Aroma parfum menebar di udara, membaur dengan nafas para pengunjung yang merubung di penjuru ruangan seluas sekitar 600 meter persegi. Hampir tak ada lantai kosong di bawah cahaya remangnya. Manusia-manusia menyebar. Beberapa duduk membentuk kelompok kecil. Sebagian berdiri di sisi dan di tengah ruangan, melarut dalam house music yang menghentak keras-keras seperti ingin mengeluarkan jantung dari rongganya. Di bar, sudut kiri belakang, tiga gadis bartender berjins dan berkaus ketat sibuk meracik minuman alkohol aneka nama. Beberapa orang berdiri menyamping di sisi depan, merokok, mereguk gelas sloki sambil bergerak seirama bunyi hentakan.
Pusat perhatian adalah sebuah panggung rendah di ujung tengah ruangan dimana hentakan musik dimainkan oleh sekelompok orang dengan vokalis yang sedang bernyanyi di bawah sorot lampu. Bernyanyi? Klingon sendiri agak ragu dengan istilah yang kini jadi terdengar asing dalam suasana saat itu. Mungkin lebih pantas: berteriak. Bahkan untuk bicara dengan teman di sebelahmu pun kau harus berteriak kuat-kuat di sini atau suaramu yang seperti berbisik itu tak akan mampu menembus kepalanya. Hentakan itu sudah meredam semuanya, bahkan degup jantung mereka hilang ditelannya. Sekali lagi: hentakan, dan bukan musik yang bisa dinikmati sambil minum kopi.
Seperti baru pertama kali menginjakkan kakinya di planet antah berantah, Klingon bergerak menghindari kerumunan, menuju bar. Agak enggan, ia menyandar miring di tepi meja setengah lingkaran. Pandangannya menebar sekilas-sekilas ke seluruh ruangan. Sebuah anak tangga melingkar di kiri depan menuju ke balkon. Matanya menyapu sudut kiri hingga kanan balkon, menemukan jajaran siluet manusia. Semua mengarah ke tengah ruangan.
“Mas, minum!” teriak Rigo yang sedari tadi bersamanya, sambil menunjuk gelas-gelas sloki berisi racikan alkohol. Klingon, menoleh sekilas dan mengiyakan tanpa balas berteriak, kembali menatap panggung. Di sini memang bukan tempat untuk mengobrol, pikirnya. Rigo pasti maklum jadi aku tak perlu berteriak-teriak menjawabnya. Aku pun hanya diajak. Ia yang punya acara. Termasuk ongkos untuk beberapa sloki minuman itu, yang bisa puluhan bahkan ratusan ribu.
Di sini kita hanya bergoyang dalam hentakan keras yang tanpa jeda. Melepaskan beban, stres kehidupan, minum lalu mabuk, dan jika beruntung bisa menggaet satu dua wanita belia untuk jadi teman tidur di usai acara. Begitu yang dikatakan mereka tentang tempat seperti ini.
Melepaskan stres, beban hidup? Lepaskah stres kalian kini? Sedang yang kurasakan justru bunyi yang menghantami gendang telinga. Jantungku seperti ingin didorong keluar oleh hentakan-hentakan kelewat batas ini. Melepas stres dengan siksaan. Betapa absurd. Tak tahu ia apakah sosok-sosok yang melarut dalam hentakan di tengah ruangan itu juga tersiksa atau justru menemukan kesenangan yang tak sepenuhnya dipahami Klingon. Yang jelas isi kantongnya akan sangat tersiksa dengan gaya hidup macam ini. Berapa ratus ribu uang yang dihamburkan Rigo dalam semalam hanya untuk membeli ‘hiburan’ yang disebut sebagai pelepas stres ini? Belum lagi mesti memparaukan tenggorokannya setelah berteriak-teriak membalas teriakan lawan bicaranya. Atau lebih tepat, lawan teriaknya. Ah, lupakah aku bahwa di sini bukan tempat untuk bicara, batinnya. Berteriaklah keras-keras di sini, hitung-hitung sebagai katarsis bagi kekesalan, kepenatan atas dunia. Hanyut saja dalam kesemuan buatan ini. Menghidupi sebuah kesemuan dengan kesemuan lainnya, sesemu-semunya. Jangan pula berlogika atau merenung-renung hingga kau tampak lebih aneh di tengah komunitas yang sudah aneh ini.
Tiba-tiba sesuatu menjawil lengannya. Lembut tapi cukup membangunkan Klingon dari lamunannya. Aneh memang ia masih bisa melamun di tengah hingar-bingar seperti ini. Ragu-ragu ia menoleh ke si penjawil di sebelahnya, menatapi rautnya dalam keredupan sekitar bar. Beberapa detik lewat, tanpa kata.
“Halo mas Klingon!” teriak si penjawil menyungging senyum seperti menertawakan ketertegunannya. Di jarinya terselip sebatang rokok yang baru dinyalakan. Gadis itu menghembuskan asap ke udara lalu mereguk sloki di tangannya. Sudut matanya seperti menunggu reaksi Klingon. Ia mengenakan tank top sebatas pusar. Pinggulnya dibalut rok jins mini. Sebagian sinar lampu bar jatuh di punggung langsatnya, memamerkan sensualitas yang tak ditemui dalam keseharian gadis itu.
“Lho.., Konni ya ?!” suara Klingon nyaris tak terdengar, seperti menggumam pada diri sendiri. Dengan rasa heran yang juga untuk dirinya sendiri saat itu.
