26. Cuma ingin berteman

196 41 13
                                    

Sementara itu, di rumah Ice, Blaze menguap beberapa kali, dia mengantuk. Beberapa saat kemudian, Blaze ketiduran dalam posisi duduk.

Ice menatap tangannya yang masih sedikit terasa nyeri. Bekas memar yang dulu berwarna biru keunguan kini mulai memudar, meninggalkan bekas samar di kulitnya. Tangan itu tadi ditarik cukup kasar oleh Blaze, membuat rasa sakit yang sempat mereda kembali muncul.

Ice meletakkan ponsel Blaze ke atas meja dia mengalihkan pandangannya ke teman sebangkunya itu. Perlahan tangannya menuju kearah Blaze.

"Tidurnya kayak gini, nanti sakit," gumam Ice.

Ice perlahan membaringkan Blaze ke sofa. Selimut tipis yang ada di kamarnya ia ambil dan dia pakaikan pada tubuh Blaze yang terlihat kedinginan.

Pandangan Ice terpaku pada wajah Blaze yang biasanya galak padanya terlihat damai saat tidur. Entah mengapa, rasa marah yang biasanya ia rasakan saat bersama Blaze kini terasa memudar, yang ada hanyalah rasa iba dan kasihan.

"Kenapa aku jadi iba sama kamu?" gumam Ice pelan, dia ingat kalau ayahnya teman sebangkunya itu tempramental pada almarhummah ibunya Blaze.

Bahkan Blaze dan abangnya, si Halilintar itu sering kena pukul di rumah. Halilintar tak pernah meniru sang ayah, tetapi Blaze tanpa sadar selalu meniru ayahnya.

Teringat ketika teman sekolahnya Blaze mendapat kabar kalau ibunya Blaze meninggal ditusuk sang ayah, sedangkan Halilintar tak sadarkan diri dengan luka pada tangan juga pelipisnya, membuat Ice merasa kasihan pada Blaze.

Di sisi lainnya, Gempa berusaha keras untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Terpaksa dia harus menghadapi sikap Taufan. Taufan seringkali mengganggu Gempa saat orangtuanya tidak ada di rumah.

"Lo kira ini kamar lo sendiri, ya?" tanya Taufan sambil mendorong bahu Gempa saat sedang memilih baju.

Gempa hanya diam, berusaha menahan emosinya. Dia tidak ingin pertengkaran kecil ini semakin membesar.

"Gue nggak suka liat lo ada di sini," lanjut Taufan dengan nada meremehkan.

Gempa menghela napas panjang. "Maaf kalau kehadiran aku bikin kamu nggak nyaman."

Taufan terkekeh sinis. "Nggak nyaman? Lo kira gue peduli? Gue cuma nggak suka aja ada orang yang ngambil semua perhatian orangtua gue."

Taufan terdiam setelah mengatakan itu. Dia mengusap wajahnya lalu menghela napas, dia berlebihan lagi.

"Maaf, gue masih belum terbiasa," katanya sebelum keluar kamar.

Gempa hanya menatap kepergian kakak kembarnya dengan tatapan sendu. Taufan keluar dari kamar dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bersalah karena telah bersikap buruk pada Gempa. Di sisi lain, ia merasa kesal karena kehadiran Gempa membuatnya merasa terancam.

"Lo ngapain bawa tas gede banget?" Taufan bertanya ketika melihat Halilintar menenteng tasnya.

"Gue udah nemu kos baru, gue mau pamit pergi. Makasih dah nampung gue meskipun gue cuma lo jadiin pembantu alias babu sih," kata Halilintar.

"Oh, oke. Makasih dah ngajarin gue ibadah kemarin lusa," kata Taufan.

Halilintar melanjutkan ucapannya, "Gue harap lo cepetan tobat deh, capek gue nasehatin Blaze. Adek gue tuh belajar bully orang dari lo soalnya, gue juga gak bisa ngelarang adek gue buat temenan sama lo."

Taufan menggaruk kepalanya, dia meringis malu lalu minta maaf pada Halilintar yang jadi kesusahan mengatur Blaze.

"Gue minta tolong boleh gak?" Halilintar bertanya.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang