26. Berhenti Menjadi People Pleaser

147 56 28
                                    

Sore, Dears!
Wuiiuh, ngebut bener ini Hara updatenya. Kayaknya baru siang tadi nggak sih, bab 25 rilis. Udah bab 26 aja. Ntar malem Hara selipin Bab BARA deh, buat bonus. Tapi ramein dulu, ya!

Enjoy this story~
Happy reading!

***

Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ada denyutan nyeri yang begitu hebat di dalam dada. Belum apa-apa, Ibu sudah menberondongiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku muak.

Bahkan mengucap salam atau sekadar menanyakan keadaanku saja tidak. Yang Ibu pikirkan cuma Ibra, Ibra, dan Ibra. Dia mana peduli kalau anak gadisnya yang kedua ini baru saja menjalani operasi usus buntu.

"Bu, apa uang buat Ibra sepenting itu?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Lho, kamu itu gimana sih, Nduk? Kalau ndak penting, Ibu ndak mungkin minta tolong kamu."

Menghapus air mata yang mengalir di pipi, aku menimpali, "Jadi, Ibu sadar betul kalau selama ini cuma ngehubungin Ami pas lagi butuh aja?"

"Kamu ngomong apa toh, Mi? Ibu ndak ngerti. Yang kita lagi bahas sekarang itu kan soal—"

"Ami tahu, Bu. Soal uang UKT Ibra, kan? Tapi coba deh, Ibu ingat-ingat lagi. Kapan sih, Ibu ngehubungin Ami cuma buat tanya keadaan Ami di sini? Karena sejauh yang Ami ingat, tiap nelpon yang Ibu omongin kalau bukan Mbak Kumala, Sarah, ya Ibra. Ibu sama sekali nggak pernah mikirin Ami."

"Tanpa Ibu ngomong, Ibu sudah pasti mikirin kamu, Nduk."

"Nggak. Ibu nggak pernah." Suaraku makin terdengar lirih karena lebih didominasi isak tangis. Dari dulu aku paling anti menangis di depan keluargaku, terutama di depan Ibu. Namun kali ini saja, aku tidak ingin menyembunyikan apa pun. Aku lelah menyimpan semua sendirian dan selalu berpura-pura kuat. "Sejak dulu Ibu nggak pernah mikirin Ami. Bahkan Ami yakin, Ibu nggak tahu makanan kesukaan Ami."

"Ibu ndak mungkin repot-repot masakin tumis kangkung dan suwir tongkol tiap kamu pulang kalau ndak tahu makanan kesukaan kamu, Nduk. Wis ta lah, jangan ngomong ngalor ngidul. Sekarang—"

"Itu bukan makanan kesukaan Ami, Bu!" sentakku. "Karena Ibu masak itu terus dan Ami makan tanpa protes, bukan berarti itu kesukaan Ami, Bu." Aku membersit ingus dengan ujung selimut. "Ami suka nasi kuning, Bu. Ami juga suka ayam ungkep Ibu. Tapi Ami selalu mengalah karena Ibu yang minta karena itu semua kesukaan Mbak Kumala, Sarah, dan Ibra. Setiap ada tetangga yang kirim makanan dan kebetulan cuma dua, setelah tanya Mbak Kumala, Ibu pasti langsung menyimpannya buat Sarah atau Ibra. Padahal anaknya aja nggak ada di rumah. Kalau Ami minta, Ibu pasti akan bilang, 'Ngalah yo, Nduk. Ini kesukaan adik-adikmu. Nanti Ibu masakan kesukaan kamu, yo!' gitu kan, Bu?"

"Mi, kenapa baru bilang? Ibu ndak mungkin begitu kalau kamu bilang, Nduk."

"Gimana Ami mau bilang, Bu? Ibu bahkan nggak pernah tanya, Ami juga mau atau nggak. Bahkan sampai Ami kerja di Jakarta, Ibu tetap lebih mentingin Mbak Kumala, Sarah, dan Ibra. Tiap mereka butuh sesuatu, Ibu selalu minta tolong Ami buat bantu tanpa mau tahu Ami di sini kekurangan atau nggak. Buat bantu Mbak Kumala bangun rumah kemarin aja, Ami sampai pindah ke kosan yang lebih murah. Buat makan sehari-hari Ami harus putar otak biar cukup. Itu pun masih harus membelikan Sarah tas laptop baru. Ibu pikir, berapa sisa uang yang Ami pegang sekarang, Bu?"

"Mi, Ibu—"

"Ami capek, Bu. Tapi Ibu tenang aja. Ami pasti kirim uang UKT buat Ibra. Kebetulan juga kemarin Mbak Kumala kirim pesan biar uangnya dilebihin buat beli perlengkapan sekolah Retha katanya. Ibu nggak perlu mikirin Ami makan apa atau tidur di mana. Ibu cukup mikirin ketiga anak kesayangan Ibu aja," tukasku, lalu menutup panggilan telepon.

SESUAI BUDGET | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang