu berarti dia harus terluka. Dan meski tubuhnya lelah, dingin menggigit, dia tetap berjuang —semua demi pengakuan, demi sesuatu yang dia inginkan lebih dari segalanya; pengakuan dari ayahnya.

Butterflies of Labestia: The Heir's Final LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang