5 Agustus, genap sudah umurku 25 tahun. Semenjak di bangku kuliah, aku bertemu dengan teman-teman yang kehadirannya mengobati beberapa luka dihatiku. Kenangan-kenangan semasa aku menjadi mahasiswa masih terbentang dengan jelas di pikiranku. Kini, kami sudah bukan mahasiswa lagi. Setahun yang silam, aku telah lulus, lulus dengan pujian, ipk yang nyaris sempurna, 3,95. Dan sekarang meja kerja selalu menemani pagi dan malamku.
Aku kembali ke Sekolah. Kami seangkatan akan mengadakan reuni-an. Sekolah kami tengah berulang tahun, dan kami tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali bertemu dan bercengkrama.
Setelanku sudah bukan lagi layaknya anak remaja. Blezer bernuansa coklat dan celana kulot warna nude menghiasi. Rambut yang tergerai berwarna kecoklatan seakan pas dengan pakaianku. Tak lupa tas yang selalu kutenteng.
Aku menatap ke sekeliling. Sekolah itu tidak banyak berubah, hanya saja terlihat lebih indah dibanding dulu. Taman di depan tiap kelas tampak begitu asri, bunga melati menghiasi disepanjang koridor.
Aku tersenyum. Aku berharap dia juga datang. Bunga ini mengingatkanku kepadanya. Saat ku petik, seseorang tiba-tiba menabrakku begitu saja. Aku terhuyung, namun ia dengan sigap memegang tanganku.
"Maaf mbak, ga sengaja, " ucapnya dengan canggung.
Aku hanya tersenyum tipis padanya, lelaki itu mengenakan seragam sekolah, sejenak aku berpikir bahwa dia adalah orang yang bersemayam di kepalaku karena suara itu begitu mirip dengannya.
"Dena! Akhirnya kita bertemu lagi!! "
Dia Juju. Perempuan riang yang selalu menghiasi semasa sekolahku. Ia tampak berubah, menjadi lebih cantik dibanding waktu bersekolah. Tubuhnya semakin tinggi.
"Lo kerja dimana sampe balik kampung aja sekali setahun! Kayak kerja di luar negri aja, cih! "
Aku tertawa, "kenapa? Mak gue ga sewot tuh. "
Dia mencibir, aku semakin tertawa.
"Gilang ... kabarnya gimana?"
Aku begitu penasaran dengan kabarnya. Aku berharap ada kabar baik yang bisa ku dapat. Sayangnya, wajah Juju tampak tidak bersahabat. Aku semakin penasaran saat mata Juju berusaha mencari keberadaan seseorang.
"Lo jangan marah, sebenarnya ... Gilang~" ucapnya menggantung.
Aku cepat-cepat mengisi celah, "gue ga bakalan marah kok, Gilang kenapa?"
"Udah tunangan sama Sella. "
Aku tak bereaksi sama sekali. Mataku terfokus pada satu objek. Dia, Gilang. Dari kejauhan tampak tersenyum riang bersama seorang wanita. Wajahnya menunjukkan betapa ia mencintainya. Tatapan yang selalu kurindukan ternyata sudah memiliki objek baru.
Tanpa sadar, Gilang juga tengah menatapku. Wajahnya berubah kaku, sebisa mungkin aku langsung menghindar.
"Ju, gue mau ke toilet sebentar, " langkahku begitu cepat, mencoba mengabaikan panggilan dari Juju. Berharap secepat mungkin menghilang dari pandangan Gilang.
Pernyataan Juju terus menghantui kepalaku. Tanpa sadar, aku-lah yang menyakiti diriku sendiri. Harapanku begitu tinggi.
Juju mengikutiku, ia menunggu didepan pintu. Berusaha membujukku untuk keluar. Namun, aku tak bergeming. Aku hanya diam membisu. Sampai akhirnya ...
"Na, boleh keluar sebentar? Gue mau ngobrol, ga lama kok, "
Suara itu ... Gilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLD BOOKS ARE US
Teen FictionSedikit kisah usang yang begitu klasik. Menceritakan perjalanan cinta seorang perempuan rumit.