Marcus menghela nafas kasar sembari membaca pesanan yang telah ia terima beberapa hari yang lalu, dia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat tawaran dari perusahaan novelis terkenal dan terbesar.
Orang-orang mengatakan mendapat kartu pengenalan dari karyawan disana saja seperti memenangkan loteri kehidupan bagi penulis, apalagi mendapat tawaran secara peribadi.
Ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunannya, selang beberapa saat muncul sang ibu, Taylan.
"Kamu kenapa melamun? Memikirkan apa?"
Soal Taylan memandang anak sulungnya itu, Marcus menggeleng kemudian menukar posisi berbaringnya menjadi duduk bersebelahan dengan sang ibu.
"Bagaimana dengan bukunya? Sudah selesai?"
Marcus mengangguk namun terlihat keraguan disitu, "Kamu kenapa? Ada masalah?" soal Taylan lagi membuat Marcus menghela nafas kasar.
"Begini bu.. aku mendapat tawaran untuk bergabung dengan Novelista Comp, tapi aku ragu-ragu. Tapi.. bubu tau sendirikan apa pendapatku?"
Jawabnya membuat Taylan mengangguk faham, ia mengusap surai sang anak sulung dengan lembut membuat Marcus menaruh kepalanya dibahu sang ibu.
"Kata bubu sih, ikut kata hati. Apapun yang kamu lakukan pasti akan membuahkan hasil, kalau kamu masih ragu. Cuba pikir apa impak yang bakal kamu terima kalau kamu bergabung ke perusahaan tersebut dan apa impaknya jika kamu menolak tawaran tersebut."
Ujar Taylan tenang masih mengusap surai sang anak, "Kamu rasa kalau kamu bergabung ke perusahaan itu, kamu bakalan bebas? Atau.. kamu malah lebih suka di persekitaran seperti itu?"
"Cuba fikirkan baik-baik."
Caffeine Kisses
"Selamat datang ke kafe Bean There, Done That ada yang bisa kami bantu?"
Marcus menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri mencari meja kosong sebelum melihat meja panjang berada disudut ruangan.
"Seperti biasa." ucapnya ketika seorang pelayan tiba dimeja tersebut sebelum sosok itu memulai barisan ayat sapaan kepadanya.
"Ah? Maksudnya?"
Marcus menoleh, aneh sekali. Selalunya Chase yang mengambil pesanannya, "Anu, bilang saja pesanan biasa buat penulis." ucap Marcus yang langsung diangguki dengan ragu oleh pelayan tersebut.
Selang beberapa waktu, pelayan tersebut kembali dengan cangkir kecil berisi kopi hitam pekat juga wajah yang masih bingung.
"Mmm, maaf kak. Aku dengar kakak regular disini, tapi yang sering ambil pesanan kakak tuh Kak Chase dan barista yang bikin pesanan kakak ialah Mas Jazz, tapi hari ini mereka sedang sibuk dengan urusan diluar jadi kami bingung pesanan kakak tuh apa. Maaf ya kalau tidak sesuai dengan keinginan kakak, ini on me deh kak." jelas panjang pemuda tersebut, kedua tangannya menaut rapat didepan juga wajah yang sedikit ketakutan membuat Marcus mengulum senyumannya.
"Tidak apa, aku bisa meminumnya. Aku akan tetap membayar nominalnya, tapi sebaliknya.. apa kau mengetahui nomor mereka berdua?" ucap Marcus menampung wajahnya menggunakan tangannya sambil menatap pemuda tersebut.
"Siapa? Kak Chase dan Mas Jazz?"
Marcus mengangguk membuat pemuda itu menggaruk kepalanya bingung, "Tapi saya lagi on shift kak.. Kakak tulis nomor kakak disini saja, nanti setelah pekerjaan saya selesai saya akan menghantar pesan ke kakak." usul pemuda tersebut, Marcus mengangguk kembali membuat netranya terkunci pada nametag milik pemuda tersebut.
Jayden.
Sepertinya Jayden akan berimpak besar setelah ini.
Caffeine Kisses
KAMU SEDANG MEMBACA
Caffeine Kisses [SLOWUP]
RomancePertemuan antara Ethan Marcus Clarke si penulis lucu juga ambisius dan Jazz Hayden Cypress si barista ceria yang gemar bercerita.