25. Belajar sabar

178 34 58
                                    

Ice mencoba fokus pada pelajarannya, suara bising dari ruang tamu terus mengganggunya. Blaze terus berteriak-teriak sambil bermain game. Ice menutup telinganya dengan tangan, berusaha untuk tidak terganggu.

"Ice, lo udah selesai belum?" Blaze berteriak dari luar ruang belajar milik pemuda bernetra aquamarine itu.

"Udah," bohongnya, dia takut kalau tak menjawab sudah nanti Blaze akan menyeretnya dengan paksa.

"Temenin gue main!" teriaknya lagi.

"Iya, bentar Blaze," balas Ice, netra aquamarine nya melihat bukunya yang sudah penuh tulisan.

"Cepetan!" Blaze menendang pintu dan itu membuat Ice semakin panik.

"Iya, sabar Blaze!"

Ice segera keluar dari ruang belajarnya.

"Main game sama gue!" perintah Blaze sambil menyodorkan ponselnya pada Ice.

Ice hanya diam, menatap ponsel yang disodorkan padanya. Ia tidak ingin bermain game, ia ingin belajar. Tapi, ia takut jika menolak, Blaze akan marah-marah lagi.

"Kenapa lo diem aja sih?" tanya Blaze tidak sabar.

"Aku capek, Blaze," jawab Ice pelan.

"Capek? Capek apaan sih? Lo kan cuma belajar!" bentak Blaze.

Ice terdiam, ia tidak ingin membalas bentakan Blaze. Ia hanya bisa menunduk, berusaha menahan air matanya.

"Lo kenapa jadi cengeng gini? Cowok gak boleh cengeng," lanjut Blaze.

Air mata Ice akhirnya jatuh. Ia tidak kuat lagi menahan emosinya.

Melihat Ice menangis, Blaze malah tertawa. "Hahaha, lo nangis? Lucu banget sih lo!" ejeknya.

"Ayo temenin gue main!" Blaze menarik paksa Ice menuju sofa.

"Iya."

Pemuda bernetra aquamarine itu terpaksa menuruti Blaze karena dirinya terlalu lelah.

"Luka habis dipukulin ibu lo masih belum sembuh?" Blaze tiba-tiba bertanya, matanya fokus pada game yang dimainkan Ice dengan asal-asalan.

Ice hanya berdehem pelan, berharap game yang dipilihkan Blaze segera tamat saja agar Ice punya alasan menghindar dari Blaze sementara waktu.

"Temenin gue sampai gue bosen," kata Blaze, dia mulai membuka game lainnya dan menyuruh Ice memainkannya.

"Blaze, ini udah tiga game. Mau berapa game lagi yang kamu suruh aku mainin, aku capek," kata Ice, dia menghela napas panjang, tangannya meletakkan ponsel milik Blaze ke atas meja.

Blaze mendengkus kesal, padahal dia hanya ingin ditemani. Kenapa sesusah itu Ice menuruti keinginannya?

"Lo kalau bikin gue marah lagi, bisa aja gue mukul lo lebih parah dari ibu lo itu."

Ucapan Blaze seketika membuat tangan Ice gemetar. Dia melirik Blaze dengan takut, kenapa tiba-tiba? Padahal Ice merasa tenang karena Blaze tidak memukulnya lagi seperti biasanya akhir-akhir ini.

Ice yang ketakutan memilih untuk diam. Dia berusaha untuk tidak menatap mata Blaze dan hanya fokus pada layar ponsel. Namun, setiap kali Blaze mengeluarkan kata-kata kasar, jantungnya berdegup kencang.

"Lo denger gak sih gue ngomong?" bentak Blaze, tangannya menempel pada bahu Ice.

Ice tersentak, tubuhnya menegang. "Iya, aku dengar," jawabnya lirih.

"Kalau gitu kenapa lo diem aja?" tanya Blaze lagi, suaranya semakin meninggi.

Ice tidak menjawab. Dia hanya bisa menunduk, melihat notifikasi dari Gempa pada ponsel Blaze membuat Ice langsung menunjukkannya ke si pemilik ponsel.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang