"Iya Mah, ini lagi beres-beres kok."
"Hah, nggak! Nggak mau, nggak usah!"
"Iya makanya, mending jangan. Udah ya, aku mau lanjut beres-beres dulu!"
Mama memang merepotkan, aku bisa membereskan rumah ini sendiri. Tidak perlu bantuan orang lain, cukup aku sendiri yang mengurus rumah baru ku ini. Aku baru saja pindah ke rumah yang akhirnya atas namaku sendiri, setelah bekerja keras merantau di ibukota. Akhirnya aku memilikinya, walau masih mencicil. KPR hingga aku tua nanti, tapi tidak apalah, yang penting aku sekarang tidak perlu berhadapan dengan ibu kos yang ruwet lagi.
TINGTONG!
Bel rumah ku berbunyi, ah senangnya bisa bilang kalau ini rumah ku sendiri. Aku memang seharusnya begitu bangga dengan kerja kerasku, akhirnya aku punya rumah sendiri tanpa ada modal dari orang tuaku.
"Iya, sebentar." Aku bergegas menuju pintu rumah, untuk melihat siapa yang ingin bertamu ke rumah baruku. Aku membuka pintu rumah, dan di depanku sekarang ada seorang pria yang membawa... beras?
"Halo, tetangga baru ya?" Ujarnya, menurut kamu? Ingin sekali ku balas seperti itu. Namun aku masih ingat dengan adab kesopanan, terpaksa aku membalasnya walau dengan setengah hati.
"Iya."
"Gue Ferry!" Ia menjulurkan tangannya kepadaku, dengan sebuah senyuman yang begitu lebar hingga gigi-gigi yang dipagari dengan behel itu terlihat jelas. Tunggu, itu cabe kan?
"Itu... gigi lo ada cabenya."
"Eh?!" Dia langsung berbalik dan sepertinya mengorek-orek giginya, dia menemukan apa yang dia cari. Potongan cabe itu sekarang terlihat berada di ujung jarinya, dia buang potongan cabe itu ke sembarang arah. Sialan, dia tadi mengorek-orek giginya dengan tangan kanan, sekarang dia kembali menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan denganku.
"Ferry!" Lagi-lagi senyum lebar itu, terlalu lebar hingga terlihat menyebalkan.
"G-Gita..." Sedikit jijik aku menjabat tangannya, mengingat tadi dengan jelas aku melihat dia mengorek giginya dengan tangan itu.
"Baru pindahan ya?" Tanyanya, sambil mencuri pandang ke belakangku. Dia pasti melihat kardus-kardus yang menumpuk di ruang tamu ku.
"Iya."
"Oh, perlu bantuan?"
"Ng-Nggak sih..."
"Ah, nggak usah malu-malu. Berat-berat loh, itu!" Dengan seenaknya dia hampir melenggang masuk ke dalam rumah, dengan cepat aku halangi dia. Dia terkejut melihatku yang tiba-tiba mendorong tubuhnya, mataku menatap malas ke arahnya. Duh, ini adalah waktu-waktu terbahagia dalam hidupku, kenapa sih muncul saja orang-orang seperti dia?!
"Nggak, makasih tawarannya tapi gue nggak perlu." Balasku.
"O-Oh... Oke..." Keheningan sempat terjadi di antara kami, membuat suasana menjadi sedikit awkward. Tapi ini kan salahnya dia sendiri?! Aku sama sekali tidak menyetujui bantuannya dia, dia sendiri malah masuk seenaknya ke dalam rumahku.
"Oh, ini buat lo!" Dia menyerahkan sekantong beras yang sejak tadi dia pegang, entah untuk apa dia memberikannya padaku. Apa wajahku masuk ke wajah-wajah penerima bansos ya?
"Buat apa ini?"
"Lo kan baru pindahan, pasti belum punya beras kan?"
"Ng-Nggak juga sih... tapi makasih ya." Aku tentu punya beras, mungkin dia berpikir aku sibuk pindahan rumah hingga tidak punya waktu untuk membeli beras. Masuk akal, aku menghargai effortnya. Namun aku lebih suka kalau dia segera pergi dari hadapanku, karena sekarang dia hanya diam di depanku dengan senyumannya yang menyebalkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
cerita cintaku
Fanfiction❤️💛💚 (terinspirasi dari Malam Minggu Miko karya Raditya Dika)