Gadis yang disebut sebagai Konni, seolah membaca gerak bibir pria yang tak lain adalah tetangga sebelah rumahnya ini, mengangguk dan tersenyum setengah tertawa. Sisa asap rokok keluar pelan dari rekah bibirnya yang bersaput lipstik merah, berkilat oleh sinar lampu bar. Klingon mencoba mengusir kesan keheranannya atas penampilan Konni. Diraihnya sloki berisi tequila, mereguknya hingga setengah.
Ia mencoba memahami sebuah kenyataan baru yang sedang hadir di depannya. Konni Markona, gadis kuliahan semester tiga, tetangganya ini, hadir dalam sosok lain. Seksi dan menggoda. Lain dan asing, setidaknya jika kau pernah mengenalnya sebagai gadis tetangga yang sehari-hari mengenakan kerudung. Meski suatu kali ia menyebutnya sebagai kerudung modis. Pernah juga Konni berkilah bahwa ia memakai kerudung karena peraturan kampusnya mengharuskan mahasiswinya berkerudung sebagai bagian dari upaya menjaga citra yang disandang oleh nama universitas tempatnya kuliah.
Jadi mengapa pula aku mesti heran, pikir Klingon. Pernyataan Konni dulu itu mungkin ingin menghindarkan anggapan muluk tentang citra dirinya. Mungkin saja aku yang naif dalam melihat sesuatu. Melihat tetanggaku saja aku keliru. Mungkin banyak juga Konni-Konni yang lain di ruangan ini, bahkan di luar sana. Tak paham aku.
Klingon mereguk habis isi slokinya. Menyulut rokok, mencoba menutupi kekakuan dan kegalauan yang mulai terasa. Konni masih berdiri acuh tak acuh disebelahnya, bergerak bersama hentakan, sesekali melambai ke para clubbers yang dikenal atau mengenalinya lalu membaur ke tengah ruangan, larut dalam goyang dan hentakan.
Kalau saja house music itu jeda barang satu menit ingin Klingon bercakap satu dua patah kata. Sekadar basa basi mungkin. Namun hentakan ini seperti keluar dari mesin yang bebal. Terus saja bagai arus yang menggulung tanpa putus. Seolah tak ingin memberi jeda, celah, ruang, barang sedetik kepada orang-orang di ruangan ini hingga menyadari kemanusiaannya dan berlaku selayaknya manusia. Tapi ini memang bukan ruang dan waktu untuk bicara, berpikir, atau merenung.
Klingon seolah sudah setahun berada di ruangan itu ketika akhirnya acara usai. Hingar bingar reda. Semua lampu dinyalakan. Jarum arloji menunjuk pukul dua dinihari. Kumpulan orang di tengah ruangan berangsur buyar. Sebagian menuju pintu keluar. Konni menuju bar, memesan air mineral. Keseronokan penampilannya makin jelas dalam terangnya ruangan. Klingon tersenyum dan mengangguk ke arahnya ketika pandang mereka bertemu. Seperti kebiasaannya jika bertemu dengan orang yang dikenalnya.
“Aku nggak nyangka lho kalau mas Klingon diam-diam suka clubbing juga” kata Konni setelah mereguk pesanannya.
“Aku baru sekali ini kok, Ni. Aku aja nggak secuilpun mimpi bakal nemuin kamu di tempat kayak gini” balas Klingon sekenanya.
“Kaget ya mas...“ Konni tertawa, seperti merasakan adanya ironi lucu antara citra keseharian dirinya di mata tetangganya ini dan kenyataan sosoknya sekarang. Lalu tawa keduanya lepas.
“Dengan siapa kamu datang ke sini, Ni ?” tanya Klingon kemudian.
“Dari rumah sih sendiri aja, tapi nanti pulangnya ada yang mengantar”
“Siapa? Pacar kamu ya..” kali ini nada suara Klingon datar saja.
“Bukan, aku baru aja kenal dia tadi waktu sama-sama...oh, itu dia orangnya” Konni menunjuk seseorang yang tampak senyum-senyum menghampiri Klingon dan Konni.
“Oh, ini orangnya ?” pandangan Klingon penuh tanya mengarah ke Rigo.
Sambil mengedipkan mata penuh arti Rigo menggamit tangan Klingon, membawanya ke salah satu sudut ruangan. “Sebentar ya Ni..” kata Rigo. Konni tersenyum maklum lalu mengalihkan perhatian pada telepon selulernya.
“Mas abis ini mau ke mana?” tanya Rigo, masih senyum.
“Ya pulanglah, ngapain lagi. Kau kan mau antar Konni pulang? berarti kita searah. Dia itu tinggal dekat...”
“Soal antar pulang sih bisa diatur. Aku mau jalan dulu sama dia. Mas nggak mau ikutan? Ssst.. kita bisa ajak tidur dia. Tapi kalau mas Klingon nggak mau ya nggak apa-apa. Biar aku aja...”
Kata-kata Rigo membuat Klingon terbatuk oleh asap rokok yang dihisapnya. Tersedak oleh gambaran yang tak pernah terlintas di benaknya. Sebuah citra kini pupus, menguap di udara.
Sementara ruangan yang beberapa menit lalu padat dengan bunyi dan hentakan, kini berangsur lengang. Seperti diusir oleh waktu, orang-orang beranjak dari tempatnya. Pulang atau menghabiskan sisa malam entah ke mana. Masing-masing kembali kepada kegalauan dan kehampaan yang tak juga hilang..---